Selasa, 03 Mei 2011

"Pekerjaan Rumah di Bidang Pendidikan"

 
Di bulan pendidikan ini, alangkah baiknya kalau kita menengok ke dalam, berintrospeksi. Apakah proses pendidikan telah berjalan dengan baik di negeri ini, di sekolah-sekolah dan di rumah-rumah kita? Pendidikan macam apa yang tengah kita langsungkan?
Akhir bulan April kemarin para siswa menjalani Ujian Nasional. Setelah sekian lama menerima pelajaran di sekolah, tiba waktunya mereka diuji. Terdengar sebagai sesuatu yang wajar dan normal. Namun tidak. Ujian Nasional menjadi sesuatu yang tidak normal di Indonesia, disikapi sebagai sebuah momok atau monster yang menyeramkan, dan dilawan dengan berbagai cara termasuk kecurangan. Sebetulnya konsep adanya ujian secara nasional adalah baik, yakni bahwa pendidikan di suatu negeri mesti memiliki standar. Jangan sampai anak Papua jauh sekali jenjangnya dengan anak Surabaya, misalnya. Bila ini terjadi, ini mencerminkan ketidakbecusan penyelenggara negara. Buruk rupa.
Namun untuk mencegah buruk rupa itu seharusnya penyelenggara negara memperbaiki lebih dulu sistem dalam proses pendidikannya. Bukan langsung memaksakan standardisasi pencapaian. Sikap pemerintah (dalam hal ini Kemendiknas) yang dengan ketat mengawasi, terkesan menakut-nakuti dengan ancaman kepada para siswa dan guru yang curang, memiliki akibat yang tidak tunggal. Bisa saja ketegasan Kemendiknas itu menunjukkan kesungguh-sungguhan dalam menghadang kecurangan ujian, sebuah pendidikan yang keras dan seharusnya. Dengan ini diharapkan para siswa dan guru belajar dan mempraktikkan kejujuran.
Namun ada akibat sampingan. Para siswa dan guru telah lebih dulu mendapat stigma “curang”. Mereka diawasi seperti penjahat. Guru dintimidasi dengan ancaman. Suasana menjadi tidak kondusif. Baru saja para guru diintimidasi oleh para kepala sekolah untuk melakukan apa saja agar para siswa lulus; sekarang guru diintimidasi untuk tidak melakukan apapun. Sikap pemerintah ini menggambarkan kepada publik bahwa para guru adalah orang yang tak dapat dipercaya, yang rentan melakukan kecurangan, dan harus diawasi dengan ketat. Opini semacam ini benar-benar menjatuhkan pamor guru. Mari kita bayangkan, bila guru tak dapat dipercaya, kepada siapa lagi kita percaya?
Ini ironi. Proses pendidikan yang seharusnya mengajarkan kejujuran, malah mengajarkan kecurangan, kemudian menyebarkan kecurigaan.
 
Para guru memang sudah ditingkatkan kesejahteraannya. Namun ada banyak aspek lain dalam proses pendidikan bangsa yang masih belum dipenuhi oleh pemerintah. Kurikulum yang baik dan masuk akal, misalnya. Buku-buku yang mudah dan murah tersedia. Sarana laboratorium dan praktikum yang memadai. Pemerataan sarana dan fasilitas dari Sabang sampai Merauke. Ada seorang Ayah yang secara bercanda berniat menggugat sekolah anaknya. Pasalnya, anaknya yang masih kelas 2 SD setiap hari merasa sakit punggung karena backpack-nya (tas punggungnya) berat sekali. Terlalu banyak mata pelajaran untuk anak setingkat SD, terlalu banyak buku. Namun ketika mereka lulus SD, tak jelas hasilnya. Tingkat pencapaian pendidikan anak Indonesia tetap saja rendah. Pemenang olimpiade matematika atau fisika dunia hanya mereka yang digembleng secara khusus untuk mencapai tujuan itu, bukan rata-rata anak Indonesia.
Ironi pendidikan juga terjadi di perguruan tinggi. Saat ini ada seorang profesor doktor di sebuah perguruan tinggi negeri yang ketahuan bahwa disertasinya adalah karya plagiat. Pemerintah sedang mencari cara bagaimana membatalkan gelar doktor dan profesornya. Jabatan guru besar adalah sesuatu yang terhormat, tak hanya mengumpulkan nilai KUM, tetapi juga rekam jejak perilaku, moralitas. Bagaimana engkau menjadi guru besar bila engkau curang, bila karya tulismu menjiplak?
Praktif semacam itu menjadi lazim di kalangan dosen dan guru. Demi memburu pangkat dan jabatan, untuk memenuhi syarat karya tulis, mereka melakukan “pencurian”. Ada yang memasang karya tulisnya ke dalam jurnal ilmiah melalui proses rekayasa fotocopy atau cetak ulang. Ada yang menggunakan skripsi atau tesis mahasiswa bimbingan, hanya mengganti namanya. Pendeknya, para guru dan dosen itu memalsu syarat-syarat agar mereka meraih pangkat dan jabatan yang diinginkan.
Bila demikian, pertanyaan awalnya menjadi valid: “Bila guru dan dosen curang, kepada siapa kita akan percaya?”
Yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk pendidikan, selain menakut-nakuti siswa dan mengintimidasi guru pada masa Ujian Nasional, sebetulnya cukup banyak dan sederhana. Tinjau ulang kurikulum pendidikan kita. Apa gunanya mata kuliah dalam jumlah banyak bila selepas masa pendidikan (SD, SMP atau SMA), anak-anak kita masih tak tahu harus berbuat apa. Bahkan selepas S1-pun, anak Indonesia masih menatap wajah orangtuanya dengan pengharapan mendapat biaya kuliah S2. Selepas S2, bukannya menciptakan lapangan pekerjaannya sendiri dengan menjadi manusia yang kreatif dan produktif, anak Indonesia masih ingin dibayari orangtua bersekolah S3. Atau dicarikan pekerjaan, kemudian diselenggarakan pesta pernikahan. Di Amerika dan Inggris, anak sudah mandiri begitu tamat SMA. Setelah bekerja sebentar, mereka kuliah dengan biaya sendiri atau loan (pinjaman) dari negara. Dengan jumlah mata pelajaran yang tak sebanyak di Indonesia, anak-anak itu sudah tahu harus berbuat apa dalam hidupnya.
Pekerjaan rumah kita sekarang adalah mengembalikan kepercayan kepada para guru dan dosen. Ini mesti diawali dengan membangun integritas di kalangan guru dan dosen itu sendiri. Pemerintah juga mesti mengubah paradigma Ujian Nasional, bukan sebagai “momok” yang menakutkan, melainkan sebuah “pesta” atau “perayaan”. Masa ujian mesti kita kembalikan maknanya. Masa ujian adalah masa dimana kita akan menguji kemampuan akademik kita, masa yang mesti dirayakan dengan suka cita. Anak-anak mesti mengisinya dengan suasana belajar, bukan menghafal atau merancang bahan contekan dan berburu bocoran jawaban. Bagaimanapun, UN tak harus mendominasi syarat kelulusan. Kerja para guru –dan juga siswa- selama 3 atau 6 tahun, mesti diberi makna, mesti dihargai.
Kita mesti introspeksi. Pejabat di Kemendiknas, para kepala daerah, kepala sekolah, guru, orangtua siswa, dan para siswa; mesti belajar dari pengalaman agar ke depan lebih baik. Indonesia sudah makin jauh ketinggalan dengan negara-negara lain. Kita tak boleh berpangku tangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar