Kamis, 19 Mei 2011

"Koperasi di Indonesia"

A.    Awal Pertumbuhan Koperasi Indonesia
Pertumbuhan koperasi di Indonesia dimulai sejak tahun 1896 (Ahmed, 1964:57) yang selanjutnya berkembang dari waktu ke waktu sampai sekarang. Perkembangan koperasi di Indonesia mengalami pasang naik dan turun dengan titik berat lingkup kegiatan usaha secara menyeluruh yang berbeda-beda dari waktu ke waktu sesuai dengan iklim lingkungannya.
Jikalau pertumbuhan koperasi yang pertama di Indonesia menekankan pada kegiatan simpan-pinjam (Soedjono, 1983:7) maka selanjutnya tumbuh pula koperasi yang menekankan pada kegiatan penyediaan barang-barang konsumsi dan kemudian koperasi yang menekankan pada kegiatan penyediaan barang-barang untuk keperluan produksi. Perkembangan koperasi dari berbagai jenis kegiatan usaha tersebut selanjutnya ada kecenderungan menuju kepada suatu bentuk koperasi yang memiliki beberapa jenis kegiatan usaha. Koperasi serba usaha ini mengambil langkah-langkah kegiatan usaha yang paling mudah mereka kerjakan terlebih dulu, seperti kegiatan penyediaan barang-barang keperluan produksi bersama-sama dengan kegiatan simpan-pinjam ataupun kegiatan penyediaan barang-barang keperluan konsumsi bersama-sama dengan kegiatan simpan-pinjam dan sebagainya (Masngudi 1989:1-2).
Pertumbuhan koperasi di Indonesia dipelopori oleh R. Aria Wiriatmadja, seorang patih di Purwokerto (1896), mendirikan koperasi yang bergerak di bidang simpan pinjam. Untuk memodali koperasi simpan pinjam tersebut di samping banyak menggunakan uangnya sendiri, beliau juga menggunakan kas mesjid yang dipegangnya (Djojohadikoesoemo, 1940:9). Setelah beliau mengetahui bahwa hal tersebut tidak boleh, maka uang kas mesjid telah dikembalikan secara utuh pada posisi yang sebenarnya.
Kegiatan Raden Aria Wiriatmadja dikembangkan lebih lanjut oleh De Wolf Van Westerrode asisten Residen Wilayah Purwokerto di Banyumas. Ketika ia cuti ke Eropa dipelajarinya cara kerja wolksbank secara Raiffeisen (koperasi simpan-pinjam untuk kaum tani) dan Schulze-Delitzsch (koperasi simpan-pinjam untuk kaum buruh di kota) di Jerman. Setelah ia kembali dari cuti melailah ia mengembangkan koperasi simpan-pinjam sebagaimana telah dirintis oleh R. Aria Wiriatmadja. Dalam hubungan ini kegiatan simpan pinjam yang dapat berkembang ialah model koperasi simpan-pinjam lumbung dan modal untuk itu diambil dari zakat.
Selanjutnya Boedi Oetomo yang didirikan pada tahun 1908 menganjurkan berdirinya koperasi untuk keperluan rumah tangga. Demikian pula Sarikat Islam yang didirikan tahun 1911 juga mengembangkan koperasi yang bergerak di bidang keperluan sehari-hari dengan cara membuka toko-toko koperasi. Perkembangan yang pesat dibidang perkoperasian di Indonesia yang menyatu dengan kekuatan sosial dan politik menimbulkan kecurigaan Pemerintah Hindia Belanda. Oleh karenanya Pemerintah Hindia Belanda ingin mengaturnya tetapi dalam kenyataan lebih cenderung menjadi suatu penghalang atau penghambat perkembangan koperasi. Dalam hubungan ini pada tahun 1915 diterbitkan Ketetapan Raja No. 431 yang berisi antara lain:
1.      Akte pendirian koperasi dibuat secara nota riil;
2.      Akte pendirian harus dibuat dalam Bahasa Belanda;
3.      Harus mendapat ijin dari Gubernur Jenderal;
4.      Diperlukan biaya meterai f 50.
Pada akhir Rajab 1336H atau 1918 K.H. Hasyim Asy’ari di Tebuireng Jombang mendirikan koperasi yang dinamakan “Syirkatul Inan” atau disingkat (SKN) yang beranggotakan 45 orang. Ketua dan sekaligus sebagai manager adalah K.H. Hasyim Asy ‘ari. Sekretaris I dan II adalah K.H. Bishri dan Haji Manshur. Sedangkan bendahara Syeikh Abdul WAhab Tambakberas dimana brandkas dilengkapi dengan lima macam kunci yang dipegang oleh lima anggota. Mereka bertekad, dengan kelahiran koperasi ini unntuk dijadikan periode “nahdlatuttijar”. Proses permohonan badan hukum direncanakan akan diajukan setelah antara dua sampai dengan tiga tahun berdiri.
Berbagai ketentuan dan persyaratan sebagaimana dalam ketetapan Raja No. 431/1915 tersebut dirasakan sangat memberatkan persyaratan berdiriya koperasi. Dengan demikian praktis peraturan tersebut dapat dipandang sebagai suatu penghalang bagi pertumbuhan koperasi di Indonesia, yang mengundang berbagai reaksi. Oleh karenanya maka pada tahun 1920 dibentuk suatu “Komisi Koperasi” yang dipimpin oleh J.H. Boeke yang diberi tugas neneliti sampai sejauh mana keperluan penduduk Bumi Putera untuk berkoperasi.
Hasil dari penelitian menyatakan tentang perlunya penduduk bumi putera berkoperasi dan untuk mendorong keperluan rakyat yang bersangkutan. Selanjutnya didirikanlah Bank Rakyat (Volkscredit Wezen). Berkaitan dengan masalah peraturan perkoperasian, maka pada tahun 1927 di Surabaya didirikan “Indonsische Studieclub” Oleh dokter Soetomo yang juga pendiri Boedi Oetomo, dan melalui organisasi tersebut beliau menganjurkan berdirinya koperasi. Kegiatan serupa juga dilakukan oleh Partai Nasional Indonesia di bawah pimpimnan Ir. Soekarno, di mana pada tahun 1929 menyelenggarakan kongres koperasi di Betawi. Keputusan kongres koperasi tersebt menyatakan bahwa untuk meningkatkan kemakmuran penduduk Bumi Putera harus didirikan berbagai macam koperasi di seluruh Pulau Jawa khususnya dan di Indonesia pada umumnya.
Untuk menggiatkan pertumbuhan koperasi, pada akhir tahun 1930 didirikan Jawatan Koperasi dengan tugas:
1.      Memberikan penerangan kepada pengusaha-pengusaha Indonesia mengenai seluk beluk perdagangan;
2.      Dalam rangka peraturan koperasi No. 91, melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap koperasi-koperasi, serta memberikan penerangannya;
3.      Memberikan keterangan-keterangan tentang perdagangan pengangkutan, cara-cara perkreditan dan hal ihwal lainnya yang menyangkut perusahaan-perusahaan;
4.      Penerangan tentang organisasi perusahaan;
5.      Menyiapkan tindakan-tindakan hukum bagi pengusaha Indonesia (Raka.1981,h.42)
J.H. Boeke yang dulunya memimpin “Komisi Koperasi” 1920 ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Koperasi yang pertama. Atas dasar catatan sejarah, terjadilah perkembangan koperasi seperti terlihat pada tabel berikut:
Tabel 5.1 Perkembangan Koperasi Tahun 1930-1932

Tahun
Jumlah Koperasi
Jumlah Anggota
1930
1931
1932
39
133
172
7.484
13.725
14.134
Sumber : Sepoeloeh Tahoen Koperasi
Selanjutnya pada tahun 1933 diterbitkan Peraturan Perkoperasian dalam berntuk Gouvernmentsbesluit No. 21 yang termuat di dalam Staatsblad No. 108/1933 yang menggantikan Koninklijke Besluit no. 431 tahun 1915. Peraturan Perkoperasian 1933 ini diperuntukkan bagi orang-orang Eropa dan golongan Timur Asing. Dengan demikian di Indonesia pada waktu itu berlaku 2 Peraturan Perkopersian, yakni Peraturan Perkoperasian tahun 1927 yang diperuntukan bagi golongan Bumi Putera dan Peraturan Perkoperasian tahun 1933 yang berlaku bagi golongan Eropa dan Timur Asing.
Kongres Muhamadiyah pada tahun 1935 dan 1938 memutuskan tekadnya untuk mengembangkan koperasi di seluruh wilayah Indonesia, terutama di lingkungan warganya. Diharapkan para warga Muhammadiyah dapat memelopori dan bersama-sama anggota masyarakat yang lain untuk mendirikan dan mengembangkan koperasi. Berbagai koperasi di bidang produksi mulai tumbuh dan berkembang antara lain koperasi batik yang diperlopori oleh H. Zarkasi, H. Samanhudi dan K.H. Idris.
Perkembangan koperasi semenjak berdirinya Jawatan Koperasi tahun 1930 menunjukkan suatu tingkat perkembangan yang terus meningkat. Jikalau pada tahun 1930 jumlah koperasi 39 buah, maka pada tahun 1939 jumlahnya menjadi 574 buah dengan jumlah anggota pada tahun 1930 sebanyak 7.848 orang kemudian berkembang menjadi 52.555 orang. Sedang kegiatannya dari 574 koperasi tersebut diantaranya 423 koperasi (=77%) adalah koperasi yang bergerak dibidang simpan-pinjam (Djojohadikoesoemo,1940:82) sedangkan selebihnya adalah koperasi jenis konsumsi ataupun produksi. Dari 423 koperasi simpan-pinjam tersebut diantaranya 19 buah adalah koperasi lumbung. Adapun data perkembangan koperasi dari tahun de tahun dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.2 Perkembangan Koperasi Tahun 1930-1932

Tahun
Jumlah Koperasi
Jumlah Anggota
Jumlah Simpanan
1930
1931
1932
1933
1934
1935
1936
1937
1938
1939
39
133
172
233
263
299
324
410
540
574
7.484
13.725
14.134
18.444
18.845
19.298
20.544
28.999
40.491
52.55
f. 101.296
f. 194.578
f. 264.184
f. 317.613
f. 375.577
f. 306.317
f.302.399
f. 570.318
f. 633.082
f. 850.671
Sumber : Sepoeloeh Tahoen Koperasi
Pada masa pendudukan bala tentara Jepang istilah koperasi lebih dikenal menjadi istilah “Kumiai”. Pemerintahan bala tentara Jepang di Indonesia menetapkan bahwa semua Badan-badan Pemerintahan dan kekuasaan hukum serta Undang-undang dari Pemerintah yang terdahulu tetap diakui sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Militer. Berdasarkan atas ketentuan tersebut, maka Peraturan Perkoperasian tahun 1927 masih tetap berlaku. Akan tetapi berdasarkan Undang-undang No. 23 dari Pemerintahan bala tentara Jepang di Indonesia mengatur tentang pendirian perkumpulan dan penmyelenggaraan persidangan. Sebagai akibat daripada peraturan tersebut, maka jikalau masyarakat ingin mendirikan suatu perkumpulan koperasi harus mendapat izin Residen (Shuchokan) dengan menjelaskan syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Maksud perkumpulan atau persidangan, baik sifat maupun aturan-aturannya;
2.      Tempat dan tanggal perkumpulan didirikan atau persidangan diadakan;
3.      Nama orang yang bertangguing jawab, kepengurusan dan anggota-anggotanya;
4.      Sumpah bahwa perkumpulan atau persidangan yang bersangkutan itu sekali-kali bukan pergerakan politik.
Dengan berlakunya undang-undang ini, maka di beberapa daerah banyak koperasi lama yang harus menghentikan usahanya dan tidak boleh bekerja lagi sebelum mendapat izin baru dari ”Scuchokan”. Undang-undang ini pada hakekatnya bermaksud mengawasi perkumpulan-perkumpulan dari segi kepolisian (Team UGM, 1984:139–140).
Perkembangan pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang dikarenakan masalah ekonomi yang semakin sulit memerlukan peran “Kumiai” (koperasi). Pemerintah pada waktu itu melalui kebijaksanaan dari atas menganjurkan berdirinya “Kumiai” di desa-desa yang tujuannya untuk melakukan kegiatan distribusi barang yang jumlahnya semakin hari semakin kurang karena situasi perang dan tekanan ekonomi Internasional (misalnya gula pasir, minyak tanah, beras, rokok dan sebagainya). Di lain pihak pemerintah pendudukan bala tentara Jepang memerlukan barang-barang yang dinilai penting untuk dikirim ke Jepang (misalnya biji jarak, hasil-hasil bumi yang lain, besi tua dan sebagainya) yang untuk itu masyarakat agar menyetorkannya melalui “Kumiai”. Kumiai (koperasi) dijadikan alat kebijaksanaan dari Pemerintah bala tentara Jepang sejalan dengan kepentingannya. Peranan koperasi sebagaimana dilaksanakan pada zaman pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang tersebut sangat merugikan bagi para anggota dan masyarakat pada umumnya.
B.     Pertumbuhan Koperasi Setelah Kemerdekaan
Gerakan koperasi di Indonesia yang lahir pada akhir abad 19 dalam suasana sebagai negara jajahan tidak memiliki suatu iklim yang menguntungkan bagi pertumbuhannya. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, dengan tegas perkoperasian ditulis di dalam UUD 1945. Dr. H. Moh. Hatta sebagai salah seorang “Founding Father” Republik Indonesia, berusaha memasukkan rumusan perkoperasian di dalam “konstitusi”. Sejak kemerdekaan itu pula koperasi di Indonesia mengalami suatu perkembangan yang lebih baik. Pasal 33 UUD 1945 ayat 1 beserta penjelasannya menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa bangun perekonomian yang sesuai dengan azas kekeluargaan tersebut adalah koperasi. Di dalam pasal 33 UUD 1945 tersebut diatur pula di samping koperasi, juga peranan daripada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Swasta.
Pada akhir 1946, jawatan koperasi mengadakan pendaftaran koperasi dan tercatat sebanyak 2500 buah koperasi di seluruh Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia bertindak aktif dalam pengembangan perkoperasian. Disamping menganjurkan berdirinya berbagai jenis koperasi Pemerintah RI berusaha memperluas dan menyebarkan pengetahuan tentang koperasi dengan jalan mengadakan kursus-kursus koperasi di berbagai tempat.
Pada tanggal 12 Juli 1947 diselenggarakan kongres koperasi se Jawa yang pertama di Tasikmalaya. Dalam kongres tersebut diputuskan antara lain terbentuknya Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia yang disingkat SOKRI; menjadikan tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi serta menganjurkan diselenggarakan pendidikan koperasi di kalangan pengurus, pegawai dan masyarakat. Selanjutnya, koperasi pertumbuhannya semakin pesat. Tetapi dengan terjadinya agresi I dan agresi II dari pihak Belanda terhadap Republik Indonesia serta pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948 banyak merugikan terhadap gerakan koperasi.
Pada tahun 1949 diterbitkan Peraturan Perkoperasian yang dimuat di dalam Staatsblad No. 179. Peraturan ini dikeluarkan pada waktu Pemerintah Federal Belanda menguasai sebagian wilayah Indonesia yang isinya hampir sama dengan Peraturan Koperasi yang dimuat di dalam Staatsblad No. 91 tahun 1927, dimana ketentuan-ketentuannya sudah kurang sesuai dengan keadaan Inidonesia sehingga tidak memberikan dampak yang berarti bagi perkembangan koperasi.
Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1950 program Pemerintah semakin nyata keinginannya untuk mengembangkan perkoperasian. Kabinet Mohammad Natsir menjelaskan di muka Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan dengan program perekonomian antara lain sebagai berikut:
….Menggiatkan pembangunan organisasi-organisasi rakyat, istimewa koperasi dengan cara pendidikan, penerangan, pemberian kredit yang lebih banyak dan lebih mudah, satu dan lain seimbang dengan kemampuan keuangan negara.
Untuk memperbaiki perekonomian-perekonomian rakyat Kabinet Wilopo antara lain mengajukan suatu “program koperasi” yang terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1.      Usaha untuk menciptakan suasana dan keadaan sebaik-baiknya bagi perkembangan gerakan koperasi;
2.      Usaha lanjutan dari perkembangan gerakan koperasi;
3.      Usaha yang mengurus perusahaan rakyat yang dapat diselenggarakan atas dasar koperasi.
Selanjutnya Kabinet Ali Sastroamidjodjo menjelaskan program pemerintahannya sebagai berikut:
….Untuk kepentingan pembangunan dalam lapangan perekonomian rakyat perlu pula diperluas dan dipergiat gerakan koperasi yang harus disesuaikan dengan semangat gotong royong yang spesifik di Indonesia dan besar artinya dalam usaha menggerakkan rasa percaya pada diri sendiri di kalangan rakyat. Di samping itu Pemerintah hendak menyokong usaha itu dengan memperbaiki dan memperluas perkreditan, yang terpenting antara lain dengan pemberian modal kepada badan-badan perkreditan desa seperti Lumbung dan Bank Desa, yang sedapat-dapatnya disusun dalam bentuk koperasi (Sumodiwirjo, 1954:45-46).
Sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah sebagaimana tersebut di atas, koperasi makin berkembang dari tahun ketahun baik organisasi maupun usahanya. Selanjutnya pada tanggal 15 sampai dengan 17 Juli 1953 dilangsungkan kongres koperasi Indonesia yang ke II di Bandung. Keputusannya antara lain merubah Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia (SOKRI) menjadi Dewan Koperasi Indonesia (DKI). Di samping itu mewajibkan DKI membentuk Lembaga Pendidikan Koperasi dan mendirikanSekolah Menengah Koperasi di Provinsi-provinsi. Keputusan yang lain ialah penyampaian saran-saran kepada Pemerintah untuk segera diterbitkannya Undang-Undang Koperasi yang baru serta mengangkat Bung Hatta sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Pada tahun 1956 tanggal 1 sampai 5 September diselenggarakan Kongres Koperasi yang ke III di Jakarta. Keputusan Kongres di samping hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan perkoperasian di Indonesia, juga mengenai hubungan Dewan Koperasi Indonesia dengan International Cooperative Alliance (ICA). Pada tahun 1958 diterbitkan undang-undang tentang Perkumpulan Koperasi No. 79 Tahun 1958 yang dimuat di dalam Tambahan Lembar Negara RI No. 1669. Undang-Undang ini disusun dalam suasana Undang-undang Dasar Sementara 1950 dan mulai berlaku pada tanggal 27 Oktober 1958. Isinya lebih baik dan lebih lengkap jika dibandingkan dengan peraturan-peraturan koperasi sebelumnya dan merupakan Undang-undang yang pertama tentang perkoperasian yang disusun oleh Bangsa Indonesia sendiri dalam suasana kemerdekaan.
Perlu dipahami bersama perbedaan sikap pemerintah terhadap pengembangan perkoperasian atas dasar perkembangan sejarah pertumbuhannya di Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.      Pemerintahan Kolonial Belanda bersikap pasif;
2.      Pemerintahan Pendudukan Balatentara Jepang bersikap aktif negatif, karena akibat kebijaksanaannya nama koperasi menjadi hancur (jelek);
3.      Bersikap aktif positif di mana Pemerintah Republik Indonesia memberikan dorongan kesempatan dan kemudahan bagi koperasi.
Tabel berikut menunjukkan perkembangan koperasi pada saat-saat akhir Pemerintahan Kolonial Belanda dan angka perkembangan koperasi setelah Indonesia merdeka sampai dengan tahun 1959, dengan catatan angka-angka perkembangan koperasi pada zaman Pemerintahan Pendudukan Balatentara Jepang tidak tersedia.
 
Tabel 5.3 Perkembangan Koperasi Tahun 1940 Sampai dengan 1959

Jenis Koperasi
Tahun
Jumlah Koperasi
Jumlah Anggota
Jumlah Simpanan
Cadangan
Kantor Pusat
(Sekunder)
1940
1956
1957
1958
1959
15
145
150
216
246
390
6.807
7.031
9.475
11.717
165
96.860
201.990
343.531
406.911
-
18.151
42.058
104.535
33.550
Koperasi Desa
(Serba Usaha)
1940
1956
1957
1958
1959
53
4.085
4.017
4.750
5.390
2.072
969.523
940.134
1.108.944
1.329.450
2
55.185
64.768
80.355
102.072
-
6.868
9.209
10.676
13.166
Koperasi Kredit
(Simpan Pinjam)
1940
1956
1957
1958
1959
478
4.545
4.269
5.526
6.095
41.308
624.489
622.049
689.220
756.634
256
102.299
121.200
171.804
223.018
-
7.969
10.411
14.010
18.975
Koperasi Lumbung
1940
1956
1957
1958
1959
19
637
491
531
1.450
1.291
53.747
62.258
56.306
153.536
1
1.213
1.421
2.530
28.881
-
222
272
524
7.070
Koperasi Produksi
1940
1956
1957
1958
1959
43
1.349
1.213
2.048
1.216
1.973
144.524
111.815
168.321
139.063
11
112.640
152.903
280.167
388.552
-
20.721
35.122
43.991
55.234
Koperasi Konsumsi
1940
1956
1957
1958
1959
23
840
625
805
1.935
640
124.811
85.371
113.067
244.137
3
18.781
13.031
19.440
47.391
-
4.497
1.357
2.059
3.295
Koperasi Jenis Lain
1940
1956
1957
1958
1959
8
300
1.098
270
272
90
124.811
85.371
113.067
244.137
3
18.781
13.031
19.440
47.391
-
1.110
3.047
1.310
691
Sumber      : Statistical Pocketbook of Indonesia, 1961
Ket.                        : Angka-angka Simpanan dan Cadangan dalam Ribuan Rupiah


C.     Perkembangan Koperasi dalam Sistem Ekonomi Terpimpin
Tahun 1959 terjadi suatu peristiwa yang sangat penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Setelah Konstituante tidak dapat menyelesaikan tugas menyusun Undang-undang Dasar Baru pada waktunya, maka pada tanggal 15 Juli 1959 Presiden Soekarno yang juga selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang mengucapkan Dekrit Presiden yang memuat keputusan dan salah satu diantaranya ialah menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh Tanah Tumpah Darah Indonesia, terhitung mulai dari tanggal penetapan dekrit dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara. Pada tanggal 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno mengucapkan pidato kenegaraan yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”, atau lebih dikenal dengan Manifesto politik (Manipol). Dalam pidato itu diuraikan berbagai persoalan pokok dan program umum Revolusi Indonesia yang bersifat menyeluruh.
Berdasarkan Ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 pidato itu ditetapkan sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara RI dan pedoman resmi dalam perjuangan menyelesaikan revolusi. Dampak Dekrit Presiden dan Manipol terhadap Undang-Undang No. 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi adalah undang-undang yang belum berumur panjang itu telah kehilangan dasar dan tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat UUD 1945 dan Manipol. Karenanya untuk mengatasi keadaan itu maka di samping Undang-undang No. 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi dikeluarkan pula Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1959 tentang Perkembangan Gerakan Koperasi (dimuat dalam Tambahan aLembaran Negara No. 1907).
Peraturan ini dibuat sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-undang No. 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi dan merupakan penyempurnaan dari hal-hal yang belum diatur dalam Undang-Undang tersebut. Peraturan itu membawa konsep pengembangan koperasi secara massal dan seragam dan dikeluarkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
1.      Menyesuaikan fungsi koperasi dengan jiwa dan semangat UUD 1945  dan Manipol RI tanggal 17 Agustus 1959, dimana koperasi diberi  peranan sedemikian rupa sehingga kegiatan dan penyelenggaraannya benar-benar dapat merupakan alat untuk melaksanakan ekonomi terpimpin berdasarkan sosialisme ala Indonesia, sendi kehidupan ekonomi bangsa Indonesia dan dasar untuk mengatur perekonomian rakyat guna mencapai taraf hidup yang layak dalam susunan masyarakat adil dan makmur yang demokratis;
2.      Bahwa pemerintah wajib mengambil sikap yang aktif dalam membina Gerakan Koperasi berdasarkan azas-azas demokrasi terpimpin, yaitu menumbuhkan, mendorong, membimbing, melindungi dan mengawasi perkembangan Gerakan Koperasi, dan;
3.      Bahwa dengan menyerahkan penyelenggaraan koperasi kepada inisiatif Gerakan Koperasi sendiri dalam taraf sekarang bukan saja tidak mencapai tujuan untuk membendung arus kapitalisme dan liberalisme, tetapi juga tidak menjamin bentuk organisasi dan cara bekerja yang sehat sesuai dengan azas-azas koperasi yang sebenarnya (Sularso, 1988:6-7).
Dalam tahun 1960 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 140 tentang penyaluran bahan pokok dan penugasan Koperasi untuk melaksanakannya. Dengan peraturan ini maka mulai ditumbuhkan koperasi-koperasi konsumsi. Penumbuhan koperasi oleh Pemerintah secara massal dan seragam tanpa memperhatikan syarat-syarat pertumbuhannya yang sehat, telah mengakibatkan pertumbuhan koperasi yang kurang sehat. Lebih jauh dari itu Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960 menetapkan bahwa sektor perekonomian akan diatur dengan dua sektor yakni sektor negara dan sektor koperasi, dimana sektor swasta hanya ditugaskan untuk membantu. Pada saat mulai dikemukakan ide pengaturan ekonomi dengan prinsip Demokrasi dan Ekoomi Terpimpin. Undang-undang No. 79 tahun 1958 tentang Perkembangan Gerakan Koperasi. Peraturan ini membawa konsep pengembangan koperasi secara massal dan seragam.
Pada tahun 1961 diselenggarakan Musyawarah Nasional Koperasi I (Munaskop I) di Surabaya untuk melaksanakan prinsip Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi Terpimpin. Langkah-langkah mempolitikkan (verpolitisering) koperasi mulai nampak. Dewan Koperasi Indonesia diganti dengan Kesatuan Organisasi Koperasi Seluruh Indonesia (KOKSI) yang bukan semata-mata organisasi koperasi sendiri malainkan organisasi koperasi-koperasi yang dipimpin oleh pemerintah, dimasa Menteri Transmigrasi, Koperasi dan Pembangunan Masyarakat Desa (Trasnkopenda) menjadi Ketuanya (Team UGM, 1984:143-144).
Sebagai puncak pengukuhan hkum dari uapaya mempolitikkan (verpolitisering) koperasi dalam suasana demokrasi terpimpin yakni diterbitkannya UU No.14 tahun 1965 tentang perkoperasian yang dimuat didalam Lembaran Negara No. 75 tahun 1960. Salah satu pasal yang terpenting adalah pasal 5 yang berbunyi:
Koperasi, struktur, aktivitas dan alat pembinaan serta alat perlengkapan organisasi koperasi, mencerminkan kegotong-royongan progresif revolusioner berporoskan Nasakom (Nasional, Agama, Komunis).
Dalam memori penjelasannya dinyatakan sebagai berikut:
Sesuai dengan penjelasan umum perkoperasian (pola koperasi) tidak dapat dipisahkan dari masalah Revolusi pada umumnya (doktrin Revolusi), sehingga tantangan-tantangan dari gerakan koperasi hakekatnya merupakan tantangan daripada Revolusi itu sendiri.
Pengalaman-pengalaman perjuangan kita dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut, menunjukkan keharusan obyektif adanya persatuan dan kesatuan segenap potensi dan kekuatan rakyat yang progresif Revolusioner berporos Nasakom, yang pelaksanaannya diatur dengan kegotong-royongan antara Pemerintah dengan kekuatan-kekuatan Nasakom.
Selanjutnya perana gerakan koperasi dalam demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin diatur didalam pasal 6 dan pasal 7. Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:


Gerakan Koperasi mempunyai peranan:
1.      Dalam tahap nasional demokrasis;
a.   Mempersatukan dan memobilisir seluruh rakyat pekerja dan produsen kecil yang merupakan tenaga-tenaga produktif untuk meningkatkan produksi, mengadilkan dan meratakan distribusi;
b.   Ikut serta menghapus sisa-sisa imperalisme, kolonialisme dan feodalisme;
c.    Membantu memperkuat sektor ekonomi negara yang memegang posisi memimpin;
d.   Menciptakan syarat-syarat bagi pembangunan masyarakat sosialis Indonesia.
2.      Dalam Tahap sosialisme Indonesia:
a.      Menyelenggarakan tata ekonomi tanpa adanya penghisapan oleh manusia atas manusia;
b.      Meningkatkan tingkat hidup rakyat jasmaniah dan rohaniah;
c.       Membina dan mengembangkan swadaya dan daya kreatif rakyat sebagai perwujudan masyarakat gotong-royong.
Pasal 7 menyatakan sebagai berikut:
1.      Pemerintah menetapkan kebijaksanaan pokok perkoperasian.
2.      Dengan Peraturan Pemerintah diatur hubungan antara gerakan koperasi dengan Pemerintah, Perusahaan Negara/Perusahaan Daerah dan swasta bukan koperasi”. Memori penjelasannya menyatakan: “Untuk menjamin azas Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi Terpimpin kebijaksanaan perkoperasian ditetapkan oleh Pemerintah.
Bersamaan dengan disahkannya UU No. 14 tahun 1965 dilangsungkan Musyawarah Nasional Koperasi (Munaskop) II di Jakarta yang pada dasarnya merupakan ajang legitiminasi terhadap masuknya kekuatan-kekuatan politik di dalam koperasi sebagaimana diatur oleh UU Perkoperasian tersebut. Dalam kesempatan tersebut, juga diputuskan bahwa KOKSI (Kesatuan Organisasi Koperasi Seluruh Indonesia) menyatakan keluar dari keanggotaan ICA.
Tindakan berselang lama yakni dalam bulan September 1965 terjadi pemberontakan Gerakan 30 September yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terpengaruh besar terhadap pengembangan koperasi. Mengingat dalam UU No. 14 tahun 1965 secara tegas memasukan warna politik di dalam kehidupan perkoperasian, maka akibat pemberontakan G30S/PKI pelaksanaanya perlu di pertimbangkan kembali. Bahkan segera disusul langkah-langkah memurnikan kembali koperasi kepada azas-azas yang murni dengan cara “deverpolitisering“. Koperasi-koperasi menyelenggarakan rapat anggota untuk memperbaharui kepengurusan dan badan pemeriksaannya. Reorganisasi dilaksanakan secara menyeluruh untuk memurnikan koperasi di atas azas-azas koperasi yang sebenarnya (murni).
D.    Perkembangan Koperasi Pada Masa Orde Baru
Pemberontakan G30S/PKI merupakan malapetaka besar bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Demikian pula hal tersebut didalami oleh gerakan koperasi di Indonesia. Oleh karena itu dengan kebulatan tekad rakyat dan bangsa Indonesia untuk kembali dan melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekwen, maka gerakan koperasi di Indonesia tidak terkecuali untuk melaksanakannya. Semangat Orde Baru yang dimulai titik awalnya 11 Maret 1996 segera setelah itu pada tanggal 18 Desember 1967 telah dilahirkan Undang-Undang Koperasi yang baru yakni dikenal dengan UU No. 12/1967 tentang Pokok-pokok Perkopersian.
Konsideran UU No. 12/1967 tersebut adalah sebagai beriku:
1.      Bahwa Undang-Undang No. 14 Tahun 1965 tentang Perkoperasian mengandung pikiran-pikiran yang nyata-nyata hendak:
a.      Menempatkan fungsi dan peranan koperasi sebagai abdi langsung daripada politik. Sehingga mengabaikan koperasi sebagai wadah perjuangan ekonomi rakyat.
b.      Menyelewengkan landasan-landasan, azas-azas dan sendi-sendi dasar koperasi dari kemrniannya.
2.       a.  Bahwa berhubung dengan itu perlu dibentuk Undang-undang baru yang sesuai dengan semangat dan jiwa Orde Baru sebagaimana dituangkan dalam Ketetapan-ketetapan MPRS Sidang ke IV dan Sidang Istimewa untuk memungkinkan bagi koperasi mendapatkan kedudukan hukum dan tempat yang semestinya sebagai wadah organisasi perjuangan ekonomi rakyat yang berwatak sosial dan sebagai alat pendemokrasian ekonomi nasional.
b.  Bahwa koperasi bersama-sama dengan sector ekonomi Negara dan swasta bergerak di segala sektor ekonomi negara dan swasta bergerak di segala kegiatan dan kehidupan ekonomi bangsa dalam rangka memampukan dirinya bagi usaha-usaha untuk mewujudkan masyarakat sosialisme indonesia berdasarkan Pancasila yang adil dan makmur di ridhoi Tuhan Yang Maha Esa.
3.      Bahwa berhubungan dengan itu, maka Undang-undang No. 14 tahun 1965 perlu dicabut dan perlu mencerminkan jiwa, serta cita-cita yang terkandung dalam jelas menyatakan, bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan dan koperasi adalah satu bangunan usaha yang sesuai dengan susunan perekonomian yang dimaksud itu. Berdasarkan pada ketentuan itu dan untuk mencapai cita-cita tersebut Pemerintah mempunyai kewajiban membimbing dan membina perkoperasian Indonesia dengan sikap “ing ngarsa sung tulada, ing madya mbangun karsa, tut wuri handayani“.
Dalam rangka kembali kepada kemurnian pelaksanaan Undang-undang Dasar 1954, sesuai pula dengan Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan, maka peninjauan serta perombakan Undang-undang No. 14 tahun 1965 tentang Perkoperasian merupakan suatu keharusan karena baik isi maupun jiwanya Undang-undang tersebut mengandung hal-hal yang bertentangan dengan azas-azas pokok, landasan kerja serta landasan idiil koperasi, sehingga akan menghambat kehidupan dan perkembangan serta mengaburkan hakekat koperasi sebagai organisasi ekonomi rakyat yang demokratis dan berwatak sosial.
Peranan pemerintah yang terlalu jauh dalam mengatur masalah perkoperasian Indonesia sebagaimana telah tercermin di masa yang lampau pada hakekatnya tidak bersifat melindungi, bahkan sangat membatasi gerak serta pelaksanaan strategi dasar perekonomian yang tidak sesuai dengan jiwa dan makna Undang-undang Dasar 1945 pasal 33. Hal yang demikian itu akan menghambat langkah serta keswakertaan yang sesungguhnya merupakan unsur pokok dari azas-azas percaya pada diri sendiri yang pada gilirannya akan dapat merugikan masyarakat sendiri. Oleh karenanya sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 dianggap perlu untuk mencabut dan mengganti Undang-undang No. 14 tahun 1965 tentang Perkoprasian tersebut dengan Undang-undang baru yang benar-benar dapat menempatkan koperasi pada fungsi yang semestinya yakni sebagai alat dari Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (1).
Di bidang idiil, koperasi Indonesia merupakan satu-satunya wadah untuk menyusun perekonomian rakyat berazaskan kekeluargaan dan kegotong-royongan yang merupakan cirri khas dari tata kehidupan bangsa Indonesia dengan tidak memandang golongan, aliran maupun kepercayaan yang dianut seseorang. Koperasi sebagai alat pendemokrasian ekonomi nasional dilaksanakan dalan rangka dalam rangka politik maupun perjuangan bangsa Indonesia.
Di bidang organisasi koperasi Indonesia menjamin adanya hak-hak individu serta memegamg teguh azas-azas demokrasi. Rapat Anggota merupakan kekuasaan tertinggi di dalam tata kehidupan koperasi, koperasi mendasarkan geraknya pada aktivitas ekonomi dengan tidak meninggalkan azasnya yakni kekeluargaan dan gotong-royong.
Dengan berpedoman kepada Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966 Pemerintah memberikan bimbingan kepada koperasi dengan sikap seperti tersebut di atas serta memberikan perlindungan agar koperasi benar-benar mampu melaksanakan pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya.
Menurut pasal 3 UU No. 12/1967, koperasi Indonesia adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial, beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi yang merupakan tata azas kekeluargaan. Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa “koperasi Indonesia adalah kumpulan orang-orang yang sebagai manusia secara bersamaan, bekerja untuk memajukan kepentingan-kepentingan ekonomi mereka dan kepentingan masyarakat.’’
Pengertian umum di atas, menegaskan ciri-ciri yang seharusnya selalu tampak pada koperasi, seperti di bawah ini:
1.      bahwa koperasi Indonesia adalah kumpulan orang-orang dan bukan kumpulan modal. Pengaruh dan penggunaan modal dalam koperasi Indonesia tidak boleh mengurangi makna dan tidak boleh mengaburkan pengertian koperasi Indonesia berdasarkan perkumpulan orang-orang dan bukan sebagai perkumpulan modal. Ini berarti bahwa koperasi Indonesia harus benar-benar mengabdikan kepada perikemanusiaan dan bukan kepada kebendaan;
2.      bahwa koperasi Indonesia bekerjasama, bergotong-royong berdasarkan persamaan derajat, hak dan kewajiban yang berarti koperasi adalah dan seharusnya merupakan wadah demokrasi ekonomi dan social. Karena dasar demokrasi ini, milik para anggota sendiri dan pada dasarnya harus diatur serta diurus sesuai dengan keinginan para anggota yang berarti bahwa hak tertinggi dalam koperasi terletak pada rapat anggota.
3.      bahwa segala kegiatan koperasi Indonesia harus didasarkan atas kesadaran para anggota. Dalam koperasi tidak boleh dilakukan paksaan, ancaman, intimidasi dan campur tangan dari pihak-pihak lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan soal-soal intern koperasi;
4.      bahwa tujuan koperasi Indonesia harus benar-benar merupakan kepentingan bersama dari para anggotanya dan disumbangkan para anggota masing-masing. Ikut sertanya anggota sesuai dengan kecilnya karya dan jasanya harus dicerminkan pula dalam hal pembagian pendapatan dalam koperasi.
Dengan berlakunya UU No. 12/1967 koperasi-koperasi yang telah berdiri harus melaksanakan penyesuaian dengan cara menyelenggarakan anggaran dan mengesahkan anggaran dasar yang sesuai dengan undang-undang tersebut. Dari 65.000 buah koperasi yang telah berdiri ternyata yang memenuhi syarat sekitar 15.000 buah koperasi saja. Sedangkan selebihnya koperasi-koperasi tersebut harus dibubarkan dengan alasan tidak dapat menyesuaikan terhadap UU No. 12/1967 dikarenakan hal-hal sebagai berikut:
1.      koperasi tersebut sudah tidak memiliki anggota ataupun pengurus serta badan pemeriksa, sedangkan yang masih tersisa adalah papan nama;
2.      sebagian besar pengurus dan ataupun anggota koperasi yang bersangkutan terlibat G30S/PKI;
3.      koperasi yang bersangkutan pada saat berdirinya tidak dilandasi oleh kepentingan-kepentingan ekonomi, tetapi lebih cenderung karena dorongan politik pada waktu itu;
4.      koperasi yang bersangkutan didirikan atas dasar fasilitas yang tesedia, selanjutnya setelah tidak tersedia fasilitas maka praktis koperasi telah terhenti.
Sejak awal Pelita I pelaksanaan pembangunan telah diarahkan untuk menyentuh segala kehidupan bangsa sebagai suatu gerak perubahan ke arah kemajuan. Seperti halnya negara-negara berkembang yang menderita penjajahan di masa lalu, maka pembangunan yang berlangsung dalam suatu hubungan kemasyarakatan yang terbentuk dalam kemerdekaan, merupakan gerak perubahan yang bersifat mendasar dan menyeluruh. Dalam kaitan ini, proses pembangunan yang berlangsung dalam periode transisional dari hubungan saling pengaruh mempengaruti yang berlaku dalam lingkungan masyarakat kolonial ke arah susunan dan hubungan kemasyarakatan baru, sungguh merupakan pekerjaan besar yang tidak mudah.
Periode Pelita I pembangunan perkoperasian menitikberatkan pada investasi pengetahuan dan keterampilan orang-orang koperasi, baik sebagai orang gerakan koperasi maupun pejabat-pejabat perkoperasian. Untuk memberikan peranan pada koperasi di masa dating sebagai konsekuensi Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (1), maka koperasi-koperasi perlu dilandasi lebih dulu dengan jiwa koperasi yang mendalam, perlengkapan-perlengkapan pengetahuan dan ketrampilan di bidang mental, organisasi, usaha dan ketatalaksanaan agar mampu terjun di tengah-tengah arena pembangunan. Untuk melaksanakan tujuan ini maka pemerintah membangun Pusat-pusat Pendidikan Koperasi (PUSDIKOP) di tingkat Pusat dan juga di tiap ibukota Propinsi. Pusat Pendidikan Koperasi tersebut sekarang dirubah menjadi Pusat Latihan dan Penataran Perkoperasian (PUSLATPENKOP) di tingkat Pusat dan Balai Latihan Perkoperasian (BALATKOP) di tingkat daerah.
Di samping investasi mental ini telah dimulai pula rintisan investasi fisik dan finansial untuk melatih koperasi bergerak di bidang ekonomi. Untuk itu maka di samping pembinaan usaha dan tatalaksana didirikan pula Lembaga Jaminan Kredit Koperasi (LJKK) di tahun 1970 yang menjamin pinjaman-pinjaman koperasi dari bank-bank Pemerintah, secara selektif dan bertahap.
Di samping itu LJKK juga berperan untuk ikut dalam partisipasi modal pada proyek kredit investasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam kebijakan tertentu, Pemerintah atas dasar pertimbangannya apabila dinilai bunga atas sesuatu kredit pada koperasi terlalu tinggi, LJKK memberikan subsidi bunga. Sekarang Lembaga Jaminan Kredit Koperasi (LJKK) dirubah statusnya menjadi Perusahaan Umum Pengembangan Keuangan Koperasi (PERUM PKK).
Untuk mengatasi kelemahan organisasi dan memajukan manajemen koperasi maka sejak tahun1972 dikembangkan penggabungan koperasi-koperasi kecil menjadi koperasi-koperasi yang besar. Daerah-daerah di pedesaan dibagi dalam wilayah-wilayah Unit Desa (WILUD) dan koperasi-koperasi yang yang ada dalam wilayah unit desa tersebut digabungkan menjadi organisasi yang besar dan dinamakan Badan Usaha Unit Desa (BUUD). Pada akhirnya koperasi-koperasi desa yang bergabung itu dibubarkan, selanjutnya BUUD menjelmas menjadi KUD (Koperasi Unit Desa). Karena secara ekonomi menjadi besar dan kuat, maka BUUD/KUD itu mampu membiayai tenaga-tenaga yang cakap seperti manajer, juru buku, juru mesin, juru toko dan lain-lain. Juga BUUD/KUD itu dipercayai untuk meminjam uang dari Bank dan membeli barang-barang produksi yang lebih modern, sesuai dengan tuntutan kemajuan zaman (mesin gilingan padi, traktor, pompa air, mesin penyemprot hama dan lain-lain). Ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang Wilayah Unit Desa, BUUD/KUD dituangkan dalam Instruksi Presiden No.4/1973 yang selanjutnya diperbaharui menjadi Instruksi Presiden No.2/1978 dan kemudian disempurnakan menjadi Instruksi Presiden No.4/1984.
Dalam kenyataannya meskipun arus sumber-sumber daya pembangunan yang dicurahkan untuk mengatasi kemiskinan, khususnya di daerah-daerah pedesaan, belum pernah sebesar seperti dalam era pembangunan selama ini, namun kita sadarai sepenuhnya bahwa gejala kemiskinan dalam bentuk yang lama maupun yang baru masih dirasakan sebagai masalah mendasar dalam pembangunan nasional.
Keadaan yang telah berlangsung lama tersebut membuat masyarakat yang tergolong miskin dan lemah ekonominya belum pernah mampu untuk ikut memanfaatkan secara optimal berbagai sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia. Pada umumnya masyarakat yang termasuk golongan ini antara lain kelompok petani, buruh tani, nelayan yang hidup di desa-desa dan kelompok pekerja kasar di kota-kota bahkan meliputi pula kelompok penerima dengan hasil tetap seperti karyawan-karyawan perusahaan serta pegawai-pegawai kecil. Mereka miskin dan lemah karena mereka tidak memiliki modal yang cukup dan ketrampilan serta pendidikan yang layak.
Namun demikian, di samping kelemahan yang ada, dapat pula dicatat berbagai potensi yang mereka miliki. Potensi dan kekuatan tersebut antara lain:
1.      Bahwa ada kemauan dan kemampuan bekerja keras dan keuletan untuk dapat tumbuh dan berkembang;
2.      Bahwa sebagian besar dari mereka adalah pekerja dalam bidang pertanian yang mempengaruhi dan menentukan kekuatan perkekonomian nasional;
3.      Bahwa sejumlah besar mereka (70 sampai dengan 80% rakyat Indonesia tinggal di daerah pedesaan); dan
4.      Bahwa pada dasarnya mereka memiliki potensi social ekonomi yang dapat dikembangkan lebih lanjut melalui pendekatan pembangunan yang bersifat khusus.
Sedangkan untuk keberhasilan koperasi di dalam melaksanakan peranannya perlu diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:
1.      Kemampuan menciptakan posisi pasar dan pengawasan harga yang layak oleh, dengan cara:
a.      Bertindak bersama dalam menghadapi pasar melalui pemusatan kekuatan bersaing dari anggota;
b.      Memperpendek jaringan pemasaran;
c.       Memiliki manajer yang cukup trampil berpengetahuan luas dan memiliki idealisme;
d.      Mempunyai dan meningkatkan kemampuan koperasi sebagai satu unit usaha dalam mengatur jumlah dan kualitas barang-barang yang dipasarkan melalui kegiatan pergudangan, penelitian kualitas yang cermat dan sebagainya.
2.      Kemampuan koperasi untuk menghimpun dan menanamkan kembali modal, dengan cara pemupukan berbagai sumber keuangan dari sejumlah besar anggota.
3.      Penggunaan faktor-faktor produksi yang lebih ekonomis melalui pembebanan biaya over head yang lebih, dan mengusahakan peningkatan kapasitas yang pada akhirnya dapat menghasilkan biaya per unit yang relatif kecil.
4.      Terciptanya ketrampilan teknis di bidang produksi, pengolahan dan pemasaran yang tidak mungkin dapat dicapai oleh para anggota secara sendiri-sendiri.
5.      Pembebasan resiko dari anggota-anggota kepada koperasi sebagai satu unit usaha, yang selanjutnya hal tersebut kembali ditanggung secara bersama di antara anggota-anggotanya.
6.      Pengaruh dari koperasi terhadap anggota-anggotanya yang berkaitan dengan perubahan sikap dan tingkah laku yang lebih sesuai dengan perubahan tuntutan lingkungan di antaranya perubahan teknologi, perubahan pasar dan dinamika masyarakat.
Pemerintah di dalam mendorong perkoperasian telah menerbitkan sejumlah kebijaksanaan-kebijaksanaan baik yang menyangkut di dalam pengembangan di bidang kelembagaan, di bidang usaha, di bidang pembiayaan dan jaminan kredit koperasi serta kebijaksanaan di dalam rangka penelitian dan pengembangan perkoperasian. Sebagai gambaran perkembangan koperasi setelah masa orde baru dapat diikuti pada tabel berikut.
Tabel 5.4 Perkembangan Keragaan Koperasi Selama Pelita V

No.
Uraian
1984/1985
1985/1986
1986/1987
1987/1988
1988/1989
Rata-rata Pertumbuhan
1.
2.

3.

4.

5.

6.

7.
8.
Jumlah KUD (Unit)
Jumlah Koperasi Non KUD
Jumlah Anggota KUD (Orang)
Jumlah Anggota Kop Non KUD (Orang)
Jumlah Simpanan (Juta Rp.)
Jumlah Volume Usaha (Juta Rp.)
Jumlah SHU (Juta Rp.)
Permodalan (Juta Rp.)
6.629
19.803

12.008.000

4.396.00

131,958,5

1.490.112,3

31.957
467.572
6.979
21.124

14.916.000

5.370.000

178.088,9

2.213.702,9

32.488
618.804,5
7.350
23.096

15.733.000

5.845.000

414.995,1

1.452.995,4

39.445
870.446,8
7.470
23.692

16.682.000

8.863.000

435.745

2.218.00

-
1.183.807,6
7.873
25.451

17.494

9.668.000

-

2.214.00

-
-
4,33%
6,28%

13,12%

20,10%

44,64%

7,43%

19,31%
23,99%
Sumber: Ditjen Bina Lembaga Koperasi
Garis-Garis Besar Haluan Negara 1988 menetapkan bahwa koperasi dimungkinkan bergerak di berbagai sektor kegiatan ekonomi, misalnya sektor-sektor pertanian, industri, keuangan, perdagangan, angkutan dan sebagainya. Dalam pola umum Pelita ke lima menyebutkan bahwa “dunia usaha nasional yang terdiri dari usaha negara koperasi dan usaha swasta perlu terus dikembangkan menjadi usaha yang sehat dan tangguh dan diarahkan agar mampu meningkatkan kegairahan dan kegiatan ekonomi serta pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, memperluas lapangan kerja, meningkatkan taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan rakyat, serta memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa dan memantapkan ketahanan nasional. Dalam hal ini perlu diperluas kesempatan berusaha serta ditumbuh kembangkan swadaya dan kemampuan berusaha khususnya bagi koperasi, usaha kecil serta usaha informal dan tradisional, baik usaha masyarakat di pedesaan maupun di perkotaan. Selanjutnya perlu diciptakan iklim usaha yang sehat serta tata hubungan yang mendorong tumbuhnya kondisi saling menunjang antara usaha negara, usaha koperasi dan usaha swasta keterkaitan yang saling menguntungkan dan adil sntara golongan ekonomi kuat dan golongan ekonomi lemah“ (butir 2).
Untuk mewujudkan demokrasi ekonomi seperti yang dikehendaki dalam undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 1 berikut penjelasan, Pola Umum Pelita V juga menyebutkan “dalam rangka mewujudkan demokrasi ekonomi, koperasi harus makin dikembangkan dan ditingkatkan kemampuannya serta dibina dan dikelola secara efisien. Dalam rangka meningkatkan peranan koperasi dalam kehidupan ekonomi nasional, koperasi perlu dimasyarakatkan agar dapat tumbuh dan berkembang sebagai gerakan dari masyarakat sendiri. Koperasi di bidang produksi, konsumsi, pemasaran dan jasa perlu terus didorong, serta dikembangkan dan ditingkatkan kemampuannya agar makin mandiri dan mampu menjadi pelaku uatama dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Pembinaan yang tepat atas koperasi dapat tumbuh dan berkembang secara sehat serta hasil-hasil usahanya makin dinikmati oleh para anggotanya, Koperasi Unit Desa (KUD) perlu terus dibina dan dikembangkan agar tumbuh sehat dan kuat sehingga koperasi akan semakin berakar dan peranannya makin besar dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat terutama di pedesaan“ (butir d. 33).
Dalam Pelita V kebijakan pembangunan tetap bertumpu pada trilogi pembangunan dengan menekankan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang disertai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi serta stabilitas yang mantap. Ketiga unsure Trilogi Pembangunan tersebut saling mengkait dan saling memperkuat serta perlu dikembangkan secara selaras, serasi dan seimbang.
Dalam memperkokoh kerangka landasan untuk tinggal landas di bidang ekonomi, peranan koperasi merupakan aspek yang strategis di samping peran pelaku ekonomi lainnya. Kopperasi harus tumbuh kuat dan mampu menangani seluruh aspek kegiatan di bidang pertanian, industri yang kuat dan di bidang perdagangan barang-barang kebutuhan pokok masyarakat. 
Sejalan dengan prioritas pembangunan nasional, dalam Pelita V masih terpusatkan pada sector pertanian, maka prioritas pembinaan koperasi mengikuti pola tersebut dengan memprioritaskan pembinaan 2.000 sampai dengan 4.000 KUD Mandiri tanpa mengabaikan pembinaan-pembinaan terhadap koperasi jenis lain.
Adapun tujuan pembinaan dan pengembangan KUD Mandiri adalah untuk mewujudkan KUD yang memiliki kemampuan manajemen koperasi yang rasional dan efektip dalam mengembangkan kegiatan ekonomi para anggotanya berdasarkan atas kebutuhan dan keputusan para anggota KUD. Dengan kemampuan itu KUD diharapkan dapat melaksanakan fungsi utamanya yaitu melayani para anggotanya, seperti melayani perkreditan, penyaluran barang dan pemasaran hasil produksi.
Dalam rangka pengembangan KUD mandiri telah diterbitkan Instruksi Menteri Koperasi No. 04/Ins/M/VI/1988 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengembangan KUD mandiri. Pembinaan dan Pengembangan KUD mandiri diarahkan:
1.      Menumbuhkan kemampuan perekonomian masyarakat khusunya di pedesaan.
2.      Meningkatkan peranannya yang lebih besar dalam perekonomian nasional.
3.      Memberikan manfaat yang sebesar-besarnya dalam peningkatan kegiatan ekonomi dan pendapatan yang adil kepada anggotanya.
Ukuran-ukuran yang digunakan untk menilai apakah suatu KUD sudah mandiri atau belum adalah sebagai berikut:
1.      Mempunyai anggota penuh minimal 25% dari jumlah penduduk dewasa yang memenuhi persyaratan kenggotaan KUD di daerah kerjanya.
2.      Dalam rangka meningkatkan produktivitas usaha anggotanya maka pelayanan kepada anggota minimal 60% dari volume usaha KUD secara keseluruhan.
3.      Minimal tiga tahun buku berturut-turut RAT dilaksanan tepat pada waktunya sesuai petunjuk dinas.
4.      Anggota pengurus dan badan pemeriksa semua berasal dari anggota KUD dengan jumlah maksimal untuk pengurus 5 orang dan badan pemeriksa 3 orang.
5.      Modal sendiri KUD minimal Rp. 25,- juta.
6.      Hasil audit laporan keuangan layak tanpa catatan (unqualified opinion).
7.      Batas toleransi deviasi usaha terhadap rencana usaha KUD (Program dan Non Program) sebesar 20%.
8.      Rasio Keuangan:  Liquiditas, antara 15% s/d 200%; Solvabilitas, minimal 100%.
9.      Total volume usaha harus proposional dengan jumlah anggota, dengan minimal rata-rata Rp. 250.000,- per anggota per tahun.
10.  Pendapatan kotor minimal dapat menutup biaya berdasarkan prinsip efisiensi.
11.  Sarana usaha layak dan dikelola sendiri.
12.  Tidak ada penyelewengan dan manipulasi yang merugikan KUD oleh pengelola KUD.
13.  Tidak mempunyai tunggakan.
Keberhasilan atau kegagalan koperasi ditentukan oleh keunggulan komparatif koperasi. Hal ini dapat dilihat dalam kemampuan koperasi berkompetisi memberikan pelayanan kepada anggota dan dalam usahanya tetap hidup (survive) dan berkembang dalam melaksnakan usaha. Pengalaman empiris di mancanegara dan di negeri kita sendiri menunjukkan bahwa struktur pasar dari usaha koperasi mempengaruhi performance dan success koperasi (Ismangil, 1989).













Tidak ada komentar:

Posting Komentar