Kamis, 19 Mei 2011

"Koperasi sebagai Soko Guru Ekonomi"

A.    Pembangunan Koperasi Indonesia
Keberadaan koperasi di Indonesia hingga saat ini masih ditanggapai dengan pola pikir yang sangat beragam. Hal seperti itu wajar saja. Sebab, sebagai seperangkat sistem kelembagaan yang menjadi landasan perekonomian kita, koperasi akan selalu berkembang dinamis mengikuti berbagai perubahan lingkungan. Dinamika itulah yang mengundang lahirnya beraneka pola pikir tersebut. Gejala seperti itu justru sangat posisitf bagi proses pendewasaan koperasi.
Jika kita kembali pada definisi yang ada, koperasi Indonesia telah diberi devinisi sebagai bentuk lembaga ekonomi yang berwatak sosial. Dalam lingkup pengertian seperti itu, banyak pihak yang menafsirkan koperasi Indonesia semata-mata hanya sebagai suatu lembaga dalam arti yang sempit, yaitu organisasi atau badan hukum yang menjalankan aktivitas ekonomi dengan tujuan peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.
Padahal menurut pasal 33 UUD 1945, koperasi ditetapkan sebagai bangun usaha yang sesuai dalam tata ekonomi kita berlandaskan demokrasi ekonomi. Oleh karena itu seyogyanya koperasi perlu dipahami secara lebih luas yaitu sebagai suatu kelembagaan yang mengatur tata ekonomi kita berlandaskan jiwa dan semangat kebersamaan dan kekeluargaan. Jiwa dan semangat kebersamaan serta kekeluargaan itulah yang perlu ditempatkan sebagai titik sentral dalam memahami pasal 33 UUD 1945 beserta penjelasannya secara lebih luas dan mendasar.
Dengan pemahaman demikian, jelaslah bahwa dalam demokrasi ekonomi jiwa dan semangat kebersamaan dan kekeluargaan juga harus dikembangkan dalam wadah pelaku ekonomi lain, seperti BUMN dan swasta, sehingga ketiga wadah pelaku ekonomi tersebut dijamin keberadaannya dan memiliki hak hidup yang sama di negeri ini.
Selanjutnya timbul pertanyaan bagaimana upaya kita menerjemahkan pengertian koperasi ke dalam konsep sokoguru perekonomian? Jawaban sementara dapat diketengahkan sebagai berikut, “jika ingin membangun pengertian dalam lingkup konsep sokoguru perekonomian nasional, maka intinya adalah bagaimana mengupayakan agar jiwa dan semangat kebersamaan dan kekeluargaan secara substantif barada dan mewarnai kehidupan dari ketiga wadah pelaku ekonomi.”
Jadi membangun sokoguru perekonomian nasional berarti membangun badan usaha koperasi yang tangguh, menumbuhkan badan usaha swasta yang kuat, dan mengembangkan BUMN yang mantap secara simultan dan terpadu dengan bertumpu pada trilogi pembangunan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat banyak. Karena pemahaman dan pemikiran terhadap koperasi dalam arti yang luas dan mendasar seperti dimaksudkan dalam pasal 33 UUD 1945 beserta penjelasannya, memang sangat diperlukan. Apalagi, dalam menghadapi berbagai perubahan dan tantangan pembangunan kita di masa yang akan datang.
Seperti telah kita sadari bersama bahwa dalam era tinggal landas nanti, untuk mewujudkan perekonomian yang berlandaskan trilogi pembangunan setidak-tidaknya terdapat tiga tantangan besar yang perlu diantisipasi oleh ketiga wadah pelaku ekonomi, yaitu:
1.      Mempertahankan pertumbuhan ekonomi dalam situasi proses globalisasi ekonomi yang makin meluas.
2.      Mempercepat pemerataan yang makin mendesak mengingat 36,2 juta rakyat masih berada di bawah garis kemiskinan.
3.      Memelihara kesinambungan kegiatan pembangunan yang stabil dan dinamis dalam rangka mengantisipasi kemungkinan adanya berbagai kendala yang menghambat upaya kita menjawab kedua tantangan di atas.
Untuk menjawab dengan tepat tantangan tersebut di atas, diperlukan komitmen dan tanggungjawab yang besar dari ketiga wadah pelaku ekonomi tersebut. Kongkritnya adalah peningkatan dan pematangan integrasi ketiga wadah pelaku ekonomi, yang dilandaskan atas jiwa dan semangat kekeluargaan dan kebersamaan. Proses integrasi tersebut adalah proses hubungan keterkaitan integratif yang telah dan sedang dilaksanakan untuk mengembangkan ketiga wadah pelaku ekonomi tersebut sesuai dengan fungsinya masing-masing. Peningkatan dan pemantapan proses integrasi tersebut mutlak harus dilaksanakan untuk menjawab tantangan pembangunan di masa yang akan datang.
Sehubungan dengan masalah mendasar tersebut, adalah menarik untuk dikaji pemikiran beberapa pakar yang mengatakan bahwa dalam tata perekonomian kita yang didasarkan pada demokrasi ekonomi, ketiga wadah pelaku ekonomi memang mempunyai komitmen dan tanggungjawab yang sama terhadap terwujudnya trilogi pembangunan. Namun demikian sesungguhnya terdapat pembagian kerja bagi masing-masing wadah pelaku ekonomi tersebut. Pembagian kerja tersebut merupakan konsekuensi akibat perbedaan ciri-ciri organisasi masing-masing wadah pelaku ekonomi tersebut. Hal ini terutama berkaitan dengan tingkat efisiensi masing-masing wadah pelaku ekonomi tersebut dalam mencapai salah satu unsur dari trilogi pembangunan.
Dilihat dari tingkat efisiensi, masing-masing wadah pelaku ekonomi tersebut mempunyai keunggulan komparatif sendiri-sendiri dalam mewujudkan perekonomian nasional yang berlandaskan trilogi pembangunan. Melalui pemikiran tersebut di atas, dapat dirumuskan suatu pola pembagian kerja di antara ketiga wadah pelaku ekonomi tersebut, bukan dalam bentuk gagasan pengkaplingan bidang usaha, melainkan dalam pembagian kerja secara fungsional yang berlandaskan pada trilogi pembangunan.
Koperasi dengan sifat-sifat khas berdasarkan prinsip kelembagaannya, nampak lebih efisien untuk melaksanakan secara langsung tugas pokoknya di bidang pemerataan. Tentu saja hal ini dilakukan dengan tidak mengabaikan tanggungjawab dan tugasnya di bidang pertumbuhan dan stabilitas. Pemikiran tentang tugas pokok koperasi seperti diuraikan oleh para pakar tersebut, memang dapat merupakan rasionalisasi dari tugas koperasi yang telah secara tegas tercantum dalam arah pembangunan jangka panjang (GBHN), yaitu sebagai wadah untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan yang lebih besar bagi golongan ekonomi lemah agar mereka dapat ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan dan sekaligus dapat ikut menikmati hasil-hasilnya.
Koperasi merupakan kunci utama dalam upaya mengentaskan anggota masyarakat kita dari kemiskinan. Dengan tugas funsional koperasi seperti itu, diharapkan akan lebih efisien apabila fungsinya diarahkan untuk tugas pokok memobilisasikan sumberdaya dan potensi pertumbuhan yang ada, tanpa harus mengabaikan fungsinya dalam mengembangkan tugas stabilitas dan pemerataan. Sedangkan BUMN, sebagai satu wadah pelaku ekonomi yang dimiliki oleh pemerintah, mempunyai kelebihan potensi yaitu lebih efisien dalam tugas pokoknya melaksanakan stabilitas, sekaligus berfungsi merintis pertumbuhan dan pemerataan.
Apabila kita dapat mengikuti pemikiran para pakar seperti diuraikan di atas, maka akan lebih memperkuat alasan bahwa untuk menghadapi tantangan-tantangan di masa mendatang, masing-masing wadah pelaku ekonomi seharusnya tidak dibiarkan tumbuh dan berkembang sendiri-sendiri. Ketiga wadah pelaku ekonomi tadi justru harus berkembang dan saling terkait satu sama lain secara integratif. Tanpa keterkaitan integratif seperti itu, perekonominan nasional kita tidak akan mencapai produktivitas dan efisiensi nasional yang tinggi. Di samping itu kita akan selalu menghadapi munculnya kesenjangan antara tingkat pertumbuhan dan tingkat pemerataan yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat stabilitas nasional.
Hal ini disebabkan swasta dan BUMN, sesuai dengan ciri organisasi dan tugasnya, memiliki peluang yang lebih besar untuk tumbuh dan berkembang secara lebih cepat. Sedangkan koperasi, sesuai dengan ciri-ciri dan tugasnya yang berorintasi pada upaya peningkatan pendapatan masyarakat golongan ekonomi lemah, tumbuh dan berkembang lebih lamban dibanding dengan kedua wadah pelaku ekonomi.
Oleh karena itu, harus diusahakan agar tingkat pertumbuhan koperasi dapat sejajar dan selaras dengan tingkat pertumbuhan pihak swasta dan BUMN sehingga tercapai pertumbuhan yang merata. Untuk itu tidak dapat dihindarkan bahwa tingkat perkembangan koperasi pada umumnya harus secara aktif dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi pada wadah pelaku ekonomi swasta dan BUMN. Sebaliknya pihak swasta dan BUMN dalam pertumbuhannya mempunyai kewajiban untuk membantu koperasi dengan memberikan peluang dan dorongan melalui proses belajar yang efektif. Tentu saja bantuan tersebut tanpa harus mengganggu prestasi dan gerak pertumbuhan swasta dan BUMN itu sendiri.
Dengan demikian koperasi, dalam proses perkembangannya, akan lebih terdorong untuk berkembang lebih cepat dalam melaksanakan tugas pokoknya sebagai wadah pemerataan dan mampu mempertahankan perkembangannya, sehingga tidak menjadi beban bagi swasta dan BUMN.
Kondisi semacam itu merupakan wujud nyata gambaran pelaksanaan jiwa dan semangat kebersamaan dan kekeluargaan dalam tata perekonomian nasional kita. Dalam hubungan itu tepat apa yang dijabarkan ISEI dalam naskah penjabaran Demokrasi Ekonomi, bahwa wadah pelaku ekonomi yang kuat tidak dihalangi dalam upayanya memperoleh kemajuan dan perkembangan. Mereka justru berkewajiban membantu perkembangan wadah pelaku ekonomi lainnya yang lebih lemah. Sebaliknya pelaku ekonomi yang lemah perlu dibantu dan diberi dorongan agar dapat lebih maju.
Dengan demikian semua pelaku ekonomi dapat tumbuh dan berkembang bersama-sama sesuai dengan fungsinya. Selanjutnya bentuk hubungan keterkaitan integratif tersebut dalam pelaksanaannya harus tetap dilandaskan dan mengacu pada prinsip-prinsip ekonomi yang rasional dalam mekanisme pasar yang sehat. Oleh karena itu keterkaitan integratif harus dilaksanakan tetap dalam kerangka hubungan yang saling memberi manfaat, baik manfaat ekonomi maupun manfaat sosial. Manfaat sosial di sini berarti bahwa secara langsung maupun tidak langsung, jangka pendek maupun jangka panjang, pasti akan memberikan manfaat ekonomi.
Secara lebih kongkrit bentuk keterkaitan integratif dapat berupa tiga bentuk utama, yaitu: persaingan yang sehat, keterkaitan mitra-usaha dan keterkaitan kepemilikan. Dalam membahas keterkaitan integratif melalui persaingan yang sehat, bentuk keterkaitan tersebut dilaksanakan berdasarkan ketentuan adanya kesepakatan untuk bersaing dengan masing-masing mendapatkan keuntungan yang wajar tanpa harus saling merugikan.
Hal itu dapat diwujudkan, baik melalui peningkatan efisiensi masing-masing pihak dalam mengelola sumber daya yang dimiliki secara optimal, maupun melalui pemanfaatan peranan salah satu wadah pelaku ekonomi sebagai pengimbang bagi pelaku ekonomi lain dalam pelaksanaan kegiatan usaha pada bidang tertentu.
Semua langkah tersebut diorientasikan pada upaya untuk selalu mengefisienkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia dengan tetap menerima kondisi keterkaitan satu sama lain dalam sistem perekonomian nasional. Salah satu contoh keterkaitan integratif seperti diuraikan di atas dalam bentuk yang mungkin masih terus disempurnakan, diantaranya adalah tata niaga pangan, khususnya padi dan palawija.
Dalam tata niaga pangan tersebut, telah dapat diwujudkan suatu bentuk keterkaitan antara BUMN, koperasi dan swasta, baik sebagai produsen maupun konsumen yang masing-masing dapat menjalakan tugas pokoknya dan mendapatkan keuntungan serta manfaat yang wajar sehingga mereka dapat lebih tumbuh bersama secara merata dan saling tergantung satu sama lain.
Selanjutnya bentuk keterkaitan integratif lainnya dapat bersifat komplementer atau substitusi pada suatu bidang usaha tertentu. Keterkaitan komplementer diartikan bahwa setiap wadah pelaku ekonomi yang masih lemah di bidang tertentu, dapat dibantu dan diperkuat oleh wadah pelaku ekonomi lainnya yang mampu di bidang itu, sehingga secara bertahap yang lemah tadi menjadi kuat. Dalam hubungan itu masing-masing wadah pelaku ekonomi yang terlibat dalam hubungan tersebut haruslah berada dalam posisi dan kedudukan yang setaraf. Dengan demikian nilai tambah yang dihasilkan dapat dibagi secara proporsional atau seimbang, sesuai dengan prestasi masing-masing wadah pelaku ekonomi. Bentuk keterkaitan Bapak–Anak angkat, Pola PIR, adalah beberapa contoh bentuk keterkaitan komplementer seperti diuraikan di atas.
Dalam kerangka keterkaitan substitusi tersebut apabila salah satu wadah pelaku ekonomi, karena satu dan lain hal, tidak mampu melakukan misi dan peranannya maka untuk sementara peranan tersebut dapat digantikan oleh wadah pelaku ekonomi lainnya yang lebih mampu. Dalam kaitan itu, bentuk substitusi ini dapat dilakukan baik oleh BUMN maupun swasta besar untuk membantu wadah pelaku ekonomi lain yang masih lemah, baik yang tergabung dalam bentuk swasta maupun koperasi.
Selanjutnya pada saat tertentu, jika kondisinya telah memungkinkan, BUMN dan swasta dapat secara bertahap menyerahkan kembali kepemilikan dan pengelolaan usaha itu kepada salah satu wadah pelaku ekonomi yang lemah tadi sesuai dengan bidang usaha yang dikembangkannya. Apabila kegiatan usaha tersebut menyangkut pemerataan, pemilikan dan pengelolaan usaha tersebut diserahkan kepada koperasi. Sedangkan kegiatan usaha yang menyangkut bidang pertumbuhan ekonomi dapat diserahkan pada sektor swasta.
Sebagai contoh yang aktual, bentuk keterkaitan substitusi adalah Tata Niaga Cengkeh. Karena koperasi belum mampu melaksanakannya sendiri, tugas tersebut dilaksanakan oleh swasta yaitu BPPC. Selanjutnya secara bertahap sesuai dengan kemampuan koperasi, tugas tersebut diserahkan secara penuh kepada koperasi.
Ketiga bentuk keterkaitan tersebut di atas, suatu saat akan sampai pada posisi yang lebih terintegrasi secara total, dalam bentuk keterkaitan kepemilikan. Melalui bentuk keterkaitan tersebut, secara bertahap koperasi dapat memilki saham perusahaan, baik koperasi itu sendiri memilki keterkaitan usaha secara langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan dimaksud.
Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa integrasi ketiga wadah pelaku ekonomi tersebut yang telah mulai dilaksanakan pada PJPT–I ini harus terus ditekankan dan dimantapkan sebagai wadah dasar guna menggerakkan upaya mewujudkan trilogi pembangunan: pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas yang secara selaras, terpadu, saling memperkuat serta mendukung sesuai dengan keunggulan komparatif masing-masing wadah pelaku ekonomi tersebut di masa mendatang.
Dari keseluruhan pola pikir seperti diuraikan tersebut di atas, maka jelaslah bahwa dalam tatanan perekonomian nasional, koperasi Indonesia pada dasarnya mempunyai fungsi yang sarat dengan misi pembangunan, terutama terwujudnya pemerataan.
Koperasi Indonesia merupakan bagian integral dari sistem pembangunan nasional kita. Peranan itu memang susuai dengan ketetapan mengenai fungsi koperasi sebagaimana tercantum dalam Undang-undang nomor 12 tahun 1967 tentang pokok-pokok Perkoperasian yang menegaskan bahwa koperasi sebagai alat perjuangan ekonomi guna mempertinggi kesejahteraan rakyat banyak.
Dari kerangka pendekatan dan pemikiran yang bersifat integral di atas, maka jelaslah bahwa koperasi Indonesia adalah suatu badan usaha yang seharusnya dapat bergerak di bidang usaha apa saja sepanjang orientasinya adalah untuk meningkatkan usaha golongan ekonomi lemah. Koperasi ini pada gilirannya akan memberikan dampak berupa peningkatan kesejahteraan mereka.
Orientasi usaha seperti itulah yang merupakan salah satu ciri sosial dari koperasi yang membedakannya dengan badan usaha lainnya. Dalam hubungan ini perlu juga adanya kejelasan terhadap pendapat bahwa karena koperasi harus melayani yang lemah dan kecil, maka usaha koperasi tidak dapat menjadi besar. Pendapat demikian ini adalah keliru, karena justru untuk memperoleh kelayakan usahanya, setiap koperasi harus didorong dan dikembangkan menjadi besar dengan menghimpun kekuatan ekonomi dari mereka yang lemah dan kecil-kecil. Memang perlu ditegaskan bahwa besarnya usaha koperasi seperti di atas bukanlah tujuan, tetapi hanya merupakan dampak dari suatu upaya untuk dapat mengembangkan dirinya secara efektif dan efisien.
Tolak ukur perkembangan koperasi Indonesia bukan saja besar atau kecilnya volume usaha atau sumbangannya dalam pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, kurang relevan kalau mengukur keberhasilan koperasi dengan ukuran keberhasilan BUMN atau swasta. Yang menjadi ukuran koperasi Indonesia adalah sejauh mana usaha koperasi itu terkait dengan usaha anggotanya terutama golongan ekonomi lemah, dan pada gilirannya dapat menghasilkan manfaat sebesar-besarnya dalam proses peningkatan kesejahteraan mereka. Dengan perkataan lain yang diukur adalah sumbangannya secara langsung dalam proses melaksanakan fungsi pemerataan.
Dengan cara pandang demikian koperasi yang memiliki usaha kecil, namun terkait dengan kegiatan usaha para anggotanya akan memiliki bobot kualitas yang lebih tinggi dibanding dengan koperasi yang memiliki usaha besar tetapi tidak terkait dengan kegiatan usaha atau kepentingan para enggotanya.
Dalam hubungan itu tepatlah apa yang dikatakan mantan Presiden RI, Soeharto bahwa, “masih ada yang berpendapat bahwa koperasi tertinggal jauh dibandingkan BUMN dan perusahaan swasta, karena tidak ada koperasi yang memiliki bangunan megah atau usaha berskala besar. Padahal tujuan koperasi bukanlah untuk mendirikan usaha besar serta gedung mewah. Tetapi yang jelas tugas utama koperasi adalah tetap berusaha meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran anggotanya”.
Selanjutnya dalam rangka mengukur keberhasilan pembangunan koperasi juga terdapat pandangan yang kurang tepat apabila dilakukan dengan membandingkan kelambanan proses perkembangan koperasi di Indonesia dengan kecepatan kemajuan koperasi di negara-negara lain, terutama negara-negara maju. Hal ini disebabkan karena koperasi yang sudah pesat kemajuannya di negara lain pada umumnya telah berkembang rata-rata lebih dari 50 tahun. Sedangkan di Indonesia perkembangan koperasi mulai dibangun secara konseptual dan intensif sejak Pelita II. Di samping itu di negara yang koperasinya sudah maju, pada awal perkembangannya, koperasi tidaklah diberi peran formal untuk mengatasi kemiskinan. Kalau toh ada golongan ekonomi lemah pada saat itu maka jelas golongan tersebut kondisinya jauh lebih baik dibanding dengan kondisi golongan ekonomi lemah di Indonesia.
Dengan posisi seperti itu adalah hal wajar apabila koperasi Indonesia tumbuh lebih lamban, karena membangun koperasi Indonesia tidak mudah dan sederhana mengingat umumnya koperasi dibentuk oleh mereka yang bermodal kecil, berketerampilan sederhana dan tidak memiliki pengetahuan manajemen yang memadai.
Setelah diketahui dengan jelas fungsi koperasi di Indonesia, maka permasalahan selanjutnya adalah bagaimana strategi pembangunannya. Seperti telah kita ketahui bersama bahwa masalah utama dalam pengembangan koperasi Indonesia adalah belum tersedianya jaminan pasar, kelemahan manajemen dan keterbatasan modal. Masalah seperti itu perlu segera diatasi dengan strategi pembinaan yang tepat dan efektif, serta tetap mengacu pada strategi pembangunan nasional kita seperti yang telah diuraikan di atas, yaitu strategi keterkaitan integratif.
Strategi itu telah mulai dilaksanakan sejak Pelita II yang lalu, dengan upaya mengembangkan koperasi Indonesia di pedesaan yang kita kenal dengan Koperasi Unit Desa (KUD). Strategi itu telah berhasil tidak saja mengembangkan KUD-KUD yang sebagian besar telah mandiri, namun juga sekaligus mampu mengembangkan mitra usahanya baik swasta maupun BUMN. Namun demikian harus diakui bahwa keberhasilan tersebut belum lagi optimal. Koperasi Indonesia belum lagi dapat berfungsi secara efektif terutama dalam rangka mengangkat rakyat kita yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Itu merupakan tantangan besar bagi koperasi Indonesia.
Untuk itu strategi keterkaitan integratif tersebut harus lebih digalakkan dan dimantapkan dalam pelaksanaannya di masa mendatang. Selanjutnya suatu aspek lain yang perlu kita bahas adalah agar proses hasil keterkaitan integratif itu dapat optimal dan efisien, seyogyanya ketiga wadah pelaku ekonomi tidak berupaya untuk mengembangkan dirinya menjadi organisasi yang eksklusif.
Dalam hubungan ini koperasi Indonesia juga harus lebih terbuka karena sikap eksklusifnya hanya akan semakin memperlemah posisinya. Melalui keterbukaan tersebut, semua aset nasional akan dapat dimanfaatkan untuk menjadi faktor pendorong dalam mempercepat perkembangan koperasi Indonesia, tanpa harus kehilangan asas sendi-sendi dasarnya.
Untuk itu, di samping terus mengembangkan kekuatan jaringan koperasi sendiri, seharusnya yang lebih penting adalah menyempurnakan kebijaksanaan dan strategi pembangunan koperasi Indonesia sebagai suatu sistem yang lebih terpadu. Melalui sistem tersebut, di samping akan dapat dimanfaatkan instansi pembina koperasi terkait juga akan dapat dimanfaatkan oleh pihak lain yang berkepentingan, terutama kedua wadah pelaku ekonomi lainnya untuk membantu bekerjasama dalam membangun koperasi berdasar kerangka hubungan keterkaitan integratif seperti diuraikan di atas.
Sebagai contoh aktual, misalnya pengembangan aspek permodalan koperasi. Untuk mengatasi keterbatasan permodalan yang dimiliki koperasi, di samping mengembangkan lembaga keuangan (bank maupun lembaga keuangan bukan bank) milik koperasi sendiri, koperasi Indonesia harus dapat mengembangkan suatu sistem permodalan koperasi Indonesia yang dapat dimanfaatkan oleh lembaga keuangan non-koperasi untuk membantu mengatasi kebutuhan permodalan koperasi tersebut.
Ketentuan dan kebijaksanaan Pakjan 29/1990 misalanya adalah salah satu bentuk kongkrit dari sistem permodalan koperasi. Melalui ketentuan itu semua lembaga keuangan bank milik pemerintah, swasta maupun koperasi dapat bersama-sama berkiprah untuk mengatasi dan membangun permodalan koperasi yang kokoh dan kuat.
Selanjutanya dalam rangka menyempurnakan kebijaksanaan strategis pembangunan koperasi Indonesia tersebut di atas, ketentuan-ketentuan yang ada dan tidak relevan perlu ditinjau kembali dengan pengertian untuk mempercepat peningkatan kualitasa internal organisasi koperasi agar benar-benar dapat menjadi lembaga usaha yang efisien dan mandiri. Melalui langkah itu, diharapkan koperasi Indonesia akan mampu memanfaatkan peluang yang dihadapi dalam kegiatan usahanya sendiri, dan selanjutnya mampu mengembangkan hubungan keterkaitan integratif dengan dua wadah pelaku ekonomi lainnya.
Sejarah mencatat bahwa citra koperasi pernah merosot hingga titik terendah pada masa lalu. Hal itu disebabkan karena terjadinya praktek-praktek berkoperasi yang sudah jauh menyimpang dari prinsip dan sendi dasar koperasi sendiri. Akibatnya, saat itu rakyat telah kehilangan kepercayaan terhadap koperasi. Sekiranya dibiarkan, akan diperlukan waktu yang relatif sangat lama untuk menumbuhkan kembali kepercayaan rakyat itu.
Oleh sebab itu pemerintah berkewajiban untuk membantu upaya membangun kembali citra koperasi. Yang terpenting untuk diketahui adalah bahwa keterlibatan pemerintah itu bukanlah keterlibatan permanen, tetapi hanya bersifat sementara. Berdasar hal itu kebijakan pemerintah untuk membina koperasi Indonesia, khususnya koperasi pedesaan, adalah dengan menerapkan strategi tiga tahap pembangunan: tahap ofisialisasi, tahap deofisialisasi dan tahap otonomi.
Pada tahap ofisialisasi, pemerintah secara sadar mengambil peran besar untuk mendorong dan mengembangkan prakarsa dalam proses pembentukan koperasi. Lalu, membimbing pertumbuhannya serta menyediakan berbagai fasilitas yang diperlukan. Sasarannya adalah agar koperasi dapat hadir dan memberikan manfaat dalam pembinaan perekonomian rakyat, yang pada gilirannya diharapkan akan menumbuhkan kembali kepercayaan rakyat sehingga mendorong motivasi mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan koperasi tersebut.
Tahap deofisialisasi ditandai dengan semakin berkurangnya peran pemerintah. Diharapkan pada saat bersamaan partisipasi rakyat dalam koperasi telah mampu menumbuhkan kekuatan intern organisasi koperasi dan mereka secara bersama telah mulai mampu mengambil keputusan secara lebih mandiri. Tahap ketiga adalah otonomi. Tahap ini terlaksana apabila peran pemerintah sudah bersifat proporsional. Artinya, koperasi sudah mampu mencapai tahap kedudukan otonomi, berswadaya atau mandiri.
Tahapan tersebut di atas telah dilaksanakan secara konsisten sejak Pelita II, di mana pemerintah pertama-tama memprakarsai untuk menyusun konsep kelembagaan koperasi pedesaan. Kemudian melaksanakannya melalui pilot project yang kita kenal dengan proyek BUUD. Proyek tersebut berhasil dan kelembagaan BUUD disempurnakan menjadi KUD melalui Inpres No. 4/1973. Di dalam Inpres tersebut di samping penegasan KUD sebagai koperasi pertanian serta usaha, juga diletakkan berbagai kebijakan dan strategi pembangunannya. Inpres tersebut kemudian disempurnakan kembali melalui Inpres No. 2/1978 dan yang terakhir adalah Inpres No. 4/1984 di mana fungsi dan peran KUD diperluas sebagai koperasi pedesaan serba usaha yang pembangunannya dikaitkan sebagai bagian integral dari pembangunan ekonomi pedesaan.
Awal Pelita V hingga Pelita VI merupakan masa transisi tahap terakhir, yaitu tahap otonomi. Langkah strategis yang telah dilakukan pada awal Pelita V adalah dengan mengembangkan program KUD mandiri di mana pada awal Pelita V telah terwujud 2.929 KUD mandiri. Pada akhir Pelita V lebih dari 4000 KUD yang tersebar di setiap kecamatan di seluruh Indonesia merupakan KUD yang minimal telah mencapai posisi awal kemandiriannya.
Keberadaan KUD mandiri tersebut akan semakin memperkecil keterlibatan langsung pemerintah dalam upaya mengembangkan koperasi. Pada gilirannya, yaitu dalam Pelita VI seluruh KUD mandiri tersebut diharapkan telah mampu mencapai posisi yang sepenuhnya mandiri. Sedangkan KUD yang aktif lainnya telah memasuki awal kemandiriannya.
Hasil-hasil positif dari kebijakan pembangunan koperasi tersebut di atas kalau kita nilai secara jujur dan obyektif adalah merupakan hasil upaya keterlibatan pemerintah yang sangat positif. Barangkali suatu pemikiran yang kurang tepat bahwa peranan pemerintah selama ini dalam pembangunan koperasi menjadi counter productive dan menghasilkan KUD-KUD milik pejabat pemerintah. Yang sebenarnya terjadi di lapangan justru sebaliknya, bantuan pemerintah dalam bentuk pemberian bimbingan, fasilitas dan perlindungan kepada KUD khususnya ternyata telah mampu mendorong prakarsa masyarakat perdesaan untuk bangkit dan berpartisipasi dalam membangun koperasinya sendiri, sehingga KUD mulai tumbuh sebagai gerakan masyarakat pedesaan yang mandiri.
Proses pembinaan yang sama sesungguhnya juga telah dilakukan pemerintah dalam membangun BUMN-BUMN dan swasta sejak Orde-Baru, di mana pada saat ini banyak BUMN dan swasta yang telah mampu menjadi perusahaan-perusahaan besar yang mandiri dan tangguh setelah melewati masa-masa sulit sebelumnya.
BUMN dan swasta yang telah mapan merupakan bukti ekonomi yang pada tahap selanjutnya dikuatkan oleh sehatnya Koperasi Mandiri. Koperasi menjadi "alat yang menyejarah" bagi tumbuh dan berkembangnya ekonomi rakyat. Koperasi menjadi wadah ekonomi yang politis agar cita-cita rakyat banyak dapat terpenuhi. Karena itu, koperasi harus dipelajari dari sejarahnya yang panjang. Sejarah pergerakan bangsa dalam upaya kemartabatan bangsa.
B.     Politik Ekonomi Koperasi (Belajar dari Hatta)
Secara umum, belajar sejarah pondasi koperasi adalah belajar dari Mohammad Hatta. Tetapi, pada Bung Hatta, magnitudenya dalam sejarah dan pembangunan nasional bangsa kita tidaklah bisa diredusir hanya sebagai pemikir ekonomi Bapak Koperasi Indonesia saja. Karena, sebagaimana yang kita ketahui bersama, Hatta adalah salah satu Bapak bangsa dan sekaligus berperan sebagai intelektual dalam pengertian yang sebenarnya.
Hal ini, perlu kita camkan terlebih dahulu untuk menghindari distorsi dan kesalahpahaman dalam menempatkan posisi Bung Hatta dalam sejarah nasional. Magnitude Bung Hatta dalam realitasnya jauh lebih besar dari pada sekadar seorang ekonom dan Bapak Koperasi. Tidaklah mengherankan, karenanya jika George Kahin, pionir pengamat politik Indonesia ketika membuat Kata Pengantar untuk buku terjemahan karangan Bung Hatta, "The Cooperative Movement in Indonesia" yang terbit pada 1957 pertama-tama lebih melihat Hatta bersama dengan Soekarno sebagai pemimpin bangsa, dan bukan sebagai ekonom dan Bapak Koperasi indonesia. "Hatta," ujar George Kahin, dikenal luas sebagai salah satu pemimpin Indonesia modern.
Bersama Soekarno, dia telah memainkan peran yang berpengaruh sebagai pendiri gerakan kebangsaan Indonesia sebelum perang dunia, sebagai seorang pemimpin revolusi Indonesia dan sebagai pejabat pemerintah Indonesia di dalam massa pasca-revolusi.
Kenyataan ini perlu disadari untuk memahami tempat Bung Hatta secara lebih tepat dalam rentang sejarah. Dalam perspektif ini, apa yang ingin diungkapkan adalah bahwa seluruh potensi dan daya juang, daya intelektual dan daya imajinasi Bung Hatta sepenuhnya dibaktikan untuk pembangunan bangsa Indonesia dalam arti yang seluas-luasnya. Dalam arti kata lain, sosok Bung Hatta tak lagi bisa dipisahkan dengan pembentukan negara Indonesia modern, seperti juga diucapkan kembali oleh George Kahin, bahwa "Hatta is so much a part of modern Indonesia's history".
George Kahin memang tepat menggambarkan magnitude Bung Hatta sebagai negarawan dalam konstalasi kenegaraan Indonesia modern. Sehingga ketika Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden pada 1956 dan implikasi krisis disintegrasi politik yang diakibatkannya, ia memberikan komentar: "there is no doubt that Indonesia needs his talent and leadership for her economic development as much as she needs them for her political reintegration" (tidaklah diragukan bahwa Indonesia memerlukan bakat-bakat dan kepemimpinan Bung Hatta untuk pembangunan ekonomi maupun kemampuan kenegaraannya mempersatukan kembali politik Indonesia).
Penilaian pionir pengamat politik Indonesia di atas sekali lagi, menarik untuk dikemukakan. Pertama, karena ketepatannya dalam menggambarkan magnitude Bung Hatta bagi bangsa kita. Kedua, karena penilaian itu tidaklah berdiri sendiri, tetapi juga merupakan pandangan umum para pengamat dan kalangan Barat yang mengenal secara dekat dengan jalannya perjuangan bangsa dan kehidupan Bung Hatta itu sendiri. Demikianlah misalnya, pandangan George Kahin di atas sejalan dengan pandangan Ketua Eerste Kamer Belanda Mr. Jonkman pada 1957, seperti yang diceritakan kembali oleh Mr. Wilopo, salah satu Perdana Menteri Indonesia.
Dengan melihat dan menghayati magnitude Bung Hatta dalam perspektif ini maka sedikit banyak kita bisa mencandra posisi tokoh ini dalam gelombang dan arus perjuangan bangsa sepanjang masa secara lebih proporsional. Dalam konteks ini kita harus melihat bahwa obsesi terbesar serta pengabdian total Bung Hatta semata-mata tertuju kepada kemerdekaan dan kemajuan bangsanya, bukan hanya tertuju pada salah satu bidang pengabdian saja. Maka jauh dari bidang akademiknya (yaitu ilmu ekonomi), terdorong oleh perasaan dan semangat kebangsaan, Bung Hatta secara langsung terjun ke dalam dunia politik sejak mudanya yang bahkan mengorbankan dirinya sendiri ditangkap dan diadili di negeri Belanda. Ketika kembali ke Indonesia, ia dibuang ke Tanah Merah dan Banda Neira.
Keterlibatan Bung Hatta dalam politik bukanlah karena keterpukauannya terhadap dinamika dunia ini, melainkan karena Bung Hatta melihat bahwa politik merupakan salah satu jalan untuk mencapai obsesi besarnya: Indonesia merdeka dan pembangunan bangsa. Dalam konteks ini, berpolitik untuk mencapai kemerdekaan dan pembangunan bangsa bisa jadi merupakan kata-kata kunci dan merupakan muara pemaknaan dari seluruh aktivitas Bung Hatta yang pengungkapannya tak tergelincir hanya pada satu segi atau satu bidang saja.
Maka, meskipun Bung Hatta secara akademis berlatarbelakang ekonomi, ia menjadi nasionalis Indonesia sebelum perang dan bergerak dalam bidang ekonomi sebagai akibat tekanan-tekanan politik Pemerintah Kolonial di akhir dekade 20-an dan awal dekade 30-an. Dengan tajam Bung Hatta mengkritik para ekonom yang tidak berpolitik kebangsaan sebagai impotensi politik. Mereka disebut Bung Hatta, "sebagai usaha menggantikan perjuangan aktif dengan garis perjuangan yang paling lemah pertahanannya". Di sini, kita melihat benang merah cita-cita perjuangan Bung Hatta yang harus digerakkan dengan totalitas usaha dan dia sendiri, sebagai seorang ekonom tidak terjebak untuk hanya menekankan segi ekonomi dalam pergerakkan kebangsaan itu.
Bung Hatta, dalam konteks itu berpandangan bahwa perjuangan politik kebangsaan dalam bentuk aktivitas ekonomi belum dianggap relevan, karena dasar-dasar politik untuk melakukannya masih belum kuat. Sifat mengalah kaum nasionalis dalam gerakkan politik kebangsaan sebagai akibat penindasan keras dan radikal Pemerintah Kolonial akan menghapuskan kesempatan bangkitnya bangsa secara politik. Sambil menunjuk contoh pantang menyerah kaum nasionalis India melawan Pemerintah Kolonial Inggris yang membangkitkan gerakkan politik massa yang lebih militan, yang menyebabkan kaum kolonial mengalah. Bung Hatta ingin mengatakan bahwa tindakan penindasan politik kolonial harus dilawan dengan perlawanan politik kebangsaan (Indonesia). Bukan dengan "menyembunyikan diri" pada kegiatan-kegiatan ekonomi.
Dengan memberikan gambaran yang sedikit lebih luas ini, ingin ditegaskan bahwa keberadaan Bung Hatta diperuntukan kita semua, secara "lintas sektoral" dan untuk seluruh segi kehidupan kebangsaan. Jadi bukan hanya pada segi atau bidang tertentu saja.
Sebagai seorang negarawan yang turut membidani lahirnya Indonesia merdeka, Bung Hatta akan mengerahkan seluruh daya dan potensi yang ada dalam dirinya untuk kepentingan kemerdekaan dan pembangunan bangsa secara total. Sebagai seorang akademika, misalnya, ia mengerahkan kekuatan intelektualnya untuk kepentingan bangsa. Sebagai seorang pemimpin nasionalis dan politik, ia mengerahkan kekuatan imajinasi politiknya untuk tujuan yang sama.
Pada perspektif totalitas inilah kita harus memahami konteks pemikiran dan gerakan Bung Hatta dalam bidang ekonomi dan koperasi. Sekali lagi ingin dikatakan bahwa, gagasan dan gerakan Bung Hatta dalam bidang ekonomi dan koperasi bukanlah suatu tindakan atau aktivitas yang berdiri sendiri, melainkan erat terkait pada obsesi besarnya tentang Indonesia merdeka dan pembangunan bangsa secara menyeluruh dan dalam bahasa sekarang pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Dalam arti kata lain, gagasan-gagasan serta keprihatinan intelektualnya atas kondisi ekonomi masyarakat Indonesia haruslah selalu dikaitkan secara integral dengan persoalan bangsa di mana Bung Hatta ikut membidani kelahirannya.
Harus disadari, bahwa ketepatan penafsiran ini mungkin bisa menjadi problematik, terutama jika pandangan ini terbaca di kalangan kaum ekonomi Indonesia dengan visi yang lebih teknikal. Namun marilah kita mendekati permasalahan ini dengan meninjau gagasan-gagasan Bung Hatta tentang ekonomi dan koperasi, sebagaimana bisa kita lihat dan dapati dari berbagai literatur yang tersebar di dalam masyarakat.
Salah satu tulisan kunci Bung Hatta tentang ekonomi dan koperasi justru dibahas dalam pidato yang mengungkapkan kesadaran historis dan politiknya, yaitu "Colonial Society and The Ideals of Social Democracy". Tulisan yang merupakan pidato ketika Bung Hatta mendapatkan Doktor Kehormatan dari Universitas Gajah Mada pada 27 November 1956, 4 hari sebelum ia mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden ini mencoba, langsung atau tidak langsung, meletakkan persoalan ekonomi dalam konteks yang lebih luas.
Dalam pidato tersebut, Bung Hatta menguraikan keterbelakangan bangsa Indonesia sebagai akibat dari bekerjanya sistem ekonomi dan politik yang bekerja dalam lingkup dunia kapitalisme. Eksploitasi kekuatan kapitalisme dunia itu telah menjadikan Indonesia sebagai a huge estate (perkebunan besar) dan menjadikan Indonesia hanya berfungsi sebagai wilayah pengekspor produk-produk pertanian. Sebagai akibatnya, aktivitas produksi di Indonesia tidaklah ditujukan untuk kebutuhan konsumsi konsumsi domestik, melainkan complately gaered to the world market (disesuaikan sepenuhnya untuk pasar dunia).
Meskipun kenyataan di atas merupakan fakta ekonomi, namun Bung Hatta tidaklah menganggapnya sebagai persoalan teknis ilmu ekonomi, karena bekerjanya sistem tersebut disangga oleh sebuah struktur sosial dan politik yang khusus. Di sini Bung Hatta melukiskan bahwa struktur politik yang menyangga bekerjanya sistem itu adalah pemerintahan Hindia Belanda yang bekerja sebagai nagara polisi (police state), "sejenis organisasi negara yang disesuaikan sesuai dengan tujuan kekuasaan penjajahan untuk mendapatkan kekuasaan penuh dalam bidang-bidang politik, ekonomi dan sosial".
Kenyataan inilah, menurut Bung Hatta, yang mematrikan hasrat merdeka di kalangan rakyat Indonesia. Hasrat kemerdekaan ini berarti penciptaan sebuah negara bangsa, yang tunggal dan padu, bebas dari dominasi asing dalam bentuk apapun, baik politik maupun ideologi. Semangat inilah yang terpatrikan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang merupakan semangat universal kemanusiaan karena sangat sesuai dengan The Universal Declaration of Human Rights yang lahir tiga tahun kemudian (10 Desember 1948) dalam kancah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Dengan semangat kebangsaan total dan didasarkan pada kesadaran universal inilah Bung Hatta mengajukan pernyataan fundamental tentang sistem politik, di atas mana sistem kenegaraan Indonesia Merdeka harus berlaku. Di sini Bung Hatta memilih sistem demokrasi. Tapi harus cepat kita katakan bahwa sistem demokrasi itu bukanlah yang berdasarkan Barat. Gagasan-gagasan "Liberty, Equality and Fraternity" yang ditelorkan oleh Revolusi Perancis yang kemudian mendasari demokrasi Barat, bukanlah merupakan pilihan Bung Hatta. Karena demokrasi semacam ini hanya menyampingkan kepentingan kemanusiaan dan keadilan sosial (humanity and social justice). Dan yang lebih penting lagi, sistem demokrasi itu hanya akan melahirkan demokrasi politik serta tidak menyertakan economic democracy.
Ucapan Bung Hatta tentang economic democracy di atas jelas merupakan konsep kunci dari keseluruhan pemikiran Bung Hatta tentang ekonomi. Latar belakang kesadaran historisnya yang melihat implikasi buruk yang ditimbulkan oleh bekerjanya sistem kapitalisme dunia yang menguras habis kekeyaan alam bangsa kita telah mendorong Bung Hatta untuk melihatnya sebagai persoalan politik yang lebih besar. Dengan perspektif ini memungkinkannya melahirkan pernyataan fundamental tentang sistem politik negara Indonesia Merdeka yang pada ujungnya menimbulkan keharusan bagi bangsa ini untuk menciptakan sistem ekonomi yang demokratis sebagai pengejawantahan substansial dari kemerdekaan bangsa yang diperjuangkannya.
Maka, dalam perspektif inilah Bung Hatta berbicara dan mengungkapkan gagasan-gagasannya tentang pembangunan ekonomi dan koperasi. Bagi Bung Hatta pembangunan ekonomi bukanlah sekadar bertujuan untuk memakmurkan rakyat. Karena dengan tujuan yang "sempit" itu, masyarakat Indonesia bisa dan akan terjebak dalam kerangka berpikir kapitalistik di mana mekanisme kerjanya harus mengorbankan kepentingan kemanusiaan dan keadilan sosial. Sebaliknya, jika kita menafsirkan pemikiran Bung Hatta secara lebih luas, kemakmuran ekonomi sebagai akibat dari pembangunan ekonomi, hanyalah alat untuk meninggikan derajat manusia Indonesia, agar cita-cita kemerdekaan tentang nilai kemanusiaan dan keadilan sosial dapat ditegakkan. Untuk itulah, kekuatan politik harus dikerahkan agar menciptakn sistem ekonomi yang demokratis, yang akan menjamin terciptanya kelanggengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial. Maka, jika kita ingin mengambil saripati seluruh keprihatinan kenegarawanan dan intelektual Bung Hatta, adalah persoalan peningkatan harkat rakyat Indonesia secara keseluruhan.
Mungkin, dalam konteks inilah kita bisa memahami mengapa Bung Hatta sangat menaruh perhatian besar terhadap dunia koperasi di Indonesia. Karena sistem ekonomi koperasi merupakan sistem yang cocok bagi pelaku-pelaku ekonomi masyarakat Indonesia yang sebagian besar terdiri dari massa petani dengan tradisi kerja yang bersifat kolektivisme. Tetapi di atas itu, karena sistem koperasi memberikan jaminan bagi terciptanya sistem ekonomi yang demokratis di mana aspirasi rakyat kecil bisa tertampung.
Sikap ini telah menjadi keyakinan Bung Hatta, ketika ia mengatakan: "I have most emphatically stressed that cooperation is the only way for the poor and economically weak people to improve their living conditions". Tentu saja, Bung Hatta sangat menyadari bahwa proses pembentukan masyarakat kooperatif dan sistem ekonomi koperasi bukan saja memerlukan jalan yang panjang, tetapi juga terus menerus dihadapkan dengan kenyataan-kenyataan yang tak menguntungkan. Namun keyakinan Bung Hatta tetap teguh terhadap keampuhan sistem ini. Dan kita yang masih hidup dewasa ini justru semakin melihat kebenaran keyakinan Bung Hatta tersebut, terutama ketika kita menyadari implikasi sosial politik dan ekonomi serta kemanusiaan yang ditimbulkan oleh bekerjanya sistem kapitalis sebagai antitesa dari sistem kooperatif dewasa ini.
Bagi Bung Hatta, sistem ekonomi koperasi bukanlah suatu barang telah jadi yang secara ajaib segera menyembuhkan penyakit ekonomi. Melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan dengan intervensi manusia yang bermoral kemanusiaan dan keadilan sosial. Kita bersimpati ketika Bung Hatta bercerita tentang Spinoza seperti dikutip Bernard Lavergne: "hasrat manusia tetaplah kekal abadi, tetapi telah menjadi kodrat hukum-hukum dan lembaga-lembaga yang benar, yang mampu mempertemukan antara keinginan bersama dan hasrat buruk diri pribadi umat manusia".
Untunglah karekteristik khusus gagasan-gagasan koperasi yang memberikan kunci pemecahan yang selama ini dicari oleh manusia berhasil dihadirkan. Keberhasilan terbesar dari cita-cita koperasi dalam mencandra kepentingan diri pribadi dan kepentingan umum dapat dipertemukan. Koperasilah tempat rakyat dan banyak orang berusaha menjadi manusia seutuhnya. Koperasilah tempat pemberdayaan ekonomi rakyat yang sesungguhnya.

C.     Memperkuat Ekonomi Rakyat melalui Koperasi
Sebagaimana diketahui bahwa posisi dan peranan koperasi dan pengusaha kecil sangat strategis dalam pemberdayaan ekonomi rakyat. Oleh sebab itu pemberdayaan ekonomi rakyat oleh pemerintah dilakukan melalui peningkatan posisi dan peranan koperasi dan pengusaha kecil dalam perekonomian nasional.
Sebagian besar rakyat yang masih tertinggal didorong untuk masuk menjadi anggota koperasi atau menajadi pengusaha kecil untuk mewujudkan partisipasinya dalam perkonomian kita. Dalam rangka pembinaan koperasi dan pengusaha kecil, peranan pemerintah tersebut di atas telah dituangkan secara jelas baik dalam Undang-undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian maupun Usaha Kecil. Dalam peningkatan mutu SDM koperasi dan pengusaha kecil, pemerintah telah mencanangkan Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN) yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 tahun 1995.
Dalam rangka lebih memperluas peluang-peluang usaha dan meningkatkan aksesibilitas koperasi dan pengusaha kecil, di samping melalui program-programnya sendiri, maka pemerintah bersama-sama dengan dunia usaha telah mencanangkan Gerakan Kemitraan Usaha Nasional (GKUN) pada tanggal 15 Mei 1996. Dengan kemitraan tersebut diharapkan akan muncul suatu kerjasama usaha yang integratif antara pengusaha kecil dan koperasi.
Menumbuhkan manusia-manusia wirausaha jelas merupakan unsur kunci dalam pemberdayaan koperasi dan pengusaha kecil. Manusia wirausaha adalah manusia yang tidak berorientasi hanya pada pekerjaan semata. Manusia wirausaha adalah manusia yang berorientasi untuk mampu menciptakan lapangan kerja baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Mereka ini sangat dibutuhkan terutama dalam menghadapi tuntutan diperluasnya lapangan kerja akibat surplus tenaga kerja yang terus bertambah setiap tahun disebabkan meningkatnya jumlah penduduk maupun sebab-sebab lainnya.
Oleh karenanya wajarlah jika kewirausahaan dijadikan titik sentral dalam pembangunan sumberdaya manusia. Program kewirausahaan perlu terus dikembangkan ke seluruh penjuru nusantara untuk menghasilkan manusia Indonesia yang bermutu yang pada gilirannya akan membangkitkan ekonomi rakyat serta mampu menciptakan peluang-peluang yang lebih baik dalam proses pembangunan ekonomi.
Di atas segalanya, langkah ke depan yang paling strategis adalah mendayagunakan koperasi sebagai badan usaha sebagaimana badan usaha lainnya agar maju dan lebih besar manfaatnya.
D.    Koperasi sebagai Badan Usaha
Dunia selalu berubah. Kecenderungan perubahan dunia strategis telah berlangsung sejak awal 80-an. Hal ini ditandai dengan resesi ekonomi dunia dan kemudian diikuti dengan krisis di bidang moneter, perdagangan internasional serta fluktuasi harga minyak bumi dan komoditi ekspor pertanian. Semua perubahan tersebut menuntut peningkatan daya saing negara-negara berkembang melalui efisiensi dan produktivitas.
Pemerintah merespon perubahan tersebut antara lain melalui berbagai kebijakan deregulasi dan debirokratisasi di bidang perdagangan, moneter, penanaman modal, perpajakan, kebijakan perijinan untuk mendorong terwujudnya efisiensi peningkatan produktivitas nasional. Bersamaan dengan itu, dalam upaya meningkatkan efisiensi dan produktivitas nasional tersebut maka semua lembaga ekonomi harus berubah ke arah profesional. Koperasi, sebagai bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional juga harus terus ditingkatkan kemampuan manajerial dan keterampilannya sehingga menjadi badan usaha yang profesional dan tangguh. Dengan pendekatan ini koperasi akan mampu melaksanakan kegiatan usahanya secara efisiensi tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip dasarnya.
Upaya untuk menjadikan koperasi sebagai badan usaha yang profesional dan tangguh sehingga menjadi akselarator gerakan ekonomi rakyat telah dibuat dengan pengundangan UU No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian. Adanya penegasan koperasi sebagai badan usaha menimbulkan kesan bahwa koperasi telah meninggalkan watak sosialnya. Persepsi sedemikian ini tentunya tidak tepat dan tidak proporsional. Dalam hal ini seharusnya diinterpretasikan bahwa penekanan koperasi sebagai badan usaha agar dalam pengelolaan usaha menerapkan kaidah-kaidah bisnis sebagaimana dianut oleh perusahaan swasta yang berorientasi pada maksimalisasi profit.
Selanjutnya harus diperhatikan pula bawa koperasi itu sebagai gerakan ekonomi rakyat. Artinya keberadaannya menjadi lokomotof penggerak [engine of growth] bagi tumbuh kembangnya wirausahawan-wirausahawan baru dan meningktanya kinerja usaha kecil di kalangan anggota koperasi. Dengan sendirinya jika badan usaha koperasi maju dan kegiatan ekonomi rakyat berkembang pesat maka manfaat ekonomis dan manfaat sosial dapat dicapai sekaligus.
Jadi, menginterpretasikan koperasi itu jangan hanya sepotong-sepotong, tetapi harus utuh. Artinya, di samping sebagai badan usaha juga sebagai gerakan ekonomi rakyat. Dengan kata lain, jika koperasi dan rakyat sama-sama efisien dan produktif maka tercapailah kesejahteraan bersama. Secara empiris dapat dibuktikan, koperasi-koperasi yang menjalankan usahanya secara efisien dan produktif dengan menitik beratkan pelayanannya pada aktivitas ekonomi anggota dan mayarakat maka koperasi tersebut berkembang pesat dan kegiatan ekonomi rakyat tumbuh dan berkembang.
Sebaliknya, koperasi-koperasi yang menjalankan kegiatan usaha yang tidak terkait dengan kegiatan usaha anggota kendati dikelola secara efisien dan produktif pada akhirnya kelangsungan hidupnya tidak mampu bertahan lama. Peranan koperasi dalam perekonomian nasional dengan jelas dinyatakan dalam pasal 33 UUD 1945. Dalam sejarahnya, sejak masa Orde-Beru, berbagai upaya telah dilakukan untuk meletakkan koperasi secara efektif dalam sistem perekonomian nasional.
Dalam perspektif seperti itu, maka koperasi akan siap bersaing di pasar dan mampu memperoleh sisa hasil usaha yang optimal. Dan, di lain pihak dapat meningkatkan produktivitas serta memberikan nilai tambah yang wajar bagi usaha anggotanya. Apabila hal-hal yang diuraikan itu telah dapat dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan maka koperasi pada hakekatnya akan dapat menjadi peluang yang dapat dimanfaatkan oleh sebagian besar anggota masyarakat. Terutama sekali usaha yang berskala kecil untuk mengmebangkannya menjadi usaha berskala besar. Pada gilirannya koperasi tersebut akan dapat dimanfaatkan sebagai lembaga gerakan ekonomi rakyat yang benar-benar mampu berperan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan anggota dan masyarakat secara keseluruhan.
Dalam fungsinya sebagai badan usaha, pengelolaan koperasi di samping menggunakan prinsip-prinsip ekonomi perusahaan juga memiliki ciri-ciri tertentu yang bertumpu pada prinsip-prinsip dasar koperasi. Secara umum ciri-ciri dimaksud itu terdiri atas beberapa aspek dasar, diantaranya adalah:
1.      Kualitas Keanggotaan Koperasi
Status anggota koperasi sebagai suatu badan usaha adalah pemilik sekaligus sebagai penggunanya. Sebagai pemilik mereka harus memenuhi hak dan kewajiban sesuai dengan undang-undang perkoperasian yang ada. Sedangkan sebagai pengguna mereka harus secara sadar dan rasional menggunakan dengan maksimal pelayanan yang diselenggarakan oleh koperasi. Apabila koperasi belum mampu memberikan pelayanan yang baik maka anggota harus berusaha untuk memampukannya.
Uraian di atas menjelaskan bahwa keanggotaan koperasi merupakan basis bagi perkembangan, pemantapan maupun kelanjutan hidup usaha koperasi. Sebagai konsekuensinya, keanggotaan koperasi haruslah terdiri dari orang-orang yang dapat memenuhi persyaratan kualitas tertentu dan mempunyai kepentingan ekonomi yang sama. Kualitas keanggotaan tersebut selanjutnya akan sangat berpengaruh pada organisasi, manajemen dan usaha dari kopersinya. Pengaruh tersebut tercermin pada profil koperasi dari yang masih sederhana sampai pada koperasi yang telah maju.
Adapun persyaratan kualitas bagi anggota koperasi dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.    Memiliki jiwa semangat kebersamaan dan kesetiakawanan serta rasa harga diri.
2.    Anggota itu tidak lagi berada pada tingkat kehidupan subsisten dan mempunyai potensi ekonomi.
3.    Mampu memberikan kontribusi fiansial kepada organisasinya.
4.    Mampu mengambil keputusan secara bebas (tidak terikat) terhadap kebutuhan ekonomis yang diperlukanya.
Persyaratan kualitas seperti diuraikan di atas tadi adalah suatu kondisi anggota yang ideal di mana dalam kenyataannya di Indonesia sebagian besar masyarakat kita belum memenuhi kondisi kualitas di atas. Oleh karena itu, tugas utama koperasi Indonesia sebagai bagian integral dari strategi pembangunan nasional adalah melalui proses pendidikan dan pembinaan membawa masyarakat tersebut mengembangkan secara maksimal potensi dan kemampuan masing-masing untuk berfungsi sebagai pelaku ekonomi yang minimal memenuhi persyaratan keanggotaan tersebut di atas. Tugas tersebut adalah satu pencerminan watak sosial koperasi yang menempatkan anggota bukan saja sebagai obyek tetapi juga sebagai subyek.
Dalam hubungan tersebut di atas dalam perkembangannya, kualitas anggota koperasi dapat diklasifikasikan sebagai; calon, mitra, dan anggota penuh. Calon anggota adalah mereka yang sekedar memerlukan pelayanan dan hanya memiliki keterlibatan dan kemampuan yang terbatas. Selanjutnya calon anggota tersebut bisa berkembang menjadi lebih mantap untuk mencapai posisi mitra. Pada posisi demikian mereka telah sadar untuk melibatkan dirinya lebih aktif karena merasakan manfaat dari koperasinya.
Dari tingkat mitra seperti itu para calon anggota kemudian membina dirinya lebih lanjut, sehingga dapat menjadi anggota penuh. Pada status posisi terakhir ini mereka telah menunjukan keterlibatan serta tingkat kemampuan usaha yang lebih tinggi dan bersedia ikut menanggung resiko serta menunjukan loyalitas terhadap koperasinya sebagai badan usaha.
2.      Keterkaitan Usaha
Kegiatan utama usaha koperasi adalah usaha yang terkait dan memenuhi tuntutan dari para anggotanya. Namun demikian, apabila masih terdapat kelebihan kapasitas (excess capacity) sumber daya yang dimiliki maka dapat dilakukan usaha dengan pihak bukan anggota. Hal ini dilakukan untuk dapat menurunkan biaya per-unit usaha di samping untuk menciptakan daya tarik non-anggota untuk menjadi anggota. Namun demikian usaha dengan non-anggota tidak boleh mendominasi dan atau mengurangi mutu pelayanan koperasi kepada anggotanya.
Pada dasarnya kegiatan usaha dapat berupa bukan koperasi atau berbentuk kegiatan tunggal usaha dan kegiatan serba usaha. Penetapan untuk menentukan pilihan tersebut di atas harus didasarkan kepada kelayakan ekonominya. Oleh karena itu, setiap usaha dari koperasi baik yang tunggal maupun yang serba usaha harus didasarkan kepada maksimalisasi pelayanan kegiatan usaha dengan anggotanya. Namun hal itu hendaknya sekaligus harus dapat menjadi sumber keuntungan baik koperasi maupun anggotanya.
Khususnya bagi koperasi serba usaha maka pilihan tersebut akan lebih banyak memberikan peluang untuk dapat bergerak dalam berbagai pelayanan usaha kepada anggota yang belum atau tidak dapat menjadi sumber keuntungan. Hal ini dapat terjadi karena ada proses manajemen di mana apabila suatu unit pelayanan usaha yang sangat dibutuhkan oleh anggota namun belum atau tidak dapat menjadi sumber keuntungan maka unit usaha tersebut dapat dibantu dan ditanggung oleh unit usaha lainnya yang mempunyai keuntungan yang tinggi (subsidi silang).
Dengan proses manajemen seperti itu maka semua pelayanan usaha yang sangat dibutuhkan oleh seluruh usaha tersebut dapat dipenuhi oleh koperasi dengan ketentuan keseluruha usaha tersebut tetap layak. Selanjutnya dari pilihan kegiatan tersebut akan mempengaruhi struktur dan manajemen koperasi yang bersangkutan.
Pelaksanaan dan pengembangan kegiatan koperasi lebih lanjut mempunyai kaitan dengan aspek lokasi koperasi dan domisili koperasi yang bersangkutan. Mempertimbangkan peranan yang cukup strtegis usaha koperasi maka lokasi hendaknya dikaitkan dengan potensi ekonomi dan peluang untuk pengembangan kegiatan usaha anggotanya. Begitu pula penetapan lokasi harus selalu dikaitkan dampaknya terhadap biaya operasional, kebutuhan akan modal, kemudahan hubungan dengan anggotanya, atau hubungan anggota dengan pasar.
Beberapa aspek teknis yang perlu diperhatikan dalam proses penetapan lokasi koperasi, diantaranya:
1.     Jarak akses terahadap sumber bahan baku, jalur pemasaran dan domisili para anggotanya.
2.     Kecukupan tersedianya sistem transportasi dan komunikasi serta sumber daya dan energi.
3.     Tersedianya anggota dan sumber tenaga kerja lainnya ditinjau dari aspek:
a.      Jumlah dan keterampilannya.
b.      Tingkat kemudahan.
c.       Tingkat keamanan.
3.      Organisasi dan Manajemen Koperasi
Dalam rangka pengembangan kegiatan usaha tersebut di atas, orientasi manajemen harus diwujudkan dalam urutan prioritas sebagai berikut:
1.     Peningkatan pelayanan uasaha yang memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada anggota berupa produktivitas dan nilai tambah usaha anggota (service at cost).
2.     Memperbesar pendapatan dan memperkecil pengeluaran untuk menciptakan sisa hasil usaha (SHU) guna menjaga kelangsungan dan pengembangan pelayanan usaha tersebut di atas.
Dalam kaitan dengan aspek kelembagaannya, koperasi sebagai badan usaha harus memiliki strukur organisasi yang dapat menangani kegiatan anggotanya secara efisien dan efektif. Untuk itu diperlukan struktur organisasi yang mengikuti beberapa ketentuan dasar, yaitu:
1.      Perlu dikenali dengan jelas tanggung jawab, kewenangan dan lingkup kegiatan antara rapat Anggota, Pengurus dan BP.
2.      Unsur-unsur manajemen koperasi sebagai badan usaha terdiri atas:
a.      Rapat anggota.
b.      Pengurus dan badan Pemeriksa.
c.       Manajer dan Staf pelaksana yang profesional.
d.      Masing-masing unsur manajemen tersebut di atas mempunyai lingkup keputusan (decision area) yang berbeda, walaupun masih ada lingkup keputusan yang dilakukan secara bersama (shared decision area).
Lingkup bidang keputusan bagi masing-masing unsur manajemen koperasi sebagai badan usaha dilaksanakan sebagai berikut:
1.      Rapat anggota sebagai badan tertinggi dalam koperasi di mana setiap anggota mempunyai hak suara yang sama akan melakukan evaluasi prestasi dari tahun sebelumnya dan menetapkan arah dan kebijakan dasar manajemen yang menyeluruh bagi koperasi di masa berikutnya.
2.      Pengurus dan badan pemeriksa bertanggung jawab mengambil keputusan yang menyangkut kebijakan strategis berdasarkan keputusan Rapat Anggota dan bertanggung jawab mengendalikan pelaksanaannya.
3.      Manajer dan karyawan adalah pelaksana teknis operasional. Dalam hubungan ini mereka harus dengan jelas memiliki kebebasan untuk mengambil keputusan dan melaksanakan operasionalnya dalam batas-batas wewenang yang dilimpahkan oleh pengurus.
4.      Di luar ketentuan di atas dimungkinkan adanya proses-proses pengambilan keputusan bersama antara Pengurus, Badan Pemeriksa dan Manajer.
Dalam hubungannya dengan pelaksanann berbegai kegiatan usaha koperasi tersebut, masalah pembelanjaan merupakan salah satu fungsi pokok yang harus dikelola dengan baik. Usaha untuk membelanjakan kegiatan usaha koperasi harus selalu di arahkan untuk:
1.      Terwujudnya stabilitas usaha dengan cara pengelolaan likuiditas dan solvabilitas yang baik.
2.      Terwujudnya pendayagunaan modal yang optimal.
3.      Terwujudnya kemampuan membentuk modal sendiri.
4.      Permodalan Koperasi.
Adapun struktur permodalan koperasi sebagai badan usaha pada prinsipnya dapat dikembangkan dalam dua jenis bentuk permodalan, yaitu:
1.      Modal sendiri.
2.      Modal pinjaman.
Modal sendiri dapat dikembangkan dari:
1.      Simpanan pokok dan wajib dari iuran para anggota yang dapat diwujudkan dalam bentuk sertifikat simpanan dengan nilai nominal yang tertentu.
2.      Cadangan yang diperoleh dari sisi hasil usaha.
3.      Donasi.
4.      Saham/sertifikat.
Sehubungan dengan modal sendiri tersebut, maka koperasi agar benar-benar dapat menjadi suatu badan usaha yang mandiri dan tangguh harus berupaya untuk meningkatkan modal sendiri guna mendapatkan struktur permodalan yang sehat. Untuk itu mengingat anggota koperasi di Indonesia sebagian besar dalam kondisi yang lemah permodalannya maka perlu dipertimbangkan adanya penyertaan modal dari anggota tanpa mempengaruhi hak suaranya.
Sedangkan modal pinjaman dapat diperoleh dari:
1.      Anggota, yang berupa tabungan dan simpanan suka rela revolving fund dari anggota.
2.      Pemerintah, berwujud pinjaman atau penyertaan modal.
3.      Lembaga keuangan bank maupun non bank.
Selanjutnya, dari segi pengelolaan pembiayaan koperasi sebagai badan usaha, selalu dilakukan atas perhitungan rasional di mana setiap pembiayaan atas suatu kegiatan usaha hendaknya didukung dengan hasil studi kelayakan. Sistem ini akan memacu para pengelola koperasi untuk berpikir ekonomis sejak awal usahanya.
Dengan demikian secara mikro kriteria keberhasilan usaha dapat didasarkan pada ukuran likuiditas, rentabilitas dan solvabilitas, di samping kriteria lainnya yang mungkin dapat diterapkan dan dikembangkan dalam koperasi. Selanjutnya keberhasilan koperasi sebagai badan usaha dapat diukur dengan menggunakan informasi besarnya biaya per-unit. Oleh karena itu perlu diidentifikasi biaya per-unit dengan jelas.
Besarnya biaya itu perlu diketahui dalam hubungannya dengan perhitungan sisa hasil usaha (SHU). Perhitungan biaya untuk para anggota didasarkan pada sistem service at cost, bukan berdasar selisih harga (margin trading). Untuk pengendaliannya diperlukan tersedianya sistem akunting biaya yang didasarkan pada kaidah-kaidah akuntansi yang berlaku sebagaimana telah ditentukan dalam Standar Khusus Akuntansi Koperasi.
4.      Sisa Hasil Usaha (SHU)
Walaupun SHU bukan prioritas utama tujuan usaha koperasi, namun SHU merupakan faktor yang penting dan harus diwujudkan. SHU bagi koperasi merupakan satu sumber penting dari pemupukan modal sendiri. Pemupukan modal sendiri tersebut akan lebih meningkatkan efisiensi dan memperkokoh kemandirian koperasi dalam rangka mengembangkan pelayanan usaha yang dapat memberikan manfaat yang sebesarbesarnya kepada anggota.
Di samping itu, SHU hendaknya merupakan daya tarik bagi anggota untuk meningkatkan partisipasinya dalam koperasi. Untuk mewujudkan hal tersebut di atas, maka pembagian SHU dilaksanakan atas dasar sistem Pola Pembagian SHU (Member’s Patronage Refund). Besar kecilnya SHU yang menjadi hak anggota akan tergantung pada partisipasi usaha anggota. Sedangkan SHU yang bersumber dari kegiatan non–anggota penggunaannya harus diarahkan untuk melayani kepentingan anggota sebesar-besarnya.
5.      Kerjasama
Dalam hal efisiensi internal, koperasi sudah harus mencapai tingkat maksimal. Karena itu diperlukan pengembangan organisasi yang berorientasi ke luar agar dapat mengembangkan lebih lanjut efisiensi yang dimaksud. Untuk itu diperlukan proses keterkaitan yang integratif dalam bentuk kerjasama, baik antar-koperasi sendiri maupun dengan BUMN dan swasta, secara vertikal maupun horisontal.
Sehubungan dengan hal tersebut integrasi antar koperasi dapat dilakukan dengan pembentukan koperasi sekunder yang harus dilandasi kepentingan tingkat ekonomi tanpa harus mensyaratkan kesamaan jenis koperasi tingkat dan wilayah. Dengan demikian usaha integrasi vertikal dapat memenuhi kebutuhan peningkatan upaya komersial yang tinggi. Di samping usaha integrasi vertikal, dapat juga dilakukan integrasi horisontal, yang dilakukan antarkoperasi primer agar dapat mengembangkan kegiatan bersama di bidang pemasaran, produksi maupun permodalan.
Selanjutnya integrasi vertikal dan horisontal juga dapat dilaksanakan melalui kerjasama koperasi dengan usaha milik negara dan swasta sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar koperasi. Dalam hubungan itu maka kerjasama tersebut harus diwarnai dengan etika bisnis dan kaidah-kaidah asas kekeluargaan; kaidah mana bertujuan untuk menjaga kerjasama agar memberikan kesempatan kepada semua pihak yang terlibat untuk dapat berusaha secara komprehensif, saling mendidik dan memperkuat serta memberikan keuntungan tanpa mematikan satu sama lainnya.
Dalam hal itulah motif kerjasama dikembangkan untuk mewujudkan efisiensi usaha bersama bagi ketiga wadah pelaku ekonomi tersebut. Oleh karena itu pembagian kerjasama memerlukan posisi dan kedudukan yang setara di antara pelaku. Kerjasama dapat membuahkan pembagian nilai tambah yang lebih proporsional sesuai dengan prestasi masing-masing.
Bentuk kerjasama koperasi usaha milik negara dan swasta tersebut di atas adalah:
1.      Bentuk pertama, dapat berupa kerjasama komplementer, di mana apabila terdapat kegiatan usaha koperasi yang tidak layak dikerjakan sendiri, maka koperasi dapat mengadakan kerjasama operasional (KSO) dengan pihak usaha milik negara maupun swasta yang kegiatan usahanya lebih layak untuk melaksanakan kegiatan tersebut, demikian pula sebaliknya. Sebagai contoh dari kerjasama ini diantaranya adalah pengadaan pangan untuk stock nasional yang dilakukan oleh KUD dengan BULOG, penyaluran pupuk oleh KUD dengan PT. Pusri, pemasokan susu dari KUD kepada industri pengolahan susu.
2.      Bentuk kedua, kerjasama substitutif yang merupakan kerjasama manajemen dan kepemilikan dengan titik beratnya adalah apabila koperasi karena satu dan lain hal belum mampu memiliki dan melaksanakan manajemennya secara layak, maka untuk sementara waktu manajemennya digantikan oleh swasta atau BUMN. Selanjutnya apabila kondisi koperasi telah memungkinkan maka pihak swasta atau BUMN secara bertahap menyerahkan kembali seluruhnya atau sebagian kepemilikan dan manajemennya kepada koperasi. Pola PIR dan modal ventura adalah salah satu bentuk kerjasama seperti diuraikan di atas.
3.      Bentuk ketiga, adalah kerjasama secara kompetisi yang konstruktif. Yaitu, kesepakatan antara koperasi dengan swasta dan BUMN untuk bersaing secara sehat dengan mengembangkan seluasluasnya prestasi dan produktivitasnya untuk mencapai kelayakan kegiatan usaha masing-masing. Bentuk kerjasama tersebut secara spesifik dapat berupa kerjasama “dua pihak” (koperasi dengan swasta dan BUMN) dan “tiga pihak” (menyangkut ketiga pelaku secara bersama-sama). Adapun ruang lingkup kerjasama dapat dilakukan di bidang pemasaran, produksi dan permodalan di mana dalam perkembangannya proses kerjasama itu selanjutnya koperasi dapat memilki saham dari swasta dan BUMN atau membentuk P.T. baru bersama dengan swasta dan BUMN.
Koperasi Unit Desa Sebagai Pusat Kegiatan Ekonomi Pedesaan Sebagaimana amanat dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara 1993 bahwa tujuan pembangunan yang ingin dicapai adalah untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang maju dan mandiri serta sejahtera adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pencapaian tujuan pembangunan tersebut dilakukan dengan menitik beratkan pada pembangunan bidang ekonomi. Sasarannya adalah tercipta perekonomian yang mandiri dan handal sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Sasaran pembangunan bidang ekonomi ini diarahkan untuk mampu meningkatkan kemakmuran rakyat yang lebih merata, pertumbuhan yang cukup tinggi dan stabilitas nasional yang semakin mantap.
Pembangunan bidang ekonomi tersebut diantaranya dicirikan oleh industri yang kuat dan maju, pertanian yang tangguh serta koperasi yang sehat dan kuat. Peranan sektor pertanian dalam pembangunan nasional sangat penting terutama dalam pencapaian swasembada pangan melalui program Bimas dan Inmas yang membawa implikasi luas bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini keberhasilan koperasi dalam pembangunan nasional tidak terlepas dari dukungannya terhadap keberhasilan pembangunan pertanian.
Dukungan keberhasilan pembangunan di sektor pertanian bagi pembangunan secara keseluruhan sangatlah penting. Kontribusi penting sektor pertanian terhadap sektor lainnya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yag meliputi:
1.      Peningkatan produksi pangan dan produksi pertanian lainnya untuk keperluan domestik dan ekspor.
2.      Suplai tenaga kerja bagi sektor non-pertanian.
3.      Investai bagi aktivitas non-pertanian; dan
4.      Peningkatan permintaan di pedesaan terhadap produkproduk non-pertanian.
Peranan koperasi khususnya Koperasi Unit Desa (KUD) secara nyata selama ini pada upaya peningkatan produksi pangan. Dengan terjadinya transformasi dari pertanian ke sektor industri yang ditandai dengan makin menurunnya pangsa sektor pertanian dalam pendapatan nasional dibandingkan dengan sektor industri, menuntut peran koperasi yang lebih besar dalam menciptakan pembangunan pertanian di masa depan.
Pembangunan pertanian di masa depan akan tetap berbasis pedesaan, dengan berwawasan industri yang lebih menekankan pada aspek peningkatan pendapatan petani dibandingkan dengan peningkatan produksi semata-mata. Koperasi dalam hal ini diyakini akan mampu memberikan sumbangan yang besar dengan membawa perubahan di sektor pertanian melalui peranannya dalam pengenalan teknologi dan manajemen modern dalam pengelolaan usaha tani.
UUD 1945 menempatkan koperasi pada kedudukan yang amat penting yaitu sebagai sokoguru perekonomian nasional. Selanjutnya, dalam GBHN 1993 ditegaskan pula bahwa hakekat pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan seluruhnya. Hal ini sesuai dengan salah satu fungsi dan peran koperasi, yaitu mempertinggi kualitas kehidupan masyarakat. Labih lanjut GBHN 1993 menyatakan bahwa pembangunan nasional adalah pembangunan dari, oleh dan untuk rakyat. Amanat ini secara jelas dianut oleh koperasi.
Koperasi sesuai dengan watak sosialnya adalah wadah ekonomi yang paling ampuh untuk menanggulangi kemiskinan dan keterbelakangan dalam upaya untuk menciptakan pembangunan yang berkeadilan. Koperasi juga merupakan organisasi yang paling banyak melibatkan peran serta rakyat. Oleh karena itu, koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat perlu lebih banyak diikutsertakan dalam upaya pembangunan yang lebih merata, tumbuh dari bawah, berakar di masyarakat dan mendapat dukungan luas dari rakyat.
GBHN 1993 mengingatkan bahwa upaya untuk lebih memeratakan pembangunan serta menghilangkan kemiskinan dan keterbelakangan masih perlu terus dilanjutkan dan ditingkatkan. Dalam rangka ini maka penataan peran ketiga pelaku ekonomi dalam ekonomi nasional masih perlu terus dilanjutkan, terutama peran koperasi. Perhatian secara khusus perlu diberikan kepada pembinaan usaha golongan masyarakat yang berkemampuan lemah serta upaya untuk menciptakan lapangan kerja guna menampung angkatan kerja yang terus meningkat.
Khusus bagi daerah pedesaan, pembangunan koperasi akan terus dilakukan untuk memampukannya sebagai pusat kegiatan ekonomi pedesaan. Pendekatan kelembagaan koperasi bagi upaya meningkatkan kesejahteraan petani dan nelayan sangat strategis mengingat koperasi merupakan wadah aktivitas ekonomi yang juga sangat cocok bagi masyarakat pada tataran grass root.
Melalui koperasi ini, diharapkan peningkatan efisiensi dapat dilakukan, baik lewat peningkatan skala usaha (economic of scale) maupun perluasan cakupan kegiatan (economic of scope). Melalui koperasi, investsi dari luar terutama dari pemerintah lebih mudah ditarik, sehingga koperasi dapat tumbuh dan berkembang di berbagai sektor usaha.
Menyadari bahwa sebagian besar rakyat Indonesia, yang terdiri dari para petani, peternak, perajin, pedagang, pengusaha kecil dan lain-lain yang sebagian besar lemah ekonominya, berada di pedesaan, maka sejak pemerintahan Orde Baru pembangunan ekonomi perdesaan mendapat perhatian yng besar. Oleh karena itu, pembangunan dan pengembangan koperasi di pedesaan terus digalakkan dan ditingkatkan serta dikembangkan peranannya.
Sebagai langkah awal pemerintahan orde baru dalam membangun dan mengembangkan koperasi, antara lain dengan meletakkan kembali landasan ideal, asas dan sendi dasar koperasi pada arah dan prinsip yang benar. Untuk itulah, maka Undang-undang Nomor 14 Tahun 1965, yang lebih berorientasi pada politik, diganti dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian.
Berlandaskan pada Undang-undang tersebut, pemerintah melakukan rehabilitasi pada koperasi koperasi yang telah ada dan sekaligus meningkatkan kinerja melalui penggabungan dari koperasi yang kecil-kecil. Menyadari adanya tuntutan dan perubahan lingkungan strategik, maka sejak tahun 1992 arah pengembangan Perkoperasian disesuaikan dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Sebagai landasan operasional dalam membina dan mengembangkan koperasi, secara khusus pemerintah menetapkan kebijaksanaan pada setiap tahap pembangunan yang sesuai dengan prioritas dan kondisi lingkungan yang terus berubah. Khususnya dalam membangun ekonomi perdesaan melalui pembangunan koperasi. Pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan berupa Instruksi Presiden (Inpres), yang bersifat dinamis dan materi pengaturannya dapat disesuaikan dengan perkembangan dan kondisi lingkungan yang ada. 
Adalah kenyataan, pada awal pembangunan KUD, partisipasi masyarakat pedesaan relatif rendah. Hal ini dapat dimaklumi sebagai akibat adanya jeratan kemiskinan dan keterbelakangan yang merupakan warisan penjajah di masa lampau. Selain itu, citra negatif koperasi di masa lampau juga semakin menjauhkan masyarakat dari koperasi.
Kenyataan tersebut mengetuk hati pemerintah yang kemudian merasa berkewajiban untuk aktif memprakarsai dan memacu pembangunan KUD. Kebijaksanaan ini ditempuh agar KUD secepatnya menjadi satu sosok badan usaha yang mandiri dan tangguh serta dapat mensejajarkan dirinya dengan pelaku atau badan ekonomi dan usaha lainnya.
Berangkat dari cita-cita ideal itulah, kebijaksanaan dan strategi pembanguna KUD disusun secara terencana, terarah dan terpadu dengan tetap memperhatikan potensi dan aspirasi masyarakat pedesaan. Pada awal tahap pelaksanaan kebijaksanaan ini, peran pemerintah cukup besar, terutama dalam berbagai program yang mencakup prakarsa pendirian KUD, pemberian bimbingan dan bantuan fasilitas. Peran pemerintah yang demikian lebih didasari oleh keinginan untuk mempercepat tumbuh kembangnya KUD yang pada awal pendiriannya dinilai masih kecil dan lemah, baik dari skala usaha maupun pengelolaannya.
Pada tahap berkutnya, penetapan dan pelaksanaan berbagai program pemerintah diarahkan untuk menumbuhkan kemampuan dan kekuatan KUD sendiri. Ini penting agar KUD benar-benar tumbuh menjadi lembaga ekonomi yang mampu berdiri di atas kekuatan dan kemampuan sendiri. Kebijaksanaan pemerintah yang ditempuh tersebut sesuai dengan prinsip “Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.” Artinya juga sebangun dengan pendekatan pembangunan belajar sambil bekerja.
Sebagai program pertama pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan, adalah program Bimbingan Massal (Bimas) dengan memerankan koperasi pertanian sebagai penyalur kredit Bimas bagi petani. Namun demikian, dengan kondisi koperasi (koperasi pertanian) pada saat itu umumnya berskala kecil-kecil, menjadikan peranan koperasi dalam program Bimas kurang efektif dan efisien.
Dengan pengalaman tersebut, melalui suatu proyek percontohan Wilayah Unit Desa pada Bimas nasional yang disempurnakan, pemerintah berhasil menciptakan konsep unit desa, di mana di dalam wilayah unit desa, usaha dari beberapa koperasi disatukan dalam Badan Usaha Unit Desa (BUUD). Dengan keberhasilan proyek percontohan BUUD, pemerintah mengeluarkan Inpres No. 4 Tahun 1973 tentang Unit Desa, di mana keikutsertaan koperasi dalam pembangunan diperteas dengan diterapkannya konsep Koperasi Unit Desa (KUD) sebagai bentuk badan hukum pembangunan koperasi dengan mengembangkan sakal usahanya merupakan landasan operasional dalam membina koperasi di pedesaan.
Dalam hal ini, pembangunan koperasi secara langsung dikaitkan dengan pembangunan pertanian. Dengan demikian, Inpres No. 4 tahun 1973 merupakan tonggak yuridis keberadaan KUD, yang di dalamnya terkandung beberapa konsep strategis, yaitu: Pertama, bahwa unit desa merupakan kesatuan agroekonomis dalam satu wilayah, yang dibina dan dibentuk dalam rangka meningkatkan produksi pertanian. Mempunyai fungsi-fungsi penyuluhan pertanian, pengkreditan, penyaluran sarana produksi, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian. Kedua, bahwa wilayah unit desa dapat mencakup satu atau beberapa desa dalam satu wilayah atau lebih wilayah kecamatan di dalam satu kabupaten, dengan luas areal persawahan yang berkisar antara 600 sampai 1.000 hektare. Ketiga, bahwa fungsi BUUD/KUD, yaitu melaksanakan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian, secara bertahap ditingkatkan sehingga pada gilirannya mampu melaksanakan fungsi penyuluhan, pengkreditan, dan penyaluran sarana produksi, yang sebelumnya merupaka fungsi dari unsur-unsur unit desa lainnya, seperti petugas penyuluh lapangan (PPL), Bank Rakyat Indonesia, pengecer, dan warung unit desa. BUUD merupakan lembaga ekonomi unit desa dapat bergabung dan melebur dalam suatu Koperasi Unit Desa (KUD).
Sejalan dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai koperasi, saat memasuki Pelita III, Pemerintah mengeluarkan Inpres No. 2 Tahun 1978, tentang BUUD/KUD, sebagai penyempurnaan dari Inpres No. 2 tahun 1973, di mana landasan usaha KUD diperluas menjadi daerah pedesaan sebagai suatu kesatuan potensi ekonomi. Usaha ekonomi KUD yang semula berorintasi pada wilayah unit desa dirubah menjadi berorientasi pada potensi ekonomi perdesaan.
Selain itu, karena garapan BUUD/KUD adalah daerah dan wilayah pedesaan sebagai satu kesatuan ekonomi tersendiri maka BUUD/KUD yang tadinya merupakan koperasi pertanian yang serba usaha pada tahap selanjutnya berubah menjadi koperasi aneka usaha (serba ada).
Selanjutnya, untuk lebih memampukan KUD sehingga dapat berdiri di atas kemampuannya sendiri, maka memasuki Pelita IV, pemerintah mengeluarkan Inpres No. 4 tahun 1984, tentang Pembinaan dan Pengembangan KUD, sebagai penyempurnaan dari Inpres No. 2 tahun 1978. Sejak itu peran BUUD digantikan oleh Badan Pembimbing dan Pelindung KUD (BPP-KUD). Di bidang usaha, KUD diberi kesempatan usaha seluas-luasnya dan pemerintah menyediakan fasilitas yang diperlukan bagi peningkatan pelayanan kepada anggotanya.
Dalam Inpres tersebut dipertegas peranan KUD sebagai pusat pengembangan wilyah perekonomian perdesaan. Materi Inpres No. 4 Tahun 1984, pada dasarnya merupakan langkah pemerintah untuk lebih menyempurnakan konsep KUD dan memberikan bantuan kepada KUD agar lebih mampu berdiri sendiri sebagai organisasi yang mandiri. Melalui Inpres No. 4/1984 maka fungsi KUD sebagai Koperasi Pertanian Serba Usaha ditingkatkan menjadi Koperasi Pedesaan Serba Usaha.
Di samping itu KUD ditetapkan sebagai satu-satunya koperasi di pedesaan yang anggotanya terdiri dari seluruh warga desa. Sebagai kosekuensinya, KUD harus mampu mengelola seluruh kegiatan ekonomi pedesaan untuk melayani warga desa yang menjadi anggotanya.
Konsep dasar KUD sebagai bentuk koperasi pedesaan serba usaha tersebut dilandasi oleh pemikiran tang mendasar, yaitu: Pertama, dengan bentuk KUD, berpeluang untuk mempunyai skala usaha yang lebih mendasar, layak dan efisien. Dengan demikian akan dapat mewujudkan pelayanan yang efektif dan efisien guna memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan anggotanya. Kedua, KUD sebagai koperasi serba usaha akan lebih berpeluang melayani berbagai kebutuhan dan kegiatan usaha dari seluruh anggotanya. Kegiatan usaha dari anggota yang dinilai masih lemah dan belum layak akan tetap dapat dilayani oleh KUD dengan subsidi silang dari hasil kegiatan usaha anggota yang sudah kuat dan layak. Kondisi seperti ini akan mengurangi terjadinya kemungkinan kesenjangan sosial dan mewujudkan pemerataan kesejahteraan di perdesaan. Ketiga, KUD akan memilki tingkat keterbukaan lebih besar untuk menampung seluruh warga desa menjadi anggota tanpa membedakan profesinya. Hal ini selaras dengan prinsip dasar koperasi, di mana keanggotaan bersifat terbuka dan sukarela.
Konsep dasar KUD inilah yang diharapkan mewujudkan dan melestarikan nilai-nilai kekeluargaan dan kebersamaan di perdesaan. Konsep dasar pemikiran KUD yang diuraikan di atas, yang kemudian dituangkan melalui serangkaian Instruksi Presiden, adalah sangat orisinil dan khas Indonesia yang digali dari bumi Indonesia sendiri. Oleh karena itu untuk pemahamannya harus menggunakan cara pandang bangsa Indonesia yang berwawasan kekeluargaan dan kebersamaan.
Selanjutnya, Inpres tersebut juga bermaksud untuk mendorong dan memperkuat KUD, sebagaimana tercermin dari kebijaksanaan pelaksanaannya, yaitu: membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya, memberikan kepastian usaha dalam bentuk jaminan pasar dan kepastian harga terhadap komoditi yang terpilih, membantu mengembangkan pemupukan modal secara terpadu. Memperkokoh organisasi dan manajemen dengan memberikan pendidikan dan pelatihan kepada para pengelola atau pelaksana KUD, dan menciptakan iklim yang kondusif bagi terwujudnya kerjasama antar koperasi, baik horisontal maupun vertikal.
Dalam membina dan mengembangkan KUD, pemerintah lebih menitikberatkan pada upaya peningkatkan mutu sumber daya manusia dan sistem kelembagaannya. Hal ini agar KUD mampu memanfaatkan peluang-peluang dan kesempatan usaha yang tersedia sehingga pada gilirannya dapat berperan sebagai satusatunya koperasi serba usaha di pedesaan yang mengelola berbagai macam kegiatan ekonomi pedesaan. Usaha tersebut dapat berupa pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, industri kerajinan, maupun bidang lainnya.
Ditinjau dari peranannya, kontribusi KUD dalam membangun ekonomi pedesaan yang menonjol memang masih di bidang pangan. Melalui kegiatan pengadaan pangan, selain telah mengisi program pengadaan pangan stok nasional, juga turut menjaga menyelamatkan harga gabah agar tidak merosot, sehingga dapat menghindarkan resiko kerugian para petani sebagai produsen. 
Dalam mengisi stok nasional, pada setiap tahunnya KUD rata-rata dapat memasok beras sebanyak 85 persen dari realisasi pengadaan Bulog. Keadaan inilah yang menjadikan Indonesia berhasil dalam swasembada pangan sejak tahun 1984, bahkan pada tahun-tahun berikutnya Indonesia mampu mengekspor beras ke beberapa negara tetangga.
Pada wilayah-wilayah yang tidak termasuk daerah potensi pangan, keikutsertaan KUD dalam pola tata perekonomian daerah setempat juga telah menunjukkan peranannya yang cukup besar. Di daerah perkebunan tebu rakyat, yang memperoleh kredit program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI), KUD telah menunjukkan peranannya dalam mengkoordinasikan dan menghubungkan para petani tebu dengan pabrik gula. Demikian pula di bidang perikanan, peranan KUD secara nyata dapat dirasakan oleh masyarakat nelayan atau petani ikan, baik dalam hal menyediakan kebutuhan sarana produksi perikanan maupun dalam hal pemasaran ikan hasil produksi anggotanya melalui tempat pelelangan ikan (TPI) yang dikelolanya.
Sebagai sasaran dilakukannya pembinaan dan pengembangan KUD selain dari aspek kuantitasnya juga diarahkan pada kualitas dari KUD itu sendiri. Sesuai dengan arah tujuan pembinaan KUD agar memiliki kemampuan mengembangkan dirinya atas kekuatan yang dimilikinya, maka pada saat memasuki Pelita V pemerintah mencanangkan program KUD Mandiri, yaitu KUD yang memiliki kualitas sesuai dengan 13 kriteria yang ditetapkan. Pada hakekatnya, keberhasilan KUD menjadi mandiri ditunjukkan terutama oleh peranannya dalam menumbuhkembangkan perekonomian pedesaan dan akhirnya dapat meningkatkan serta memajukan kesejahteraan anggota khususnya dan masyarakat sekitar pada umumnya.
Dari tahun 1992 sampai dengan bulan Desember tahun 1996, di desa telah terdapat sebanyak 9.226 KUD dengan jumlah anggota sebanyak 13,667 juta orang, yang tersebar di 3.549 kecamatan atau 9,4 persen. Dari jumlah tersebut terdapat 6.720 unit KUD Mandiri dan KUD Mantap. Di samping itu setiap kabupaten telah berhasil dikembangkan paling sedikit 1 (satu) KUD Mandiri Inti yang berfungsi sebagai lokomotif pertumbuhan koperasi di daerah sekitarnya.
Seluruh KUD Mandiri telah memiliki manajer yang pada umumnya lulusan perguruan tinggi (sarjana). KUD ini telah diaudit dengan hasil yang wajar tanpa catatan. Aset KUD dari tahun 1992 sampai tahun 1996 tumbuh 26 persen pertahun dari Rp. 1.036 miliar menjadi Rp. 2.379 miliar. Begitu juga volume usaha tumbuh 12 persen pertahun dari Rp. 3.808 miliar menjadi Rp. 6.117 miliar.
Dari keberhasilan di atas, kita menyadari bahwa KUD belum tumbuh di semua desa yang jumlahnya lebih dari 50.000 desa termasuk beberapa desa yang berada di daerah terpencil. Namun dengan jumlah yang ada sekarang, KUD telah memberikan sumbangan yang berarti bagi kegiatan ekonomi di perdesaan. Kemudian kita juga telah menyaksikan terdapat sebanyak 1.586 KUD yang telah berhasil masuk dalam kriteria usaha menengah karena memiliki omzet di atas Rp. 1 miliar. Data kuantitatif dan kualitatif tersebut dapat disimpulkan bahwa KUD telah tumbuh berkembang menjadi lembaga ekonomi modern yang dikelola secara profesional.
Hal ini sekaligus membuktikan bahwa citra KUD di tengah-tengah masyarakat telah meningkat jauh lebih baik dari waktu ke waktu. Dukungan dan partisipasi masyarakat yang semakin meningkat tersebut tentu saja bukan tanpa alasan yang rasional. Di luar itu semua, peran dan fungsi KUD juga menunjang pembangunan pertanian guna menumbuhkan ekonomi nasional.
Teori tentang sumbangan sektor pertanian dalam pertumbuhan ekonomi maupun dalam pembangunan sangat beragam. Namun demikian dari survey berbagai literatur paling tidak terdapat 5 peran sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi yang meliputi:
1.      Menyediakan pangan dan bahan baku.
2.      Menciptakan lapangan kerja.
3.      Meningkatkan penerimaan dan penghematan devisa.
4.      Mendorong tabungan untuk investasi.
5.      Peningkatan pendapatan masyarakat.
Dalam hal sumbangan terhadap pertumbuhan ini, kita dapat melihat bahwa ekspansi sektor non-pertanian (industri dan jasa) memerlukan dukungan yang kuat dari sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan sumber pasokan bahan pangan dan bahan baku yang sangat dibutuhkan oleh industri yang sedang berkembang. Hal ini diawali perkembangannya pada industri padat karya. Karena itu struktur biaya produksi didominasi oleh biaya tenaga kerja. Pengamatan lebih jauh menunjukkan bahwa struktur pengeluaran para pekerja di sektor industri tersebut sangat didominasi oleh pengeluaran untuk pangan (80%). Karena itu ketersediaan pangan yang murah, dan kontinuitas pasokan merupakan penentu tingkat perkembangan sektor industri dan sektor lain di luar pertanian. Jelaslah bahwa sektor pertanian merupakan sektor bagi perkembangan sektor industri (nonpertanian), yakni melalui kemampuannya menyediakan bahan pangan yang murah dan berkesinambungan.
Saat yang bersamaan, karena perkembangan industri pada awalnya bersifat resource base industry, maka mereka memerlukan dukungan bahan baku yang juga harus mudah dan terjamin kontinuitasnya. Lagi-lagi sektor pertanian harus berperan secara dinamis guna mendukung perkembangan sektor industri nonpertanian melalui penyediaan pasokan bahan baku yang murah dan berkesinambungan.
Peran semacam ini kemudian dikenal sebagai faktors contribution. Dalam kaitan dengan faktors contribution ini, peran dan fungsi koperasi, khususnya KUD, sangatah besar dan menentukan. Produksi pangan maupun bahan baku tidak mungkin dapat ditingkatkan dan dipertahankan kontinuitasnya tanpa didukung oleh ketersediaan faktor produksi secara memadai. Faktor produksi ini antara lain meliputi: pupuk, bibit unggul, obat-obatan pertanian dan mesin-mesin pertanian. Di samping itu adanya fasilitas penunjang seperti kredit usaha tani, fasilitas pergudangan, pengangkutan dan jaminan harga yang layak bagi hasil produksi merupakan faktor penentu yang tidak kalah penting.
Selama 25 tahun terakhir ini KUD telah menjalankan peranan yang sangat vital dalam penyaluran sarana produksi, maupun dalam mengembangkan berbagai sarana penunjang. Dalam distribusi sarana produksi, misalnya pupuk Pelita, sebanyak 314 ribu ton dan pada Pelita VI sebanyak 12,36 juta ton. Di samping itu KUD juga memiliki unit usaha pengangkutan, pergudangan, pabrik pengolahan, simpan pinjam dan lain sebagainya.
Menurut data yang ada, keterlibatan KUD dalam penyediaan sarana produksi dari Pelita I sampai dengan Pelita VI adalah sebagai berikut:
1.      Dalam penyaluran pupuk, jumlah KUD yang terlibat sebanyak 3.268 unit. Jumlah pupuk yang disalurkan rata-rata per-Pelita sebesar 7.418.422,6 ton.
2.      Dalam pengadaan pangan, jumlah KUD yang terlibat sebanyak 2.255 unit. Volume pengadaan pangan rata-rata per-Pelita sebesar 5.286.498,5 ton.
Sementara itu peran KUD dalam pemenuhan bahan baku antara lain: untuk pemenuhan industri susu, industri gula, tapioka, rokok dan industri minyak goreng. Selanjutnya, peran KUD dalam menciptakan lapangan kerja akibat dari modernisasi pertanian dapat bermacam-macam, antara lain:
1.      Jaringan pengangkutan.
2.      Prasarana pertanian seperti irigasi dan fasilitas pergudangan.
3.      Pengembangan berbagai badan-badan untuk penyuluhan.
4.      Lembaga perkreditan dan pemasaran; serta
5.      Inovasi biologis (bibit pembasmi hama) dan teknologi.
Peran KUD di bidang pengangkutan antara lain meliputi: pengangkutan pupuk, pengangkutan susu segar, pengangkutan tebu, dan pengangkutan obat-obatan. Untuk prasarana pergudangan antara lain: Gudang pupuk, pangan, cengkeh, gula, kopi, karet dan obat-obatan. Cukup banyak KUD yang bergerak dalam pengangkutan, terutama KUD-KUD yang memiliki usaha pengadaan pangan, pupuk dan obat-obatan dan TRI.
Peran KUD dalam penerimaan dan penghematan devisa dapat dilihat dari ekspor dan penghematan melalui substitusi impor hasil pertanian. Komoditas pertanian yang diekspor selama ini diantaranya kopi, crude palm oil (CPO), karet, kamper, kayu, rotan dan hasil-hasil perikanan serta produk holtikultura. Di samping itu bebrapa produk pertanian yang selama ini diimpor oleh Indonesia, kini sudah berhasil juga diproduksi di dalam negeri seperti susu, beras, kedelai, dan beberapa jenis buah-buahan.
Keterlibatan KUD baik dalam ekspor maupun dalam mensubtitusi produk impor seperti penyediaan input produksi, produksi, pengolahan dan pemasaran juga sudah terasa. Dalam aktivitas penunjang ekspor peranan KUD yang menonjol dapat dilihat pada pengolahan kopi, karet dan perikanan. Sedangkan dalam menunjang impor, kegiatan yang paling menonjol pada KUD adalah KUD persusuan.
Peran KUD dalam mendorong tabungan untuk investasi dapat dilihat dari catatan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 % pertahun. Untuk mencapai kondisi ini diperlukan dana investasi yang sangat besar. Besarnya dan yang dibutuhkan tidak hanya mengandalkan dari pinjaman luar negeri, tetapi yang lebih penting adalah menggali sumber dana dari dalam negeri. Itu artinya sumbangan sektor pertanian dalam investasi pembangunan dapat berlangsung melalui pajak bumi dan bangunan, tabungan masyarakat dan perubahan term of trade. Apa yang dapat dilakukan oleh KUD adalah menggerakkan tabungan masyarakat melalui aktivitas simpan pinjam yang dapat dilakukan melalui unit simpan pinjam dan Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Melalui kegiatan simpan pinjam ini sesuai dengan data tahun 1996 sudah berhasil dihimpun kurang lebih Rp. 138 miliar oleh 4.479 KUD.
Sementara peran KUD dalam peningkatan pendapatan masyarakat dapat dilihat dari berbagai sarana produksi dengan harga yang murah. Pada sisi lain KUD memasarkan hasil produksi petani dengan harga relatif lebih tinggi. Dengan demikian melalui peranan KUD ini pendapatan petani diharapkan akan dapat terus semakin meningkat.
Walaupun secara kuantitatif dan kualitatif peranan KUD cukup besar dalam menunjang pembangunan pertanian, namun ada kendala-kendala yang dihadapi. Terutama pada masa-masa mendatang, di samping menghadapi era globalisasi, perkembangan pertanian juga akan semakin terbatas. Seperti kita ketahui, pertumbuhan sektor pertanian tidak lebih dari 3,5 persen per tahun, sementara sektor industri telah tumbuh di atas 11 persen pertahun. Untuk itu diperlukan kehadiran KUD yang berperan lebih dinamis dari pada masa lalunya guna mendukung pembangunan pertanian agar tidak mengalami stagnasi. Sehubungan dengan hal tersebut, pembangunan koperasi perlu terus dimantapkan, ditingkatkan, diperdalam dan diperluas dalam periode pembangunan selanjutnya.
KUD perlu diperkuat agar menjadi lembaga yang efisien dan dikelola secara modern-profesional agar dapat menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang dalam era globalisasi yang dicirikan oleh semakin ketatnya persaingan. Kita yakin, hanya lembaga-lembaga efisienlah yang akan mampu bertahan menghadapi persaingan. Untuk itulah KUD harus kita upayakan agar mampu memanfaatkan keunggulan komparatif di pedesaan menjadi keunggulan kompetitif. KUD harus mampu mengidentifikasi dan menjadi komoditas unggulan di pedesaan sebagai core of business” di masa mendatang.
Di masa depan, KUD harus meningkatkan daya saing dengan menciptakan sumber-sumber baru keunggulan kompetitifnya. Jika dalam dunia bisnis biasa mengembangkan konsep daya saing nonharga, KUD juga harus mengembangkan konsep-konsep yang sama melalui diferensiasi pelayanan anggota, target pasar yang lebih fokus dan tindakan menyeluruh efisiensi biaya pada setiap lini kegiatan.
Kita bermimpi agar KUD dapat menjadi lembaga pengembangan kewirausahaan bagi para anggota dan secara spesifik menjadi: (a) pusat layanan bagi masyaralat pedesaan; (b) tempat menabung dan meminjam uang; (c) lembaga pengamanan pangan serta pada akhirnya (d) turut berperan dalam pengentasan kemiskinan.
Berbagai kendala yang masih dihadapi oleh KUD saat ini secara umum meliputi: (1) kendala dalam mengakses maupun memperluas pasar; (2) kendala dalam struktur permodalan maupun dalam mengakses sumber-sumber permodalan; (3) kendala dalam penguasaan dan pemanfaatan teknologi; (4) kendala dalam bidang organisasi dan manajemen; dan (5) kendala dalam perluasan jaringan usaha dan kerja sama usaha. Jika diperas lagi maka berbagai kendala tersebut bersumber dari rendahnya mutu sumber daya manusia (SDM). Karena itulah strategi pengembangan KUD dirancang untuk mengatasi kelemahan mutu SDM serta berbagai dimensi yang mengikutinya, menyangkut hal-hal berikut:
1.      Pemasyarakatan dan pembudayaan kewirausahaan.
2.      Pengembangan Desa Cerdas Teknologi.
3.      Pengembangan kemitraan usaha nasional; dan
4.      Pengembangan KUD Mandiri Inti.
Dari keempat strategi tersebut, tiga strategi yakni memasyaratkan dan membudayakan kewiraushaan, desa cerdas teknologi, dan kemitraan, telah dicanangkan oleh presiden sebagai gerakan nasional. Kemudian perlu diikuti dengan implementasinya di dalam lapangan secara simultan dan terpadu. Secara khusus kewirausahaan diarahkan untuk menumbuhkan kemauan yang meliputi semangat, etos dan disiplin kerja yang tinggi, serta sikap perilaku sebagai wirausaha unggul. Sedangkan pengembangan desa cerdas teknologi, diarahkan untuk meningkatkan kemampuan SDM dalam penguasaan keahlian di bidang usaha (business skill) agar menjadi profesional di bidangnya. Melalui penumbuhan kemauan dan peningkatan kemampuan inilah diharapkan dapat memperbaiki mutu SDM koperasi.
Bersamaan dengan itu, masalah kelembagaan juga perlu mendapat perhatian yang serius. Dalam hal ini usaha-usaha kecil yang dimiliki dan dikelola oleh para petani, nelayan, pengrajin, pedagang dan sebagainya perlu dihimpun dalam kelembagaan koperasi sehingga dengan memanfaatkan sinergi tersebut akan berakumulasi dan menjadi lebih besar melalui program kemitraan.
Secara konsepsional, koperasi tentunya harus tumbuh dari bawah, dari kalangan masyarakat sendiri (bottom up approach), yang didasarkan atas kebutuhan untuk mewujudkan kepentingan bersama. Dalam hal ini, pemerintah telah mengupayakan pengembangan KUD agar tidak keluar dari tujuan yang hendak dicapai. Tetapi dalam perkembangannya, justru kebanyakan lembaga KUD harus dipacu dari atas, dimulai dengan inisiatif dari pemerintah (top down approach).
Dari kedua pendekatan ini, maka timbullah konsepsi yang ideal, yakni keinginan yang tumbuh dari bawah yang didukung oleh bimbingan dari atas. Pertemuan kedua pendekatan ini akan memantapkan struktur dan kegiatan organisasi KUD dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Pendekatan ini akan memantapkan struktur dan kegiatan organisasi KUD dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Pendekatan ini ditempuh oleh pemerintah mengingat fungsi yang vital dari KUD dalam perkembangan perekonomian pedesaan. Pendekatan seperti ini juga dilakuakn oleh negara-negara lain dalam pembangunan, baik pembangunan pertanian dan pembangunan lain yang ada hubungannya dengan pembangunan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah mempunyai kepentingan dan berkewajiban membantu, mendorong, membimbing dan mengarahkan koperasi melalui berbagai bentuk strategi dan campur tangan lainnya.
Di samping melalui ketiga strategi yang disebutkan sebelumnya, pengembangan KUD juga dilakukan melalui pengembangan KUD Mandiri Inti. KUD Mandiri Inti ini diharapkan dapat menjadi motivator atau pemacu berkembangnya KUD lain di sekitarnya.
Dengan pendekatan ini diharapkan KUD dapat memberikan sumbangan pada pelaksanaan program pembangunan ekonomi pedesaan melalui kegiatan-kegiatan yang bukan hanya terpusat di sektor pertanian saja, tetapi juga di sektor lain seperti perindustrian, perdagangan, angkutan, kelistrikan dan lain-lain. Melalui KUD Mandiri Inti, diharapkan dapat dibentuk jaringan yang kuat antar KUD guna dapat meningkatkan pengembangan usaha dan layanannya kepada para anggota yang sebagian besar adalah masyarakat di pedesaan.
Pengembangan KUD Mandiri Inti diharapkan dapat berperan sebagai pemacu agar lebih meningkatkan kemampuan anggota KUD yang sebagian besar merupakan pengusaha kecil. KUD Mandiri Inti juga telah melakukan Gerakan Desa Cerdas Teknologi (GDCT) untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi dalam pengembangan usahanya.
Dengan pendekatan ini, di samping para anggotanya akan lebih maju, pada akhirnya KUD-nya pun akan dapat lebih kuat dan mampu berperan maksimal dalam mewujudkan cita-cita ekonomi nasional. Saat yang bersamaan, KUD juga akan siap masuk ke arena global.
E.      Strategi Pemberdayaan Koperasi Memasuki Globalisasi
Pembangunan nasional yang kita lakukan selama ini, terutama masa Orde Baru telah membuahkan hasil yang cukup menggembirakan. Hasil-hasil tersebut dapat dilihat dari angka makro ekonomi seperti pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar rata-rata 7 % lebih setiap tahun, pendapatan perkapita mencapai US$ 1.000 lebih, kemiskinan menurun drastis dari 70 % pada awal Pelita I (65 juta orang) menjadi 11 % dari jumlah penduduk seluruhnya pada tahun 1996 (22 juta orang).
Bersamaan dengan itu, hasil-hasil pembangunan di bidang lainnya juga cukup berhasil. Misalnya kita telah sukses mengurangi ketergantungan terhadap minyak dan gas bumi (migas) dengan meningkatkan peranan non migas dalam perekonomian kita di banding pertanian, kita juga telah berhasil mencapai swasembada pangan.
Khusus pembangunan di bidang perkoperasian dan pembinaan pengusaha kecil yang merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional, kita juga mencatat berbagai keberhasilan dalam kurun waktu yang sama. Di perkotaan sebagai gambaran, sampai dengan akhir bulan Juni 1997 telah dapat diwujudkan sebanyak 3.336 karyawan Mandiri terdiri dari 1.904 koperasi karyawan dan 1.432 koperasi perkotaan lainnya. Di setiap kotamadya telah berdiri paling sedikit 1 (satu) Koperasi Perkotaan Mandiri. Kemudian kita juga telah menyaksikan koperasi yang telah berhasil masuk dalam kriteria usaha menengah dengan memiliki omzet di ats Rp. 1 miliar, diantaranya terdapat 1.541 KUD dan 1.203 non KUD.
Dari data kuantitatif dan kualitatif tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa koperasi telah tumbuh dan berkembang menjadi lembaga ekonomi modern dan dikelola secara profesional serta memiliki prospek cerah. Karena itu, koperasi kemudian berhasil membuat pengusaha kecil meningkat. Pada tahun 1993 jumlah pengusaha kecil mencapai 34,2 juta yang berkembang di berbagai sektor, antara lain: sektor pertanian 63,6 %; sektor perdagangan, perhotelan dan restoran sebanyak 17,4 %; sektor industri pengolahan 7,5 %; dan sektor lainnya sebanyak 11,5 %.
Sampai dengan tahun 1996 telah dapat diwujudkan 37,188 pengusaha menengah di luar sektor pertanian; 9.541 pengusaha kecil mandiri; dan 4,6 juta pengusaha kecil tangguh. Diperkirakan kita membutuhkan paling sedikit 50.000 pengusaha menengah agar struktur nasional dapat kokoh. Mengamati hasil-hasil tersebut di atas, kiranya tidak berlebihan apabila kita bahwa kurang pada tempatnya kritik dari beberapa pengamat yang menyatakan bahwa koperasi dan usaha kecil menengah kita tidak mengalami kemajuan dan sangat ketinggalan dibandingkan dengan BUMS dan BUMN. Bahkan ada pengamat yang membandingkannya dengan kemajuan yang dicapai oleh koperasi dan usaha kecil menengah di negara maju.
Kritik seperti itu sangat misleading, tidak proporsional dan tentu saja harus diluruskan. Harus disadari, bahwa tolak ukur keberhasilan koperasi dan usaha kecil menengah secara signifikan berbeda dengan tolak ukur keberhasilan BUMS dan BUMN. Berbeda dengan BUMS yang memiliki motivasi untuk mengejar keuntungan maksimal dan BUMN yang lebih mementingkan stabilitas, koperasi pada dasarnya mengutamakan kepentingan stabilitas dan kesejahteraan anggotanya serta pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya.
Berdasarkan motivasi demikian, koperasi mau tidak mau harus berhadapan dengan kondisi obyektif anggotanya, antara lain: potensi ekonominya yang sangat kecil; seorang petani hanya memiliki rata-rata 0,2 ha lahan produktif, seorang peternak hanya memiliki rata-rata 2 ekor sapi atau rata-rata 5 ekor ayam. Belum lagi, kegiatan usaha yang ditangani oleh anggota koperasi tersebut secara umum memberikan nilai tambah yang juga kecil karena mereka bergerak di sektor-sektor padat karya dengan teknologi yang sangat sederhana. Memang ada juga beberapa pengamat yang menyarankan agar keanggotaan koperasi lebih selektif, hanya orang–orang yang memiliki potensi ekonomi yang cukup memadai.
Tentu saja di balik saran tersebut mereka berpikir bahwa koperasi bisa tumbuh lebih besar dan cepat dari apa yang telah dicapai selama ini. Tetapi, saran ini juga tidak sepenuhnya benar karena keanggotaan koperasi harus tetap terbuka. Semuanya ini memberikan gambaran kepada kita bahwa selama ini koperasi jauh lebih efektif dan berperan dalam sisi pemerataan, sedangkan BUMS dan BUMN masing-masing berperan dalam misi pertumbuhan.
Jadi, dapatlah dinyatakan bahwa tolak ukur kemajuan koperasi harus ditinjau secara holistik. Bila tolak ukur hanya secara parsial dari satu sisi saja maka cenderung memunculkan citra koperasi yang kurang baik. Meskipun demikian kita tidak menutup mata terhadap berbagai kritik yang sifatnya konstruktif. Bahkan seringkali, kritik demikian dapat memperkuat basis kita dalam menemukan arah dan kebijaksanan pembangunan berikutnya.
Dengan bekal pengalaman dan hasil-hasil yang telah dihimpun, kita lebih yakin bahwa basis untuk mengayunkan langkah ke depan tampak semakin kuat. Oleh sebab itu, berikut diuraikan beberapa hal pokok tentang masa yang akan datang.
Dewasa ini kita mengamati adanya perubahan yang cepat dan melanda seluruh dunia. Perubahan dimaksud terjadi dalam pola interaksi hubungan ekonomi dan perdagangan antarnegara. Terjadinya perubahan tersebut akibat dari kemajuan di bidang teknologi komunikasi dan informasi serta adanya kesepakatan multilateral GATT pada tanggal 15 April 1994 di Marrakes.
Bersamaan dengan itu, dunia juga menyaksikan terbentuknya kerjasama ekonomi regional yang menghasilkan kesepakatan-kesepakatan tentang perdagangan dan investasi yang semakin bebas, seperti AFTA 2003 dan APEC 2030. Sistem perdagangan dan investasi yang semakin bebas dan terbuka mengharuskan pelaku-pelaku ekonomi Indonesia untuk memiliki kinerja yang lebih efisien dan produktif dengan tingkat daya saing yang tinggi. Pemerintah juga dituntut untuk bersikap keras yakni tidak akan lagi menggunakan sistem lama yang hanya menguntungkan pengusaha besar.
Problem internal yang kita hadapi khususnya yang menyangkut koperasi juga tidak sedikit. Problem tersebut pada dasarnya berakar pada kelemahan dalam segi mutu SDM dan kelembagaan Koperasi. Misalnya, 90 % lebih dari seluruh pengusaha kecil, menengah dan pengelola koperasi hanya menikmati pendidikan SD.
Seiring dengan perubahan lingkungan strategi dan kondisi obyektif tadi, maka visi pembangunan koperasi yang tepat dan realistis adalah bagaimana meningkatkan kinerja dan kompetensi koperasi sehingga mampu mengembangkan dan menguasai pasar domestik. Kemudian dengan basis itu mampu mengembangkan daya saing global yang lebih tinggi. Kita memiliki penduduk lebih 200 juta orang potensi alam yang cukup besar. Dengan demikian, upaya-upaya masyarakat untuk mencintai produk dalam negeri bersamaan dengan peningkatan pelayanan dan mutu harus terus dilakukan. Dengan penekanan visi penguasaan dan pengembangan pasar domestik, maka melalui proses belajar di dalam negeri diharapkan secara bertahap koperasi mampu membangun daya saing globalnya. Dengan kata lain, secara makro kita harus mampu mengembangkan keunggulan kompetitif dalam dunia usaha nasional dengan berbasis pada keunggulan koperatif yang kita miliki.
Selanjutnya, kinerja koperasi yang diwarnai dengan tingkat efisiensi, produktivitas, dan daya saing, merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan perekonomian nasional yang tangguh dan mandiri sekaligus ketahanan nasional yang kuat dan mantap. Dengan kinerja yang demikian, maka struktur perekonomian yang tadinya sangat lemah dilapisan tengah (hollow midle) akan menjadi lebih kukuh dengan tumbuhnya sejumlah pengusaha menengah. Dan akhirnya kita tidak perlu lagi khawatir terhadap masalah-masalah kesenjangan, kemiskinan maupun globalisasi. Oleh sebab itu, tantangan selanjutnya adalah bagaimana kita secara bersama-sama menghimpun seluruh potensi dan sumber daya yang telah kita miliki didayagunakan serta dikembangkan secara maksimalkan guna meningkatkan kinerja dan daya saing koperasi.
Namun demikian, waktu yang dibutuhkan juga cukup lama (25 tahun ke depan), apalagi dengan jumlah koperasi yang cukup besar, serta penyebaran yang meliputi seluruh sektor-ekonomi. Oleh sebab itu, dengan segala keterbatasan yang ada, untuk jangka pendek dan menengah, peranan dan posisi tersebut akan diprioritaskan pada sektor-sektor agrobisnis/agroindustri, kerajinan rakyat, dan industri pendukung ainnya. Dalam rangka menatap masa depan yang dimaksud, kita memerlukan 3 (tiga) strategi pokok yaitu:
1.      Sosialisasi dan pembudayaan kewirausahaan
2.      Pengembangan desa cerdas teknologi; dan
3.      Pengembangan kemitraan usaha nasional.
Ketiga strategi tersebut telah dicanangkan sebagai gerakan nasional, yang kemudian perlu diikuti dengan implementasinya di lapangan secara simultan dan terpadu. Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan UU Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, pemerintah diharapkan dapat berperan untuk menumbuhkan iklim yang kondusif dalam bentuk peraturan-peraturan dan pelaksanaannya, sehingga ketiga strategi tadi secara simultan dapat diimplementasikan. Di samping itu, pemeritah juga diharapkan dapat memberikan bantuan perkuatan sesuai dengan kemampuannya sehingga koperasi dapat lebih cepat tumbuh dan berkembang. Bantuan dan perkuatan dimaksud dapat berupa antara lain dukungan pendanaan, pencadangan lokasi dan bidang usaha.
Hal ini pada dasarnya menunjukkan bukti nyata keberpihakan pemerintah terhadap koperasi. Dalam kaitan inilah, kita tetap mendukung kebijakan untuk melakukan deregulasi sehingga mekanisme pasar dapat berfungsi lebih efektif dan efisien. Selain itu, kita memerlukan deregulasi yang ditujukan untuk melindungi dan memberikan bantuan perkuatan bagi kepentingan koperasi. Tetapi, kita juga mengakui bahwa cukup banyak peraturan dan kebijaksanaan yang telah ditetapkan tetapi pelaksanaannya di lapangan sering tidak sepenuhnya sesuai dengan ketentuan yang telah ada. Untuk itulah, implementasi yang konsisten harus selalu dilakukan agar koperasi siap memasuki pasar yang makin kompetitif. Hanya dengan implementasi yang konsisten, pasar yang kompetitif tersebut dapat dimanfaatkan oleh koperasi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak.
F.      Manajemen Koperasi dalam Pasar yang Kompetitif
Globalisasi sebagai suatu fenomena yang menghilangkan batas-batas negara akan mengarah pada kondisi terjadinya proses konvergensi atau penyatuan pada berbagai aspek kehidupan. Berbagai aspek kehidupan cenderung mengarah pada suatu standar global, mulai dari sistem nilai budaya yang berkembang dalam masyarakat, hingga praktek berbisnis dan lain sebagainya. Proses konvergensi ini dipercepat oleh apa yang dikenal denga istilah Tripple-T Revolution, yaitu terjadinya perubahan yang sangat cepat pada bidang telekomunikasi, transportasi, dan tourism.
Dalam era perdagangan dan investasi global nanti, setiap pelaku ekonomi dan konsumen memiliki akses yang mudah dan cepat terhadap penguasaan input produksi, informasi, teknologi, produk/jasa, dan transportasi. Barang dan jasa tersedia di mana-mana dengan kualitas tinggi dan harga murah. Sehingga siapa yang paling mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada konsumen, akan mempunyai salah satu keunggulan penting dalam membangun kemampuan daya saingnya.
Bila fenomena global ini kita kaitkan dengan dunia usaha, maka konsepsi persaingan yang berdimensi produk, waktu dan lokasi, akan menghilangkan batas-batas negara. Dengan demikian persaingan antar negara makin kalah penting dibandingkan dengan persaingan antar pelaku bisnis dalam berbagai skala. Bisnis dalam fenomena global akan mengarah pada pembentukan jaringan usaha yang melampaui batas-batas negara. Sumber daya ekonomi dan nilai tambah yang dihasilkan juga akan makin bebas bergerak mengikuti kaidah-kaidah efisiensi bisnis.
Kita telah memasuki AFTA 2003 dan akan segera menjemput APEC 2020 sebagai bagian dari kesepakatan yang telah kita ambil untuk memasuki era liberalisasi perdagangan dan investasi. Liberalisasi perdagangan dan investasi ditandai dengan adanya pembebasan perdagangan dari hambatan struktural, baik dalam bentuk tarif maupun hambatan dalam bentuk non-tarif. Dengan semakin longgarnya perdagangan dan regulasi serta proteksi, tentu para pelaku ekonomi, termasuk koperasi akan menghadapi situasi pasar yang penuh dengan persaingan. Sekarang yang menjadi pertanyaan kita bersama, antara lain: bagaimana dengan koperasi? Akan mampukah koperasi berbicara di kancah yang semakin kompetitif tersebut? Apa yang perlu kita perbuat untuk memberdayakan koperasi? Dan masih banyak lagi pertanyaan relevan yang dapat kita ajukan.
Dalam menghadapi persaingan yang demikian berat, terdapat paling sedikit dua agenda penting, yaitu bagaimana supaya:
1.      Usaha nasional termasuk pengusaha kecil, menengah dan koperasi dapat lebih efisien, produktif, dan berdaya saing tinggi.
2.      Produksi dalam negeri bermutu tinggi dengan sistem distribusi yang lebih handal.
Dalam hubungan ini, salah satu upaya optimal dalam mengimplementasikan agenda tersebut adalah kita harus membangun semaksimal mungkin keunggulan kompetitif berdasarkan keunggulan komparatif yang kita miliki. Keunggulan komparatif yang selama ini menjadi andalan kita diantaranya adalah tersedianya sumber daya pertanian yang luas, jumlah sumber daya manusai yang cukup banyak, dan pasar dalam negeri yang cukup besar.
Untuk itu, dengan meningkatkan mutu sumber daya manusia dan pemanfaatan teknologi tepat guna, serta penguasaan dan pengembangan pasar dalam negeri, kita akan mampu menghasilkan produk-produk unggulan yang bernilai tambah tinggi, terutama di sektor agrobisnis.
Dari sisi pelaku ekonomi, keunggulan komparatif kita juga terletak pada pengusaha kecil dan menengah termasuk koperasi yang jumlahnya cukup besar. Untuk itu, dengan meningkatkan aksesibilitas pengusaha kecil, menengah dan koperasi terhadap sumber daya manusia yang bermutu, teknologi tepat guna, informasi pasar, dan pasar domestik, kita akan memiliki pengusaha kecil, menengah dan koperasi yang tangguh dan handal dalam persaingan.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan agar koperasi semakin kompetitif antara lain melakukan kerjasama/kemitraan, integrasi (horisontal maupun vertikal, termasuk amalgamasi), franchising. Kemitraan, baik antar koperasi maupun antara koperasi (sebagai plasma) dengan usaha lainnya (sebagai inti), merupakan salah satu program utama Departemen Koperasi dan PPK. Dengan Kemitraan ini, koperasi, pengusaha kecil, menengah dan mitranya dapat saling bekerjasama atas dasar saling menguntungkan/membutuhkan, sehingga dapat menghasilkan sinergi usaha yang lebih besar.
Pilihan kemitraan ini diperlukan bagi koperasi yang potensial namun belum mempunyai kemampuan yang cukup untuk mendayagunakan kemampuannya dan potensi wilayahnya. Adanya unsur saling membutuhkan di antara pemitra perlu dipertahankan, agar supaya hubungan kemitraan berlangsung langgeng. Perlu diupayakan, bagaimana koperasi dapat memberikan kepuasan maksimal pada mitranya. Misalnya dengan memperbaiki kinerja manajemen produksi dan penanganan/pengolahan agar dihasilkan produk/jasa yang berkualitas, tersedia secara kontinyu dan seragam bagi mitranya. Demikian pula sebaliknya, perusahaan intipun harus dapat memberikan kepuasan maksimal bagi plasmanya.
Manajemen kemitraan ini sebaiknya dilaksanakan oleh kedua belah pihak yang bermitra. Untuk SDM, koperasi harus memiliki kemampuan manajerial yang layak untuk bersama-sama dengan SDM perusahaan inti bekerja dengan maksimal. Sekali lagi, unsur kualitas sumber daya manusia koperasi memegang peranan penting agar dapat berpartisipasi aktif dalam pengelolaan usaha kemitraan ini, serta lebih menjamin pemenuhan kebutuhan kedua belah pihak yang bermitra. Dengan demikian akan dapat diupayakan keseimbangan bargaining power antara koperasi dan mitranya.
Implikasi lebih lanjut adalah dapat dihindarkannya eksploitasi pihak satu oleh pihak lainnya. Kondisi seperti ini harus dipertahankan agar kemitraan berlangsung langgeng. Bisa saja, bilamana nanti terjadi globalisasi perdagangan dan investasi, semua lahan usaha telah dikuasai oleh swasta yang kuat, maka koperasi harus mencari salah satu celah usaha yang belum terjangkau pengusaha kuat terutama untuk memperkuat keunggulannya antara lain dalam memberikan pelayanan yang lebih fleksibel, cepat dan menarik dan dapat menjangkau pasar yang paling terpencil. Misalnya, dengan bekerjasama dalam memasarkan produk-produk perusahaan besar ke pasar-pasar yang hanya mungkin dijangkau oleh koperasi.
Koperasi juga harus dapat memperkuat dirinya sebagai pemasok, yang mampu menyediakan bahan baku berkualitas dengan harga yang kompetitif, karena koperasi pada dasarnya mempunyai akses besar terhadap sumber daya alam dan manusia yang mengeksploitasi sumber daya alam tersebut.
Amalgamasi (penggabungan) koperasi dapat ditempuh sebagai salah satu alternatif terutama dalam meningkatkan bargaining powernya. Karena dengan amalgamasi, koperasi dapat meningkatkan economies of scale (skala produksi) yang mengarah pada peningkatan efisiensi usahanya. Demikian pula amalgamasi dapat memperluas jaringan kerjasama dengan badan usaha lain, mempermudah akses terhadap input produksi, pengolahan, pemasaran, teknologi maupun informasi.
Apabila amalgamasi dapat dibentuk serasional mungkin, misalnya antara koperasi kuat-kuat atau lemah-lemah, dalam artian, kekuatan yang satu menutup kelemahan yang lain (dan sebaliknya), ditambah konsolidasi yang kuat, maka koperasi dapat menjadi pemasok, pemodal, produsen maupun pembeli yang mempunyai bargaining power yang kuat dan mantap. Lebih lanjut, apabila perlu dapat dilakukan financhising dengan badan usaha yang paling sesuai dengan usaha koperasi. Dengan bentuk kerjasama ini diharapkan koperasi dapat lebih besar aksesnya dalam penguasaan teknologi, pelayanan dan pemasaran barang/jasa.
Selebihnya, koperasi harus bekerjasama dengan lembaga pendidikan agar dapat menjadi partner pemerintah dalam meningkatkan profesionalisme sumber daya manausia koperasi. Diharapkan dari pendidikan, latihan dan penyuluhan akan semakin efektif dan semakin menjangkau jumlah peserta yang lebih merata dan banyak, dan yang terpenting mereka dapat didayagunakan oleh koperasi. Pendidikan dan latihan, baik yang dilakukan di dalam maupun di luar negeri akan semakin berbobot dengan muatan-muatan konsep maupun praktek, dengan tenaga instruktur yang semakin memenuhi tuntutan kebutuhan koperasi (instruktur terdiri dari konseptor dan praktisi).
Selanjutnya, sasaran utama dalam pembinaan program ini adalah para pemuda kader koperasi, baik mereka yang putus sekolah maupun para lulusan yang baru menyelesaikan pendidikannya. Harapan dari keterlibatan pada pemuda dalam program-program pengembangan kewirausahaan ini, selain untuk menciptakan wirausaha-wirausaha baru dalam struktur ekonomi kita, juga dalam rangka melibatkan para pemuda untuk bisa terjun secara langsung menjadi wirausaha unggul dan atau mengelola usaha-usaha kecil, menengah dan koperasi.
Tentunya hal ini sangat positif pengaruhnya terhadap pembinaan dan pengembangan koperasi. Dengan demikian, dapatlah diharapkan bahwa profesionalisme sumber daya manusia koperasi akan semakin dapat ditingkatkan, guna menghadapi era persaingan yang semakin ketat dan kompetitif. Peningkatan kualitas sumber daya manusia koperasi ini sangat penting artinya dalam membangun keunggulan komparatif maupun kompetitif bagi koperasi.
Dalam membangun keunggulan kompetitif, SDM koperasi dituntut untuk mendayagunakan kekayaan alam Indonesia/daerah yang cara geografis jarang diproduksi oleh negara lainnya, memproses dan memasarkannya. Sedangkan guna mencapai keunggulan kompetitif, SDM koperasi dituntut untuk dapat mengelola usahanya seefisien mungkin.
Dalam menghadapi pasar yang semakin kompetitif, koperasi harus terus dibina khususnya agar dapat menetapkan strategi bersaing yang tepat. Kita tertarik pada pendapat Michael E. Porter yang menyatakan bahwa koperasi pun sebagai salah satu pelaku dalam dunia industri, harus mencermati struktur industri di mana ia berkiprah bersama pesaing lainnya.
Koperasi harus mampu mencermati kekuatan supplier (dari mana koperasi memperoleh input produksi), pembeli, intensitas persaingan dengan kompetitornya, serta ancaman yang datang dari calon pelaku baru yang mau masuk ke dalam industri di mana koperasi berada dan ancaman barang/jasa substitusinya. Apabila ia ingin sukses berkompetisi dalam suatu industri bersama pelaku usaha lainnya.
Ada tiga strategi yang dapat diterapkan, yakni cost leadership, differentiation, dan focus. Apakah nantinya akan ditetapkan strategi bersaing yang mengacu pada maksimalisasi efisiensi (cost leadership), mengandalkan produknya yang khas (differentiation), ataukah koperasi lebih memilih strategi untuk memfokuskan pelayanan pada segmen (bagian) pasar tertentu (focus); tergantung dari kondisi usaha masing-masing dan struktur di mana koperasi bekerja dan berusaha.
Lebih dari itu, SDM koperasi harus terus dilatih untuk memiliki sensitivitas bisnis, terutama dalam memilih dan menerapkan dengan baik strategi bersaing yang paling sesuai untuknya. Diperlukan metode pendidikan yang mampu mengkombinasikan penguasaan konsep usaha dan penguasaan praktis bisnis. Untuk itu, tenaga pengajar praktisi mutlak diperlukan dalam setiap lembaga pendidikan dan latihan perkoperasian. Kita yakin, suatu saat nanti, apalagi perdagangan dan investasi akan semakin mengglobal hanya koperasilah yang merupakan wadah paling tepat bagi masyarakat/pengusaha kecil untuk dapat berbicara dan berperan dalam persaingan usaha yang semakin ketat dan kompetitif. Hal ini antara lain karena sangatlah sulit bagi pengusaha kecil untuk dapat  engelola usahanya dengan skala produksi (economies of scale) yang layak guna memperoleh efisiensi yang tinggi. Jadi, tidak ada pilihan lain bagi pengusaha kecil kecuali berkoperasi, apalagi pesaing yang harus dihadapi adalah badan-badan usaha dalam negeri dan asing (lokal, regional dan internasional) yang telah mempunyai kinerja manajemen yang sangat handal.
Sekarang tinggal satu pertanyaan yang penting bagi kita. Siapkah kita meningkatkan keberdayaan dirinya sendiri dalam rangka menyongsong millenium ketiga? Tentu saja jawabannya adalah harus siap.
G.    Koperasi Indonesia Menyongsong Millenium Ketiga
Di saat bangsa Indonesia menyongsong datangnya millenium ketiga, konsepsi pengembangan perkoperasian Indonesia menempati posisi yang semakin menarik. Daya tariknya, tidak hanya pada sifat ganda yang melekat pada lembaganya, tetapi juga pada eksistensi nilai dan prinsip-prinsip yang menjiwainya dalam kancah persaingan global yang semakin tajam.
Visi masyarakat koperasi dunia dalam menghadapi millenium ketiga, sebagaimana hasil Kongres 100 tahun International Cooperative Allaince (ICA) di Manchester 1995, adalah bahwa perekonomian akan memerlukan lebih banyak unsur percaya pada diri sendiri, demokratis dan partisipatif agar setiap orang lebih mampu menguasai kehidupan ekonomi dan sosialnya. Dengan demikian perekonomian akan menjadi makin penting bagi kehidupan banyak orang di masa mendatang.
Sifat ganda pada koperasi, menurut UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, antara lain dicirikan oleh bentuknya sebagai badan usaha sekaligus sebagai pengguna jasa. Dengan sifat gandanya itu tujuan koperasi tidak hanya untuk menyejahterakan kehidupan anggotanya, tetapi juga untuk mendorong tumbuhnya partisipasi dalam mewujudkan demokrasi ekonomi. Oleh karenanya kehidupan koperasi tidak hanya pada dimensi ekonomi saja tetapi juga berada pada dimensi ideologi politik dan sosial budaya.
Di samping itu dalam melaksanakan kegiatannya, koperasi juga dilandasi oleh nilai dan prinsip-prinsip yang mencirikannya sebagai lembaga ekonomi yang sarat dengan nilai etika bisnis. Nilai-nilai koperasi yang dirumuskan dalam Kongres ICA tersebut antara lain menolong diri sendiri, solidaritas, kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab sosial dan peduli kepada orang lain. 
Dengan nilai-nilai etis seperti itu, banyak kalangan yang meragukan daya tahan koperasi. Sebab, nilai etis semacam itu dianggap sebagai beban, sehingga berpotensi melemahkan daya saing koperasi. Sementara itu badan usaha lainnya, diasumsikan hanya berorientasi tunggal yakni menghasilkan keuntungan sebanyak-banyaknya, sehingga dapat bekerja lebih luwes dan dinamis serta memiliki daya saing yang lebih kuat.
Dalam era perdagangan global di abad 21 nanti, apakah koperasi masih mampu mempertahankan sifatnya yang ganda dan nilai-nilai etis yang menjadi identitas jati dirinya? Atau bagaimana seharusnya mengelola koperasi sehingga mampu bersaing tanpa harus kehilangan identitas jati dirinya?
Kecenderungan yang sedang terjadi menjelang abad 21 ini adalah meningkatnya persaingan antar pelaku bisnis. Kecenderungan ini dipacu oleh kekuatan ekonomi pasar yang berkembang karena berkurangnya bentuk proteksi. Kemajuan teknologi transportasi, komunikasi dan informasi juga telah memperlancar arus barang dan jasa, sehingga ekonomi pasar semakin terbuka dan persaingan semakin ketat.
Dengan persaingan yang semakin ketat mendorong tumbuhnya motivasi untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi bisnis. Di samping itu persaingan juga penting untuk memacu tingkat efisiensi dan produktivitas para pelaku bisnis sehingga mampu menghasilkan nilai tambah yang diperlukan bagi upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Namun demikian persaingan itu hanya akan efektif apabila para pelaku ekonomi yang bersaing mempunyai kesetaraan kekuatan yang berimbang. Apabila kekuatannya timpang, akan terjadi dominasi pasar baik yang berbentuk monopoli atau oligopsoni di sektor pembeli.
Dominasi pasar yang diperoleh karena keunggulan kualitas daya saing yang bersumber dari kreativitas dan inovasi bisnis akan memberikan dampak yang positif baik bagi perkembangan bisnis yang bersangkutan, bagi konsumen maupun bagi masyarakat banyak. Hal ini hanya dimungkinkan apabila keunggulan kualitas daya saing tersebut tidak diproteksi secara berlebihan dengan kekuatan di luar hukum-hukum ekonomi yang berkembang. Artinya memberikan peluang bagi yang lain untuk menumbuhkan kreativitas dan inovasi bisnis yang berkaitan, sehingga meningkatkan keunggulan daya saing.
Menurut Munkner (2001), untuk beberapa dasawarsa terakhir ini pembangunan koperasi di beberapa negara didominasi oleh keinginan kuat untuk menyesuaikan perusahaan koperasi pada model perusahaan yang berhasil di seluruh dunia. Keinginan dan kepercayaan yang nyaris sempurna terhadap pertumbuhan ekonomi telah mendorong terjadinya erosi kesadaran berkoperasi yang terus menerus di antara para pemimpin, manajer, karyawan dan anggota koperasi.
Meskipun demikian masih banyak anggota masyarakat koperasi dunia yang justru makin optimis dengan perkembangan yang ada saat ini. Kekuatan ekonomi pasar ternyata juga bayak menimbulkan persoalan baru seperti pengangguran jangka panjang, ketimpangan sosial, kerusakan lingkungan serta tidak mampu menjamin kesehatan dan keamanan sosial.
Sementara kekuatan birokrasi (politik) juga tidak mungkin berdaya tanpa adanya kekuatan ekonomi yang mampu menghasilkan pertumbuhan dan nilai tambah yang dapat dipergunakan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Persoalan-persoalan tersebut tidak dapat diatasi hanya dengan kekuatan ekonomi atau politik saja. Keduanya tidak mungkin dipisahkan meskipun sangat berbeda kepentingannya.
Untuk memadukan kepentingan ekonomi dan politik dalam menghadapi masalah yang secara nyata dihadapi bersama seperti masalah pengangguran, kesenjangan sosial, kerusakan lingkungan, kesehatan dan keamanan sosial, diperlukan biaya yang sangat mahal. Pembagian tugas dan tanggung jawab dalam mengatasi masalah-masalah tersebut dengan alasan spesialisasi dan efisiensi, ternyata justru menimbulkan egoisme kepentingan dan sangat mahal biayanya untuk mengkoordinasikannya. Beban biaya lebih banyak dirasakan oleh negara-negara yang sedang berkembang, karena kesadaran kolektif terhadap masalah-masalah yang dicapai bersama masih belum berkembang.
Dengan sifat ganda yang dimiliki serta nilai-nilai etis yang mencirikan identitas kelembagaan koperasi sebagaimana yang dihasilkan dari Kongres 100 Tahun ICA tadi, koperasi justru sebagai alternatif baru untuk mengatasi masalah-masalah besar yang dihadapi masyarakat dunia. Dengan sifat gandanya sebagai badan usaha sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat, koperasi berpotensi untuk meminimalisir biaya-biaya untuk mengkoordinasikan kepentingan ekonomi dan politik.
Dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, masyarakat dunia menjadi semakin pintar. Walaupun sifat-sifat negatif dalam praktek ekonomi berkembang, tetapi semakin banyak pula cara-cara untuk mengatasinya. Semakin banyak pula yang menyadari manfaat nilai-nilai etika bisnis dalam praktek-praktek ekonomi.
Kecenderungan yang berkembang menunjukkan adanya kepercayaan dan kejujuran yang makin banyak diakui sebagai sumber efisiesi yang sangat besar manfaatnya dalam menghasilkan nilai tambah. Menolong diri sendiri makin disadari sebagai cara yang penting dalam mengurangi gangguan untuk memperoleh jaminan ketentraman dan keamanan sosial. Kecenderunagn ini merupakan peluang yang besar bagi koperasi untuk tumbuh dan berkembang sebagai alternatif ekonomi masa depan.
Dengan nilai-nilai etis tersebut, koperasi akan lebih mudah berkembang dalam masyarakat yang memiliki kesadaran kolektif terhadap pentingnya nilai-nilai etis yang diperlukan untuk mengatasi masalah yang secara nyata dihadapi bersama. Kesadaran kolektif itu tumbuh pada masyarakat yang rasional, yang menyadari bahaya yang mengancam akibat praktek bsinis yang tidak etis, akibat pengangguran dan kesenjangan sosial. Oleh karena itu, mudah dipahami mengapa koperasi juga berkembang pesat di negara-negara maju baik di bidang ekonomi, politik maupun peradaban sosial budayanya.
Perkembangan ini membuktikan bahwa koperasi di Indonesia mampu tumbuh dan berkembang dalam situasi persaingan yang semakin ketat. Bahkan tumbuh menjadi lembaga yang semakin modern di antara dinamika pertumbuhan ekonomi pasar yang berkembang di seluruh pelosok tanah air. Pada dasarnya orang berkoperasi adalah untuk meningkatkan sinergi kekuatan dalam mencapai tujuan bersama yaitu menghasilkan nilai tambah yang diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Apabila dengan berkoperasi ternyata tidak menghasilkan sinergi kekuatan yang dapat menghasilkan nilai tambah bagi kepentingan bersama, maka berarti masih ada masalah dalam manajemen koperasi.
Dengan identitas yang dimiliki, maka tuntutan dan gaya pengembangan koperasi jelas berbeda dengan pengembangan badan usaha lainnya. Salah satu unsur yang membedakan adalah sifat ganda baik dalam hal organisasi kelembagaannya maupun dalam hal keanggotaannya. Sebagai badan usaha, kegiatan usaha koperasi harus dikelola sebagaimana perusahaan yang diorientasikan untuk menghasilkan nilai tambah yang dapat dimanfaatkan bagi peningkatan kesejahteraan anggotanya.
Sedangkan sebagai gerakan ekonomi rakyat, kegiatan koperasi diorientasikan untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam upaya memperkokoh struktur perekonomian nasional dengan demokrasi ekonomi yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Dengan tuntutan yang demikian, jelas bahwa manajemen koperasi Indonesia tidak lebih mudah dari manajemen badan usaha lainnya.
Meskipun demikian untuk mengembangkan perusahaan koperasi tidak harus membatasi diri sebatas untuk potensi ekonomi yang ada untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan anggota dan masyarakat di sekitarnya. Untuk mewujudkan anggota sebagai sumber kekuatan koperasi, maka perusahaan koperasi harus dikelola dengan cara yang lebih efisien, lebih produktif dan lebih berdaya saing, sehingga mampu menjadi semakin unggul. Hanya dengan cara demikian maka koperasi akan dapat memperoleh dukungan dan kepercayaan yang lebih besar dari anggotanya.
Cara-cara mengikat pelanggan seperti dengan memberikan pelayanan yang lebih baik, menghilangkan jam kerja untuk dapat memberikan pelayanan kapan saja dibutuhkan, memberikan perhatian yang penuh kepuasan pelanggan, serta mengembangkan kreativitas dan inovasi dalam menciptakan produk-produk unggulan bagi pelanggan, akan dapat memberikan jaminan kepastian pasar (captive market) yang kuat bagi koperasi.
Di samping itu cara yang demikian juga akan menumbuhkan motivasi pelanggan untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan koperasi dan akan menjadikan dirinya bagian dari koperasi itu sendiri. Koperasi tanpa memiliki jaminan pasar yang kuat dari pelanggannya, sama artinya dengan koperasi tanpa anggota, karena pelanggan yang demikian itulah yang sebenarnya anggota koperasi.
Koperasi tanpa dukungan anggota seharusnya segera dibubarkan, karena tidak layak sebagai koperasi. Agar tetap tangguh menghadapi globalisasi, koperasi harus dikelola sesuai dengan nilai-nilai etika bisnis yang dimiliki. Kegiatan koperasi harus dikelola berdasarkan pada prinsip-prinsipnya, yaitu:
1.      Keanggotaan suka-rela dan terbuka
2.      Pengawasan demokratis oleh anggota
3.      Partisipasi anggota dalam kegiatan ekonomi
4.      Otonomi dan kemandirian
5.      Pendidikan, pelatihan dan penyuluhan
6.      Kerjasama antar-koperasi; dan
7.      Kepedulian terhadap masyarakat
Prinsip-prinsip koperasi merupakan hasil Kongres 100 tahun ICA di Manchester tahun 1995 yang sedikit beda dengan prinsip koperasi yang telah ditetapkan dalam pasal 5 UU 25/92. Dalam UU 25/92 secara eksplisit masih menegaskan adanya prinsip pembagian sisa hasil usaha masing-masing anggota secara adil dan sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota serta prinsip pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal. Sementara itu hasil Kongres 100 tahun ICA tersebut lebih menekankan pada pentingnya prinsip partisipasi anggota dalam kegiatan ekonomi serta prinsip kepedulian terhadap masyarakat.
Meskipun demikian dengan tingkat perkembangannya prinsip-prinsip tersebut telah dikembangkan baik oleh koperasi Indonesia maupun koperasi di berbagai negara lainnya. Khusus untuk prinsip pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal dapat diterapkan untuk simpanan pokok dan simpanan wajib. Sedangkan untuk simpanan lain atau modal penyertaan koperasi dapat memberikan balas jasa yang lebih tinggi dari yang diberikan lembaga keuangan lain, sesuai dengan tingkat produktivitas usaha yang dikembangkannya. 
Sesuai dengan sifat keanggotaannya yang ganda yaitu sebagai pemilik dan sekaligus pengguna/pemakai jasa koperasi, maka keberhasilan manajemen keanggotaan koperasi merupakan bagian kunci keberhasilan manajemen koperasi secara keseluruhan. Sebagai pemilik, anggota koperasi menentukan arah kebijaksanaan organisasi, termasuk pengurus, jenis kegiatan usaha dan sumber permodalan yang akan dikembangkannya. Sebagai pengguna jasa, anggota menentukan perkembangan dan kualitas daya saing usaha koperasi. Dengan demikian maka keberadaan koperasi sebenarnya tergantung sepenuhnya pada partisipasi anggotanya. Jadi tidak ada koperasi tanpa partisipasi anggota.
Untuk menghindari partisipasi semu yang berpotensi mengganggu keberadaan koperasi, maka keanggotaan koperasi bersifat sukarela dan terbuka. Dengan sifat keanggotaan yang demikian, maka diperlukan manajemen keanggotaan koperasi yang mampu menumbuhkan partisipasi dan komitmen kebersamaan dari anggota, sehingga potensi sumber daya yang dimiliki dapat dimanfaatkan secara maksimal bagi kepentingan pengembangan usaha koperasi.
Keanggotaan yang sukarela serta kesetiaan dan partisipasi aktif dari anggota hanya dapat dikembangkan apabila anggota merasa percaya dengan pimpinan yang dipilihnya, dengan sistem pengelolaan koperasinya, serta memperoleh manfaat dan puas dengan hasil usaha yang dilakukan secara bersama. Keanggotaan terbuka memungkinkan orang-orang yang tertarik untuk menjadi anggota dan orang-orang yang tidak tertarik untuk mengundurkan diri. Inilah mekanisme koperasi yang penting untuk dapat mempertahankan tingkat kesamaan kepentingan minimum dalam kelompok usaha koperasi.
Dengan begitu menjadi jelas bahwa koperasi dibentuk dengan modal manusia yang nilainya secara sistematis meningkat melalui investasi dalam pendidikan dan pelatihan, melalui perluasan dan perbaikan saluran informasi dan komunikasi, serta sistem manajemen yang memungkinkan sebanyak mungkin anggota dapat memainkan peranan dalam pengembangan usaha koperasi.
Untuk itu perlu dikembangkan sistem intensif dan disinsintif bagi anggota dengan ukuran yang jelas dan mudah dipahami. Insentif terhadap modal penyertaan dari anggota, insentif dalam memberikan pelayanan yang berbeda dengan non-anggota, atau bentuk-bentuk insentif lain yang memungkinkan anggota merasakan manfaat dan mendapat nilai lebih yang diperoleh dari koperasi dibanding dengan yang diberikan oleh badan usaha lainnya.
Komitmen kebersamaan anggota untuk berpartisipasi dalam kegiatan koperasi pada umumnya semakin longgar dan makin berkurang efektivitasnya jika jumlah anggotanya terlalu banyak. Oleh karena itu untuk menjaga efisiensi dan efektivitas pelayanan ataupun dalam pembinaan anggota, maka para anggota koperasi dapat dikelompokkan menurut basis-basis pelayanan dan atau basis pembinaannya.
Besarnya jumlah anggota kelompok ditentukan oleh efektivitas interaksi antar anggota, efisiensi pelayanan usaha dan pembinaan anggota. Keberadaan kelompok ini selain untuk meningkatkan efisiensi pelayanan dan pembinaan anggota juga diperlukan untuk memacu kreativitas dan inovasi bisnis dalam mengembangkan produk-produk unggulan yang dapat dijadikan sumber kekuatan daya saing bagi koperasinya.
Untuk dapat mengelola anggota koperasi yang mempunyai sifat ganda tersebut, maka koperasi harus memiliki sistem kepengurusan yang kuat baik dalam manajemen organisasinya maupun dalam manajemen kegiatan usahanya. Pengurus dipilih dari dan oleh anggota koperasi dalam Rapat Anggota (pasal 29 ayat (1) UU 25/92). Pengurus bertanggung jawab mengenai segala kegiatan pengelolaan koperasi dan usahanya kepada Rapat Anggota atau Rapat Luar Biasa (Pasal 30 UU 25/92).
Dengan penegasan yang demikian maka ketepatan anggota memilih pengurus sangat menentukan keberhasilan koperasi. Sesuai dengan tanggung jawabnya yang demikian besar, maka dengan tugas dan wewenang yang dimiliki, pengurus berpotensi menentukan jalannya kegiatan usaha koperasi. Oleh karena itu, biasanya pengurus yang dipilih adalah anggota yang paling berpengaruh dan memiliki kemampuan lebih dibanding anggota lainnya.
Perlu disadari, mengelola koperasi bukan hanya sekedar menghasilkan keuntungan, tetapi yang lebih penting adalah kemampuannya dalam mendayagunakan sumber daya ekonomi lainnya untuk mencapai tujuan bersama yang bersifat ganda, baik sebagai badan usaha maupun sebagai gerakan ekonomi rakyat.
Besarnya skala usaha dan jumlah anggota koperasi sangat menentukan sistem manajemen koperasi yang hendak dikembangkan. Ketika skala usaha dan jumlah anggota koperasi masih sangat terbatas maka demi efisiensi usaha, fungsi pengurus dapat sekaligus mengelola kegiatan usaha koperasi. Dalam kondisi demikian, maka diperlukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijaksanaan dan pengelolaan koperasi.
Manakala koperasi telah berkembang dengan jumlah anggota yang makin banyak, maka pengurus dapat mengangkat pengelola yang diberikan wewenang dan kuasa untuk mengelola usaha koperasi. Dengan demikian pengurus dapat melakukan konsentrasi pada pembinaan anggota, sedangkan kegiatan usahanya dipercayakan kepada pengelola yang ditunjuk.
Dalam hal ini pengurus telah menyerahkan sebagian tugas dan kewenangannya kepada pengelola, maka fungsi pengawasan dapat diambil alih oleh pengurus. Dengan demikian koperasi tidak perlu membentuk lembaga pengawas secara permanen. Tugas utama pengelola adalah menjalankan fungsi peningkatan kesejahteraan anggotanya.
Sedangkan tugas pengurus dapat lebih dikonsentrasikan untuk melakukan pembinaan angota agar memiliki kebersamaan yang lebih kuat dalam memanfaatkan potensi sumber daya yang dimiliki untuk mengembangkan kegiatan usaha koperasi. Di samping itu juga penting untuk mendayagunakan anggota dalam melakukan fungsi kontrol terhadap kualitas pelayanan pengelolaan kepada anggota dan pelanggan lainnya.
Untuk dapat memberikan pelayanan yang optimal bagi angotanya, maka pengelola harus mampu mengembangkan berbagai jenis kreasi dan inovasi bisnis agar potensi sumber daya ekonomi anggota dan masyarakat sekitarnya dapat dioptimalkan untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Kreatifitas dan inovasi tersebut terus dikembangkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan memperkuat daya saing usaha koperasi yang dikembangkan. Dengan sinergi kekuatan yang dimiliki anggota baik sebagai pemilik maupun pengguna jasa koperasi, seharusnya koperasi memiliki keunggulan daya saing dibanding badan usaha lainnya.
Ke depan, hubungan kerja antara pengurus dengan pengelola harus jelas batas-batas hak, kewajiban dan wewenangnya. Begitu juga dengan sistem insentif dan disinsentif yang perlu dituangkan dalam perikatan ataupun reward yang diperoleh sesuai dengan produktivitas yang dihasilkan. Perikatan hubungan kerja tersebut harus dibuat secara tertulis untuk memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi kedua belah pihak.
Setiap usaha yang dikembangkan harus layak secara ekonomis dan jelas pembukuannya (auditable). Ukuran-ukuran keberhasilan usaha seperti yang banyak diterapkan pada badan usaha lain seperti profitabilitas, rentabilitas, earning power atau ukuran lainnya secara proporsional juga dapat digunakan sebagai bagian dari penilaian keberhasilan usaha koperasi.
Untuk mengembangkan unit usaha yang layak, koperasi dapat mengembangkan modal penyertaan baik bagi anggotanya maupun bagi non-anggota. Sistem pengelolaan modal penyertaan yang dikembangkan tidak menyimpang dari nilai-nilai etis maupun prinsip-prinsip koperasi. Untuk modal penyertaan ini koperasi dapat menetapkan tingkat bunga atau dividen yang lebih tinggi dari pasar ataupun disesuaikan dengan hasil usaha yang dikembangkan. Oleh karena itu, maka setiap unit usaha dapat dikelola sebagai unit-unit otonom, dan koperasinya menjadi semacam ”holding company”.
Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa dalam era persaingan global yang semakin tajam, koperasi justru mempunyai kesempatan dan peluang yang lebih besar untuk dapat terus tumbuh dan berkembang. Sifat ganda dan nilai-nilai etis yang mendasari prinsip-prinsip koperasi sebagai ciri identitas koperasi justru akan menjadikan koperasi sebagai alternatif lembaga ekonomi masa depan yang diperlukan untuk mengatasi berbagai masalah ekonomi yang secara nyata dihadapi bersama oleh sebagian besar masyarakat dunia.
Tumbuhnya kesadaran kolektif terhadap masalah-masalah pengangguran, kesenjangan sosial, kerusakan lingkungan serta kesehatan dan keamanan sosial akan menjadi lahan yang subur bagi tumbuh dan berkembangnya koperasi. Baik sebagai badan usaha maupun sebagai gerakan ekonomi rakyat.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar