Filsafat, dan Sains
Penulis: Betrand Russel
Penerbit: Resist Book, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, April 2008
Tebal: Xxxvi + 320 halaman
Pertentangan antara pengetahuan dan agama (science and religion) telah berlangsung sejak berabad-abad. Dalam sejarah muncul berbagai macam agama dan tidak sedikit muncul filsuf dan pemikir yang menolak untuk menjadikan agama sebagai satu-satunya penjelas bagi keberlangsungan kehidupan.
Sejak muncul berbagai macam ilmu pengetahuan baru pada jaman pencerahan di Barat (renaisans), perlawanan terhadap agama bisa dikatakan semakin menguat. Tercatat, terjadi pertentangan antara kekuatan produksi baru (pengetahuan dan teknologi) dengan doktrin agama yang berusaha dipertahankan oleh penguasa. Misalnya, Copernicus digantung karena dengan bantuan teleskop telah menemukan fakta baru bahwa pusat tata surya adalah matahari (teori heliosentris). Ia dibunuh karena dianggap melanggar doktrin gereja yang telah mengatakan bahwa pusat tata surya adalah bumi (teori geosentris).
Karya-karya Betrand Russel yang dubukukan dalam buku yang berjudul ”Bertuhan Tanpa Agama” ini juga merupakan wawasan yang kaya mengenai pertanyaan kritis oleh seorang pemikir terhadap agama, meskipun ia tak terjebak pada penolakan radikal pada agama sebagaimana kalangan ateis. Membaca karya ini akan memberikan pemahaman pada kita bahwa karya Russell tentang agama, filsafat, dan sains begitu rumit. Dalam perjalanannya sebagai seorang intelektual, pada awalnya Russell menemukan harapan besar menemukan kepastian dalam matematika dan logika; tetapi di bawah pengaruh Wittgenstein ia dengan berat hati memupus harapan tersebut dan sampai pada kesimpulan bahwa pengetahuan dalam semua bidang ternyata tak bisa diandalkan sepenuhnya. Ia menulis: ”Mengajarkan bagaimana hidup tanpa kepastian, namun tanpa dilumpuhkan oleh keragu-raguan, barangkali merupakan tugas utama filsafat yang pada jaman kita ini masih bisa dilakukan untuk mereka yang mempelajarinya” (hlm. 46).
Dalam esai berjudul ”Esensi dan Dampak Agama”, ia mengajukan dua pertanyaan: apa esensi agama itu? Dan, apakah perlu mempertahankan esensi agama itu? Russell mengaku sangat terkesan oleh Cina dan pada sikap santai rakyat Cina pada agama. Ia tertarik dengan kenyataan bahwa Konfusianisme yang berkuasa lebih menaruh perhatian pada etika daripada dogma. Sikap yang toleran ini sangat berbeda dari agama yang berkuasa di Barat, di mana agamanya hanya menekankan dogma dan keyakinan yang benar yang menyebabkan banyak penderitaan yang tidak perlu.
Esai berjudul ”Mengapa Saya Bukan Seorang Kristen” merupakan tulisannya yang bernada paling semangat dalam melawan agama. Esai ini adalah ceramah yang ia sampaikan di Balai Kota Battersea pada Minggu 6 Maret 1927. Tulisan tersebut menimbulkan reaksi keras dari kalangan agamawan. Tetapi mereka yang sudah familiar dengan pandangan Russel tentang agama sesudah akhir Perang Dunia I tidak terkejut.
Buku ini tidak mencakup semua kumpulan karya Russell yang sangat banyak mengenai masalah agama. Esai mengenai filsafat dan sastra juga dapat dibaca dalam buku ini, sekaligus menunjukkan pada kita bahwa ia adalah intelektual yang mampu berbicara mengenai banyak bidang. Russel adalah orang sekuler dan mengakui dirinya sebagai pemikir bebas. Meskipun demikian, banyak yang mempelajari semua tulisannya mengatakan bahwa ia adalah orang yang mengagumkan. Anak perempuannya, Katherine Tait, mengatakan bahwa ”Ayah mempunyai sifat yang sangat relijius, tipe seorang moralis yang peka yang akan menjadi pertapa suci di jaman yang lebih relijius”. Anthony Grayling mengatakan bahwa ”meskipun Russell keras pada agama namun ia adalah pribadi yang relijius” (hlm. x).
Russel kelihatannya melakukan dua pendekatan yang berbeda selama dua periode yang berbeda dari hidupnya. Tulisan-tulisannya sebelum 1920 adalah pembelaan terhadap kehidupan roh, dimaksudkan untuk mempertahankan agama tetapi tanpa ketergantungan pada dogma-dogma yang dalam penilaian intelektual yang jujur menjadi semakin sulit. Tetapi sejak tahun 1920-an, tulisannya tentang agama mulai menjadi polemis. Russell merasa terdorong menegaskan skeptisismenya mengenai kemungkinan agama akal karena menurutnya ”dewasa ini banyak ahli ilmu alam terkemuka dan beberapa ilmuwan biologi membuat pernyataan dengan mengatakan bahwa kemajuan mutakhir dalam ilmu pengetahuan telah membuktikan kesalahan materialisme lama” (hlm. 288).
Buku ini terbagi menjadi lima bagian. Dalam tiap-tiap bagian, kecuali bagian pertama, tulisan-tulisannya diurutkan secara kronologis, yang memungkinkan pembaca bisa mengetahui perkembangan pemikirannya serta berbagai cara di mana ia mengungkapkan berbagai pemikiran tersebut. Buku ini tak bisa diabaikan begitu saja bagi mereka yang ingin memperkaya dialog antara agama dan ilmu pengetahuan atau filsafat guna merumuskan pemikiran yang dialektis untuk menyikapi berbagai macam perkembangan yang terus terjadi dalam kehidupan keberagamaan dan kebangsaan kita.
Penulis: Betrand Russel
Penerbit: Resist Book, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, April 2008
Tebal: Xxxvi + 320 halaman
Pertentangan antara pengetahuan dan agama (science and religion) telah berlangsung sejak berabad-abad. Dalam sejarah muncul berbagai macam agama dan tidak sedikit muncul filsuf dan pemikir yang menolak untuk menjadikan agama sebagai satu-satunya penjelas bagi keberlangsungan kehidupan.
Sejak muncul berbagai macam ilmu pengetahuan baru pada jaman pencerahan di Barat (renaisans), perlawanan terhadap agama bisa dikatakan semakin menguat. Tercatat, terjadi pertentangan antara kekuatan produksi baru (pengetahuan dan teknologi) dengan doktrin agama yang berusaha dipertahankan oleh penguasa. Misalnya, Copernicus digantung karena dengan bantuan teleskop telah menemukan fakta baru bahwa pusat tata surya adalah matahari (teori heliosentris). Ia dibunuh karena dianggap melanggar doktrin gereja yang telah mengatakan bahwa pusat tata surya adalah bumi (teori geosentris).
Karya-karya Betrand Russel yang dubukukan dalam buku yang berjudul ”Bertuhan Tanpa Agama” ini juga merupakan wawasan yang kaya mengenai pertanyaan kritis oleh seorang pemikir terhadap agama, meskipun ia tak terjebak pada penolakan radikal pada agama sebagaimana kalangan ateis. Membaca karya ini akan memberikan pemahaman pada kita bahwa karya Russell tentang agama, filsafat, dan sains begitu rumit. Dalam perjalanannya sebagai seorang intelektual, pada awalnya Russell menemukan harapan besar menemukan kepastian dalam matematika dan logika; tetapi di bawah pengaruh Wittgenstein ia dengan berat hati memupus harapan tersebut dan sampai pada kesimpulan bahwa pengetahuan dalam semua bidang ternyata tak bisa diandalkan sepenuhnya. Ia menulis: ”Mengajarkan bagaimana hidup tanpa kepastian, namun tanpa dilumpuhkan oleh keragu-raguan, barangkali merupakan tugas utama filsafat yang pada jaman kita ini masih bisa dilakukan untuk mereka yang mempelajarinya” (hlm. 46).
Dalam esai berjudul ”Esensi dan Dampak Agama”, ia mengajukan dua pertanyaan: apa esensi agama itu? Dan, apakah perlu mempertahankan esensi agama itu? Russell mengaku sangat terkesan oleh Cina dan pada sikap santai rakyat Cina pada agama. Ia tertarik dengan kenyataan bahwa Konfusianisme yang berkuasa lebih menaruh perhatian pada etika daripada dogma. Sikap yang toleran ini sangat berbeda dari agama yang berkuasa di Barat, di mana agamanya hanya menekankan dogma dan keyakinan yang benar yang menyebabkan banyak penderitaan yang tidak perlu.
Esai berjudul ”Mengapa Saya Bukan Seorang Kristen” merupakan tulisannya yang bernada paling semangat dalam melawan agama. Esai ini adalah ceramah yang ia sampaikan di Balai Kota Battersea pada Minggu 6 Maret 1927. Tulisan tersebut menimbulkan reaksi keras dari kalangan agamawan. Tetapi mereka yang sudah familiar dengan pandangan Russel tentang agama sesudah akhir Perang Dunia I tidak terkejut.
Buku ini tidak mencakup semua kumpulan karya Russell yang sangat banyak mengenai masalah agama. Esai mengenai filsafat dan sastra juga dapat dibaca dalam buku ini, sekaligus menunjukkan pada kita bahwa ia adalah intelektual yang mampu berbicara mengenai banyak bidang. Russel adalah orang sekuler dan mengakui dirinya sebagai pemikir bebas. Meskipun demikian, banyak yang mempelajari semua tulisannya mengatakan bahwa ia adalah orang yang mengagumkan. Anak perempuannya, Katherine Tait, mengatakan bahwa ”Ayah mempunyai sifat yang sangat relijius, tipe seorang moralis yang peka yang akan menjadi pertapa suci di jaman yang lebih relijius”. Anthony Grayling mengatakan bahwa ”meskipun Russell keras pada agama namun ia adalah pribadi yang relijius” (hlm. x).
Russel kelihatannya melakukan dua pendekatan yang berbeda selama dua periode yang berbeda dari hidupnya. Tulisan-tulisannya sebelum 1920 adalah pembelaan terhadap kehidupan roh, dimaksudkan untuk mempertahankan agama tetapi tanpa ketergantungan pada dogma-dogma yang dalam penilaian intelektual yang jujur menjadi semakin sulit. Tetapi sejak tahun 1920-an, tulisannya tentang agama mulai menjadi polemis. Russell merasa terdorong menegaskan skeptisismenya mengenai kemungkinan agama akal karena menurutnya ”dewasa ini banyak ahli ilmu alam terkemuka dan beberapa ilmuwan biologi membuat pernyataan dengan mengatakan bahwa kemajuan mutakhir dalam ilmu pengetahuan telah membuktikan kesalahan materialisme lama” (hlm. 288).
Buku ini terbagi menjadi lima bagian. Dalam tiap-tiap bagian, kecuali bagian pertama, tulisan-tulisannya diurutkan secara kronologis, yang memungkinkan pembaca bisa mengetahui perkembangan pemikirannya serta berbagai cara di mana ia mengungkapkan berbagai pemikiran tersebut. Buku ini tak bisa diabaikan begitu saja bagi mereka yang ingin memperkaya dialog antara agama dan ilmu pengetahuan atau filsafat guna merumuskan pemikiran yang dialektis untuk menyikapi berbagai macam perkembangan yang terus terjadi dalam kehidupan keberagamaan dan kebangsaan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar