Saat ini “NeoLiberalisme” adalah kata bertuah yang dapat dituduhkan pada siapa saja yang tidak disenangi di republik ini. Bisa saja saat meneriakkan slogan anti neoliberalisme itu ada yang belum paham maksudnya. Bahkan siapapun orangnya meski pelaku neoliberalisme selalu berkedok menuding bahwa orang lain adalah neoliberal yang harus dienyahkan di bumi Indonesia karena akan menyengsarakan rakyat. Bahkan apapun teori ekonomi kalau ada kalimat privatisasi, konglomerasi dan sebagainya pasti akan dihujami tuduhan praktek neoliberal yang menyengsarakan rakyat. Apakah sebenarnya paham liberlisme itu ? Bagaimanakah penerapan ekonomi neoliberal itu ? Apakah memang benar Liberalisme merugikan rakyat Indonesia dan neoliberal adalah musuh rakyat ?
Paham Liberalisme
Dalam ilmu-ilmu sosial dikenal dua pengertian mengenai ideologi, yaitu ideologi secara fungsional dan secara struktural. Ideologi secara fungsional diartikan sebagai seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama; atau tentang masyarakat dan negara yang dianggap paling baik, sedangkan ideologi secara struktural diartikan sebagai sistem pembenaran, seperti gagasan dan formula politik atas setiap kebijakan dan tindakan yang diambil oleh penguasa. Menurut pendekatan struktural konflik, kelas yang memiliki sarana produksi materiil dengan sendirinya memiliki sarana produksi mental, seperti gagasan, budaya dan hukum. Gagasan kelas yang berkuasa di manapun dan kapanpun merupakan gagasan yang dominan. Gagasan, budaya, hukum dan sebagainya sadar atau tidak merupakan pembenaran atas kepentingan materiil pihak yang memiliki gagasan yang dominan. Sistem pembenaran ini disebut ideologi.
Dalam bahasa Indonesia, ideologi sering disebut sebagai “dasar negara” atau “falsafah negara”, di Malaysia disebut “rukun negara”. Karena memberikan pengesahan kepada pemerintah, ideologi membenarkan adanya status quo. Tetapi ideologi juga bisa digunakan oleh pihak lainnya (pihak pemberontak, pihak oposisi atau pihak reformasi) guna menyalahkan pemerintahan, menyerang kebijakan pemerintah sampai kepada mengubah status quo. Sekalipun pemerintah bisa menindas warga negaranya dengan menggunakan dalih ”hak ketuhanan raja” atau ”kehendak sejarah”, tetapi pihak lainnya bisa membenarkan tindakan kekerasan mereka dengan bersandar pada prinsip ”hak-hak dasar” atau ”kehendak yang kuasa”. Ideologi yang dianggap sarat dengan kepentingan kelas pekerja bukan tidak bisa digunakan untuk menentang kekuasaan negara borjuis, selain juga untuk mensahkan kekuasaan diktator terhadap kelas pekerja. Ideologi dalam arti fungsional dapat digambarkan secara singkat dengan contoh berikut. Di Amerika Serikat, menjamin keamanan nasional berarti peningkatan produksi persenjataan yang bermakna pula menguntungkan industri-industri senjata. Peningkatan pertumbuhan pertanian berarti peningkatan produksi pupuk dan bahan kimia yang lain, yang berarti menguntungkan industri-industri pupuk dan bahan kimia. Demi stabilitas nasional di negara-negara berkembang acap kali berarti mengurangi kebebasan politik warga negara. Ideologi dalam arti fungsional digolongkan secara tipologi dengan dua tipe, yakni ideologi yang doktriner dan ideologi yang pragmatis.
Liberalisme berkaitan dengan kata Libertas (bhs. latin) yang artinya kebebasan, dan Liberalisme mencakup banyak aliran yang berbeda artinya di bidang politik, ekonomi dan keagamaan, yang berpangkal tolak pada kebebasan orang-perorangan terhadap kekuasaan apapun (A. Heuken SJ: Ensiklopedi Gereja). Liberalisme dapat dimengerti sebagai (1) tradisi politik (2) filsafat politik dan (3) teori filsafat umum, mencakup teori nilai, konsepsi mengenai orang dan teori moral sama halnya dengan filsafat politik. … Di Perancis, liberalisme lebih dekat dikaitkan dengan sekularisme dan demokrasi (Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2003).
Heuken lebih lanjut menyebut liberalisme dasarnya adalah pendangan Zaman-Pencerahan, bahwa manusia tidak hanya berhak mengusahakan masyarakat yang bebas dari kekuasaan negara, yang kurang mengindahkan hak-hak azasi manusia, melainkan juga membebaskan diri dari kuasa rohani yang tidak mendapat mandat dari umat. Kuasa dari atas ditolak.
Mirip dengan liberalisme, Libertinisme juga berkaitan dengan Libertas. Dalam Alkitab ada disebut orang libertini yang berarti orang Yahudi yang telah bebas dari penjara Romawi dan memiliki sinagoga sendiri di Yerusalem (Kis.6:9), tetapi dalam pengertian umum, libertin adalah orang yang membebaskan diri dari kekangan, terutama norma sosial dan agama, dan moral (Wikipedia).
Suatu ideologi dapat digolongkan doktriner apabila ajaran-ajaran yang terkandung dalam ideologi itu dirumuskan secara sistematis dan terinci dengan jelas, diindoktrinasikan kepada warga masyarakat, dan pelaksanaannya diawasi secara ketat oleh aparat partai atau aparat pemerintah. Biasanya sistem nilai atau ideologi yang diperkenankan hidup dalam masyarakat seperti ini hanyalah ideologi yang doktriner tersebut. Akan tetapi, apabila ajaran-ajaran yang terkandung dalam ideologi tersebut tidak dirumuskan secara sistematis dan terinci, melainkan dirumuskan secara umum (prinsip-prinsipnya saja) maka ideologi tersebut digolongkan sebagai ideologi pragmatis. Dalam hal ini, ideologi itu tidak diindoktrinasikan, tetapi disosialisasikan secara fungsional melalui kehidupan keluarga, sistem pendidikan, sistem ekonomi, kehidupan agama dan sistem politik. Atas dasar itu, pelaksanaannya tidak diawasi oleh aparat partai atau pemerintah, melainkan dengan pengaturan kelembagaan. Maksudnya, siapa saja yang tidak menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi tidak akan hidup secara wajar. Liberalisme merupakan salah satu contoh ideologi pragmatis. Biasanya tidak satu ideologi saja yang diperkenankan berkembang dalam masyarakat ini, tetapi ada satu yang dominan.
Liberalisme
Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Liberalisme menghendaki adanya, pertukaran gagasan yang bebas, ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, dan suatu sistem pemerintahan yang transparan, dan menolak adanya pembatasan terhadap pemilikan individu. Oleh karena itu paham liberalisme lebih lanjut menjadi dasar bagi tumbuhnya kapitalisme.Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama mendasarkan kebebasan mayoritas.
Liberalisme sebagai suatu ideologi pragmatis muncul pada abad pertengahan di kalangan masyarakat Eropa. Masyarakat Eropa pada saat itu secara garis besar terbagi atas dua, yakni kaum aristokrat dan para petani. Kaum aristokrat diperkenankan untuk memiliki tanah, golongan feodal ini pula yang menguasai proses politik dan ekonomi, sedangkan para petani berkedudukan sebagai penggarap tanah yang dimiliki oleh patronnya, yang harus membayar pajak dan menyumbangkan tenaga bagi sang patron. Bahkan di beberapa tempat di Eropa, para petani tidak diperkenankan pindah ke tempat lain yang dikehendaki tanpa persetujuan sang patron (bangsawan). Akibatnya, mereka tidak lebih sebagai milik pribadi sang patron. Sebaliknya, kesejahteraan para penggarap itu seharusnya ditanggung oleh sang patron. Industri dikelola dalam bentuk gilde-gilde yang mengatur secara ketat, bagaimana suatu barang diproduksi, berapa jumlah dan distribusinya. Kegiatan itu dimonopoli oleh kaum aristokrat. Maksudnya, pemilikan tanah oleh kaum bangsawan, hak-hak istimewa gereja, peranan politik raja dan kaum bangsawan, dan kekuasaan gilde-gilde dalam ekonomi merupakan bentuk-bentuk dominasi yang melembaga atas individu. Dalam konteks perkembangan masyarakat itu muncul industri dan perdagangan dalam skala besar, setelah ditemukan beberapa teknologi baru. Untuk mengelola industri dan perdagangan dalam skala besar-besaran ini jelas diperlukan buruh yang bebas dan dalam jumlah yang banyak, ruang gerak yang leluasa, mobilitas yang tinggi dan kebebasan berkreasi. Kebutuhan-kebutuhan baru itu terbentur pada aturan-aturan yang diberlakukan secara melembaga oleh golongan feodal. Yang membantu golongan ekonomi baru terlepas dari kesukaran itu ialah munculnya paham liberal.
Liberalisme tidak diciptakan oleh golongan pedagang dan industri, melainkan diciptakan oleh golongan intelektual yang digerakkan oleh keresahan ilmiah dan artistik umum pada zaman itu. Keresahan intelektual tersebut disambut oleh golongan pedagang dan industri, bahkan hal itu digunakan untuk membenarkan tuntutan politik yang membatasi kekuasaan bangsawan, gereja dan gilde-gilde. Mereka tidak bertujuan semata-mata untuk dapat menjalankan kegiatan ekonomi secara bebas, tetapi juga mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Masyarakat yang terbaik (rezim terbaik), menurut paham liberal adalah yang memungkinkan individu mengembangkan kemampuan-kemampuan individu sepenuhnya. Dalam masyarakat yang baik, semua individu harus dapat mengembangkan pikiran dan bakat-bakatnya. Hal ini mengharuskan para individu untuk bertanggung jawab pada segala tindakannya baik itu merupakan sesuatu untuknya atau seseorang. Seseorang yang bertindak atas tanggung jawab sendiri dapat mengembangkan kemampuan bertindak. Menurut asumsi liberalisme inilah, John Stuart Mill mengajukan argumen yang lebih mendukung pemerintahan berdasarkan demokrasi liberal. Dia mengemukakan tujuan utama politik ialah mendorong setiap anggota masyarakat untuk bertanggung jawab dan menjadi dewasa. Hal ini hanya dapat terjadi manakalah mereka ikut serta dalam pembuatan keputusan yang menyangkut hidup mereka. Oleh karena itu, walaupun seorang raja yang bijaksana dan baik hati, mungkin dapat membuat putusan yang lebih baik atas nama rakyat dari pada rakyat itu sendiri, bagaimana pun juga demokrasi jauh lebih baik karena dalam demokrasi rakyat membuat sendiri keputusan bagi diri mereka, terlepas dari baik buruknya keputusan tersebut. Ideologi liberalisme ini dianut di Inggris dan koloni-koloninya termasuk Amerika Serikat.
Adapun, ciri-ciri ideologi liberal sebagai berikut :
- Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang lebih baik.
- Anggota masyarakat memiliki kebebasan intelektual penuh, termasuk kebebasan berbicara, kebebasan beragama dan kebebasan pers.
- Pemerintah hanya mengatur kehidupan masyarakat secara terbatas. Keputusan yang dibuat hanya sedikit untuk rakyat sehingga rakyat dapat belajar membuat keputusan untuk diri sendiri.
- Kekuasaan dari seseorang terhadap orang lain merupakan hal yang buruk. Oleh karena itu, pemerintahan dijalankan sedemikian rupa sehingga penyalahgunaan kekuasaan dapat dicegah. Pendek kata, kekuasaan dicurigai sebagai hal yang cenderung disalahgunakan, dan karena itu, sejauh mungkin dibatasi.
- Suatu masyarakat dikatakan berbahagia apabila setiap individu atau sebagian besar individu berbahagia. Walau masyarakat secara keseluruhan berbahagia, kebahagian sebagian besar individu belum tentu maksimal. Dengan demikian, kebaikan suatu masyarakat atau rezim diukur dari seberapa tinggi indivivu berhasil mengembangkan kemampuan-kemampuan dan bakat-bakatnya.
Kebebasan adalah tujuan tersendiri bagi liberalis. Tanpa kebebasan manusia tidak dapat hidup dan masyarakat tidak dapat berfungsi. Karena itu gagasan kebebaan di setiap masa dan tempat selalu memainkan peran. Tradisi-tradisi hukum alam di jaman kuno dan abad pertengahan pun telah menuntut ruang kebebasan yang terjamin dari cengkeraman kekuasaan yang masih mengutamakan masyarakat di atas individu.
Dalam artikel ini Mahmod Radhi menjelaskan mengenai makna kata liberal dan sejarah kemunculan konsep ini. Secara menarik Mahmod Radhi melangkah menjelaskan konsep ini dari sebuah perjalanan sejarah kedalam situasi kontekstual, disertai berbagai contoh dan pengandaian yang cukup jelas.
Meskipun bahasa Melayu yang dipergunakan adalah dialek Malaysia namun tak ada salahnya pula bagi kita di Indonesia membacanya, menjadikan sebuah perbandingan yang berharga. Bagi yang tertarik dapat mengklik alamat situs berikut inihttp://www.odc.org.my/page.php?id=ph02/06&product_id=304 atau mendownload dokumen tersebut yang telah disediakan oleh Kedai Kebebasan dibawah ini
Baru di era Aufklärung (jaman pencerahan), kebebasan individu menjadi premis yang dapat melegitimasi tatanan hukum dengan sebenarnya. Dalam bukunya “Two Treatises on Government” (1690) John Locke pernahmerumuskan bahwa manusia adalah miliknya sendiri. Negara didasari pada suatu perjanjian yang dijalani manusia dalam rangka melindungi hak-hak mereka atas kebebasan, hidup dan milik……..
Mirip dengan liberalisme, Libertinisme juga berkaitan dengan Libertas. Dalam Alkitab ada disebut orang libertini yang berarti orang Yahudi yang telah bebas dari penjara Romawi dan memiliki sinagoga sendiri di Yerusalem (Kis.6:9), tetapi dalam pengertian umum, libertin adalah orang yang membebaskan diri dari kekangan, terutama norma sosial dan agama, dan moral (Wikipedia).
libertinisme atau faham yang dianut orang libertin. Seorang tokohnya, Theophile de Viau diusir duakali dari kota Paris karena pandangannya yang atheistik dan hidup berfoya-foya, dalam sajak yang ditulisnya di The Satirical Parnassus ia tidak menghiraukan nilai moral dan seksual, dan dalam banyak sajaknya sama halnya dengan sesama libertin Marc Antoine de Gerard Saint Amant, mereka menentang ajaran agama dan konvensi moral masyarakat. Libertin menyiapkan jalan bagi abad berikutnya yang menularkan roh kritik yang dilandaskan pada logika (Encyclopedia Encarta, 2006).
Dari pengertian demikian, tepat seperti yang dikatakan oleh Verkuyl bahwa manusia berada di antara libertinisme dan farisiisme (lihat artikel Adat Istiadat). Disatu pihak ia ditarik kecenderungan keterbukaan dengan moralitas bebasnya, dipihak lain ia ditarik kecenderungan ketertutupan dengan moralitas kakunya.
Liberalisme, sekalipun bisa diartikan macam-macam dalam berbagai bidang yang berbeda, memiliki pengertian sendiri dalam teologi. Liberalisme teologi adalah salah satu pemikiran agama yang menekankan penyelidikan agama yang berlandaskan norma diluar otoritas tradisi gereja. Liberalisme adalah keinginan untuk dibebaskan dari paksaan kontrol dari luar dan secara konsekwen bersangkutan dengan motivasi dari dalam diri manusia.
Dalam Encyclopaedia Britannica, liberalisme dapat dibagi dalam tiga masa, yaitu: masa pertama dari abad-17 sampai pertengahan abad-18; masa kedua dari pertengahan abad-18 sampai akhir abad-19; dan masa ketiga dari pertengahan abad-19 sampai abad-20.
Masa Pertama, liberalisme teologi biasa dikaitkan dengan filsuf dan matematikawan Rene Descartes. Masa ini juga disebut sebagai masa Rasionalisme dan Pencerahan. Descartes menekankan cara berfikir yang berpengaruh sampai abad-19 dan meletakkan dasar perkiraan kesadaran modern, yaitu: (1) keyakinan akan pikiran manusia, (2) mengutamakan manusia sebagai pribadi, (3) imanensi Tuhan, dan (3) keyakinan bahwa sifat alami manusia bisa dan selalu diperbaiki.
Masa Kedua, liberalisme teologi dikenal sebagai masa Romantisme yang diawali dengan disadarinya keunikan individu dan konsekwensinya mengenai pentingnya pengalaman individu sebagai sumber khusus mengenai arti yang tidak terbatas, ini memberi nilai lebih pada kepribadian dan kreativitas individu melebihi semua nilai lain. Jean-Jacques Rousseau dan Immanuel Kant adalah arsitek dibelakang liberalisme romantis ini.
Dalam teologi, Friedrich Schliermacher, dapat disebut sebagai bapak teologi protestan modern. Schleiermacher mengerti agama sebagai perasaan yang intuisif kebergantungan kepada yang kekal, atau Tuhan, yang dipercayainya sebagai pengalaman universal dari kemanusiaan. Ini menekankan pengalaman beragama daripada dogma agama. Teolog liberal berusaha untuk mendamaikan agama dengan ilmu pengetahuan dan masyarakat modern, dan mereka mengacu pada tehnik kritik historis atas Alkitab dalam usaha untuk membedakan Yesus Sejarah dan ajarannya dari dari apa yang mereka anggap sebagai mitologi dan dihasilkan oleh dogma.
Bila semula liberalisme teologi masih memberi tempat pada yang supranatural, lama-kelamaan perkembangan liberalisme mengarah pada penekanan Yesus sebagai sekedar manusia biasa. Albrecht Ritchl menolak aspek supranatural dari hidup Yesus dan menafsirkan mujizat Yesus dalam kerangka ajaran idealisme Hegel, dan menjadikan etika sebagai jantung agama. Pengikut Ritchl Adolf von Harnack menyebut Yesus adalah tokoh manusia yang memiliki damai dan kerendahan hati yang dapat menguatkan dan membawa damai pada orang lain. Kedudukannya sebagai pengajar di Berlin sempat dipersoalkan oleh gereja Jerman karena pandangannya yang liberal mengenai mujizat Alkitab termasuk soal sifat sejarah kebangkitan Yesus.
Masa ketiga, perkembangan liberalisme sekalipun sempat direm sejenak oleh Karl Barth dengan Neo-Orthodoxinya, makin menjauhkan agama dari aspek transendennya. Teologi Liberal masa ketiga ini juga sering disebut sebagai
Pada masa ketiga ini berkembang studi Yesus Sejarah yang menafikan sifat supra-natural Yesus. F.C. Baur memperkenalkan pendekatan yang anti-theistic dan yang supranatural dalam hubungan dengan sejarah kekristenan. D.F. Strauss (Life of Jesus) menolak sama sekali dasar sejarah elemen supranatural dalam Injil. J.E. Renan (Life of Jesus) juga senada dengan Strauss dan lebih jauh menyebut Yesus terobsesi semangat revolusi, penganiayaan dan mati syahid. Albert Schweitzer (The Quest of the Historical Jesus) disatu sisi menyalahkan Strauss dan Renan karena mengabaikan aspek eschatologis tentang kerajaan Allah dan akhir zaman, tetapi disisi lain ia meneruskan pandangan mereka karena Yesus ditampilkan sebagai politikus agama yang pemarah yang membuat kesalahan besar dalam cara hidupnya. Arthur Drews (The Christ Myth) bahkan lebih jauh memperlakukan seluruh Injil sebagai cerita fiksi. Faham Yesus Sejarah ini diteruskan oleh Jesus Seminar sejak 1985.
Kecenderungan menafikan yang supranatural disebut juga sebagai (Gereja dan Aliran Modern), Saeculum adalah pandangan serta sikap hidup yang menanggalkan yang waktuwi itu dari yang abadi, yang menanggalkan yang profan dari yang sakral. … Sedang Sekularisme ialah aliran dalam kultur, dalam mana seluruh perhatian dituntut untuk dunia ini dan untuk zaman ini dengan mengucilkan Allah serta Kerajaan-Nya. Encyclopedia Wikipedia menyebut Sekularitas adalah keberadaan yang bebas dari kwalitas keagamaan dan spiritualitas, dan Sekularisme yang terkait masa Pencerahan menegaskan tentang kebebasan agama dan bebas dari agama, dalam negara yang netral dalam hal menyangkut kepercayaan, dan tidak memberikan hak khusus atau subsidi kepada agama. Britannica menyebut Sekularisme sebagai gerakan dalam masyarakat yang ditujukan untuk menjauhkan diri dari yang diluar dunia dan kembali ke bumi.
Dalam hubungan dengan Liberalisme, Arend Theodoor van Leeuwen (Christianity in World History) menyebut Liberalisme adalah produk yang disekularisasikan dari peradaban Kristen. Dari ketiga istilah Liberalisme, Libertinisme dan Sekularisme, kita menjumpai nafas yang sama yang mendasari, yaitu membebaskan diri dari yang Aeternum dan hanya berurusan dengan yang Saeculum. Semangat sekularisme sudah terlihat dalam pemikiran Friedrich Nietzsche yang dikenal sebagai pelopor Teologi Kematian Tuhan (Death of God Theology). Ia bertitik tolak menafikan Tuhan yaitu pada Tuhan yang tidak ada, karena itu Manusia harus menentukan jalan hidupnya sendiri.
Dalam Rudolf Bultman kita melihat skeptikisme rasional dibentuk oleh existensialisme berusaha mendikotomikan Yesus Sejarah dari Yesus Iman dan menolak konsep the three deckers universe (bumi surga neraka) yang disebutnya mitos. Seluruh etos dan pemikiran Perjanjian Baru adalah mitos. Hal-hal yang bersifat transendental dipandang sebagai mitologi dan harus dimengerti secara existensial yang subyektip. Tugas manusia adalah mendemitologisasikan ajaran PB itu. Paul Tillich mengemukakan bahwa Injil harus ditelanjangi dari sifat non-existensialnya dan terbuka bagi istilah-istilah yang bermakna bagi manusia modern. Baginya, Tuhan adalah The Ground of all Being.
Teolog sekular selanjutnya lebih radikal menafikan yang supranatural. Dietrich Bonhoeffer dalam tulisan awalnya cukup konservatif dan kristosentris, namun pandangannya berubah radikal ketika ia dipenjara karena konspirasi membunuh Hitler. Dalam Letters from Prison ia menekankan kekristenan tanpa agama dan bahwa dunia sudah dewasa (world come of age) dan kekristenan telah kehilangan sifat keagamaannya. Manusia sudah dewasa sehingga tidak lagi perlu bergantung kepada yang disebut Allah. Lebih jauh John A.T. Robinson (Honest to God) mulai dengan keyakinan bahwa gagasan Allah di atas sana telah kuno, tidak bermakna lagi dan salah. Manusia dewasa harus meninggalkan konsep proyeksi figur ayah ke angkasa yang dipercaya itu.
Pada tahun 1960-an konsep Nietzche mengenai Kematian Allah bangkit kembali di kalangan beberapa teolog radikal. Paul van Buren (The Secular Meaning of the Gospel) mengungkapkan gagasan radikalnya, dan dari judul bukunya kita dapat mengetahui kemana arah radikalisme Gabriel Vahanian (The Death of God: The Culture of Our Post-Christian Era). Harvey Cox (The Secular City) menyinggung tema yang sama. Di kalangan Roma Katolik, Robert Adolfs (The Grave of God) sampai menerima kutukan dari masyarakat disekitarnya. Yang lebih radikal lagi kita temukan dalam tulisan Thomas J.J. Altizer (The Gospel of Christian Atheism).
Kelihatannya ada gejala menarik untuk diamati sebagai Masa Ke-empat yang bisa ditambahkan dalam tiga pembagian yang disebut Britannica, yaitu pada masa tahun 1960-an dibalik gencarnya Liberalisme Radikal yang bukan saja menafikan Allah tetapi menganggap Allah telah mati dan sudah dikubur, dunia mengalami kekosongan batin/rohani yang luar biasa yang dikenal dengan Era Posmo (Postmodernism) dimana ketika Modernisme tidak lagi memadai terjadi pencarian manusia kembali akan nilai-nilai transendental yang mereka cari dalam agama-agama mistik Timur (New Age). Di kalangan teolog Liberal ada juga usaha untuk kembali membuka diri kepada hal-hal yang dulu dinafikan, hanya sayangnya mereka tidak kembali kepada supranaturalisme Alkitab tetapi lari kepada mistikisme/gnostikisme yang dahulu dikritik oleh Bultman sebagai yang harus didemitologisasikan.
Bila semula Liberalisme mempunyai andil memperbaiki beberapa kekeliruan Konservativisme ekstrim, ia tidak memberi jalan keluar yang lebih baik, malah nafas kebebasan itu berangsur-angsur membawa manusia kepada peninggian diri dan akhirnya makin menafikan yang kekal dan Tuhan dalam bentuk Liberalisme yang makin ekstrim.
Wajah ganda liberalisme
Selama ini Alexis de Tocqueville lebih banyak dikenal melalui karya briliannya tentang demokrasi di Amerika. Padahal, sosok yang sama juga menjadi arsitek kolonialisme Perancis di Aljazair. John Stuart Mill adalah pembela kebebasan individu dari ancaman tirani mayoritas. Namun, orang yang sama juga terlibat aktif dalam kolonialisme Inggris di India.
Tocqueville adalah pemikir liberal Perancis yang lahir dari keluarga aristokratik. Komitmennya pada liberalisme membuat ia resah demi menyaksikan situasi Perancis pada masanya, yang mengalami demokrasi sosial yang radikal karena berhasil menghancurkan relasi feodal ancient regime melalui Revolusi Perancis. Akan tetapi, demokrasi sosial di Perancis penuh pergolakan karena tidak dibarengi dengan kesadaran mengembangkan demokrasi politik. Keresahan inilah yang yang mendorong Tocqueville menulis Democracy in America. Di mata Tocqueville, Perancis perlu belajar dari demokrasi di Amerika karena Amerika berhasil mengelola demokrasi sosial dengan mengembangkan demokrasi politik. Untuk menyembuhkan pelbagai penyakit demokrasi, kata Tocqueville, obat yang paling mujarab adalah ”tambah demokrasi” (more democracy).
Lantas, kenapa Tocqueville mendukung imperialisme? Saya kira ini terkait dengan sosok pribadinya yang menghuni dua dunia: dunia liberal dan aristokrasi. Tocqueville sendiri pernah mengaku sebagai ”liberal by mind, aristocrat by heart”. Meskipun menegaskan pentingnya demokrasi, Tocqueville sebenarnya meratapi gejala hilangnya keagungan makna politik sebagai konsekuensi dari demokrasi massa. Ini ditandai dengan merosotnya patriotisme warga Perancis. Mereka menjadi semakin apolitis dan hanyut dalam kultur kapitalisme. Tocqueville lantas melihat kolonialisme Perancis sebagai pertualangan baru yang bisa menaikkan patriotisme dan mendongkrak kembali kebesaran Perancis. Karena itulah reputasi Perancis sebagai bangsa yang besar sangat bergantung pada kelanjutan kolonisasinya atas Afrika Utara.
Sebenarnya sikap Tocqueville ini bertentangan dengan pendiriannya sendiri dalam Democracy in America. Dalam buku tersebut, Tocqueville dengan pedas mencela kaum kulit putih yang merebut tanah Indian dan membawa mereka menuju kepunahan. Di mata Tocqueville, kesewenang-wenangan terhadap Indian dan perbudakan terhadap orang hitam adalah titik di mana spirit demokrasi absen di Amerika. Dengan kata lain, kepekaannya terhadap kebebasan dan kesetaraan tampak kuat mewarnai penggambaran Tocqueville tentang Amerika. Ironisnya, hal semacam ini tak terjadi ketika ia berbicara tentang Aljazair. Di sini liberalisme Tocqueville kalah oleh sentimen nasionalismenya.
Di sisi lain, John Stuart Mill adalah pemikir liberal Inggris yang mendukung dan terlibat dalam imperialisme negerinya atas India karena dia percaya tatanan imperial merupakan instrumen yang diperlukan untuk membawa bangsa terbelakang mencapai kemajuan. Argumen Mill bertolak dari klaim superioritas Inggris yang membawa misi pemberadaban. Dalam pandangan Mill, untuk mencapai kemajuannya, India tidak mungkin dibiarkan berdemokrasi sendiri karena pasti akan kacau. Demokrasi dan kebebasan hanya bisa berjalan baik dalam masyarakat dengan kultur dewasa seperti Inggris. Dalam pandangan Mill, imperialisme perlu karena itulah sarana yang secara bertahap akan membawa tahap ”kultur kanak-kanak” India ke tahap ”kultur dewasa”.
Pada tingkat tertentu, argumen Mill ini punya kemiripan dengan doktrin imperialisme demokratik ala neokons. Paling tidak, ini ditegaskan Stanley Kurtz, salah seorang pemikir neokons, yang menyarankan rezim Bush mengacu desain yang ditawarkan Mill tentang imperialisme Inggris di India sebagai model bagi pengelolaan Irak (Policy Review, 2003).
Bahwa Tocqueville dan Mill begitu antusiasnya mendukung proyek imperial negaranya masing-masing jelas merupakan suatu skandal yang menampar muka liberalisme. Akan tetapi, liberalisme imperial mereka bertentangan secara diametral dengan arus utama pemikiran liberal abad ke-18 yang sangat keras menghujat imperialisme. Di sini saya ingin menyebut dua nama penting: Edmund Burke dan Denis Diderot
Edmund Burke (1729-1797) adalah negarawan dan pemikir politik Inggris yang dikenal sebagai bapak konservatisme. Perlu dicatat, konservatisme di sini tidak mengacu pada makna kolot dan sikap serba tertutup, melainkan pada kecenderungan untuk memperjuangkan ide-ide liberalisme tanpa melalui revolusi, yakni sambil tetap menjaga tradisi dan institusi sosial politik yang ada. Karena itulah Burke mengkritik keras radikalisme Revolusi Perancis yang menurutnya kebablasan dalam meruntuhkan tatanan lama dan mendewakan rasionalitas. Lepas dari bias pemihakan Burke pada tatatan aristokrasi dalam konservatismenya, tendensinya mempertahankan dan merawat (to conserve), atau dalam bahasa NU ”muhafadzoh ala al qadim al-shalih”, menjadikannya skeptis terhadap imperialisme Inggris.
Menurut Burke, ekspansi imperial Inggris atas India dan Irlandia membisukan rasa keadilan masyarakat Inggris. Rasa keadilan, menurut Burke, mengandaikan adanya kemampuan untuk bersimpati terhadap penderitaan orang lain yang menjadi korban. Kemampuan ini akan melemah manakala antara kita dan sang korban terbentang suatu jarak. Ekspansi imperial adalah suatu jarak yang menyebabkan rasa keadilan masyarakat Inggris tidak terusik dengan penderitaan koloninya. Ini memicu munculnya apa yang oleh Burke disebut sebagai geographical morality dalam imperialisme. Yaitu situasi di mana bangsa Inggris merasa bahwa nilai-nilai kebebasan dan keadilan yang mereka junjung tinggi hanya berlaku dalam cakupan geografi mereka sendiri, dengan mengecualikan geografi koloninya. Inilah yang menjelaskan kenapa The East India Company yang menjadi agen resmi Kerajaan Inggris di India bisa bertindak sewenang-wenang. Ketidakadilan semacam ini secara inheren tertanam dalam relasi kolonial. Burke mengkritik imperialisme karena gairah penaklukan akan membawa efek destruktif bagi manusia Eropa.
Namun, hujatan yang lebih pedas terhadap imperialisme sebenarnya datang dari Denis Diderot (1713-1784). Filsuf dan sastrawan Perancis ini merupakan salah satu eksponen utama Pencerahan yang percaya pada universalisme kemanusiaan, yang ia sebut sebagai the general will of humanity. Akan tetapi, tidak seperti yang disangkakan oleh kritik posmodernis, pertautannya dengan universalime tidak membawanya jatuh pada penaklukan terhadap yang lain. Karena menurut Diderot, ekspresi dari kehendak umum kemanusiaan tersebut dalam kenyataannya tidak pernah seragam dan tak pernah bisa diperbandingkan. Ini jelas tecermin dalam keragaman budaya di dunia.
Kritik Diderot terhadap imperialisme sesungguhnya bertolak dari universalisme semacam ini. Diderot dengan demikian menampik klaim superioritas Eropa yang merasa berhak melakukan ekspansi imperial atas nama pemberadaban, seperti dianut Mill di kemudian hari. Diderot bahkan menyebut tatanan imperial sebagai evils of empire. Yang menarik, Diderot melihat imperialisme modern terkait erat dengan perdagangan. Pada titik ini Diderot menyebal dari kecenderungan utama pemikir Pencerahan yang umumnya menyambut perdagangan sebagai aktivitas yang akan mengakhiri perang dan membawa pada perdamaian. Diderot tidak percaya dengan optimisme semacam ini. Karena yang dia lihat, kombinasi antara ambisi penaklukan dan ketamakan para pedagang justru semakin mendorong negara-negara Eropa memperluas imperium mereka. Yang disesalkan Diderot, kombinasi semacam ini pada gilirannya melemahkan spirit republikanisme di tanah Eropa. Diderot kemudian menyerukan agar kaum pribumi yang terjajah bangkit melawan imperialisme: ”Jangan bicara dengan bahasa keadilan karena mereka pasti tidak mau mendengarkan. Bicaralah kepada mereka dengan anak panah dan kapakmu.”
Resistansi antikolonial yang keras dari Diderot ini bisa dibilang mengejutkan karena sikap semacam inilah yang kemudian dominan dalam gerakan melawan penjajahan di Dunia Ketiga di awal abad ke-20. Betapa dekatnya pernyataan Diderot tersebut dengan ungkapan Jean Paul Sartre dalam pengantarnya untuk buku Franz Fanon, Wretched of the Earth, sebuah buku yang banyak mengilhami gerakan antikolonialisme Dunia Ketiga. Kata Sartre, ”dalam revolusi melawan kolonialisme, menembak mati seorang penjajah Eropa sama artinya dengan membunuh dua burung dengan satu batu sekaligus, yakni membunuh sang penjajah dan sang terjajah. Sang penjajah mati, dan sang terjajah menjelma menjadi orang bebas.”
Pertanyaannya kemudian, mengapa corak anti-imperialisme yang begitu dominan dalam diskursus liberalisme abad ke-18 tiba-tiba bergeser menjadi pro-imperialisme di abad ke-19? Jennifer Pitts menawarkan argumen menarik: naiknya pamor liberalisme imperial sesungguhnya lebih banyak berkaitan dengan konteks Eropa abad ke-19 yang memang sedang dalam puncak kejayaannya secara ekonomi, politik, dan militer. Dengan kekuasaan imperiumnya, Eropa tampil sebagai sang hegemon. Situasi semacam ini pada gilirannya menyebabkan para intelektual Eropa saat itu cenderung melihat imperialisme sebagai taken for granted.
Selain itu, menarik untuk dicatat bahwa di abad ke-19, penerimaan imperialisme bukanlah menjadi monopoli kaum liberal. Meskipun dasar argumennya berbeda dengan kaum liberal, Karl Marx dan Frederich Engels juga menerima kolonialisme sebagai suatu keniscayaan historis. Bagi Marx, imperialisme Inggris di India justru diperlukan untuk mengubah moda produksi di India yang stagnan dan terbelakang menjadi moda produksi kapitalis modern, untuk kemudian bergerak menuju sosialisme. Melalui kolonialisme, India bisa masuk dalam arah sejarah yang progresif. Sedangkan bagi Engels, penaklukan Perancis di Afrika adalah fakta yang mesti diterima sebagai jalan sejarah Afrika menuju kemajuan.
Demikianlah, dengan menengok sejarah liberalisme, kita tahu dalam soal imperialisme, liberalisme menampilkan wajah ganda. Kita bisa menemukan sosok Tocqueville yang pro tapi juga Diderot yang anti. Artinya, imperialisme bukanlah merupakan konsekuensi logis dari liberalisme. Hubungan keduanya tidak bersifat niscaya.
Atavisme hasrat imperial
Joseph Schumpeter dalam satu esainya tentang imperialisme menyatakan bahwa hasrat penaklukan dan imperialisme di zaman modern sesungguhnya adalah suatu gejala atavisme: ia merupakan pemunculan kembali dari gairah kuno yang berakar pada dunia lama, dunia praliberal yang masih bersemayam dalam diri para penguasa Barat modern.
Dalam kasus imperialisme demokratik yang menjadi doktrin neokons, saya kira Schumpeter benar. Para pendukung imperialisme demokratik memang hendak membangkitkan kembali imperialisme demokratik Athena. Salah satu rujukan favorit mereka adalah pidato Pericles saat pemakaman tentara Athena yang gugur dalam perang Peloponnesian antara Athena dan Sparta (431-404 SM). Thucydides, sejarawan Athena yang merekam perang itu dalam bukunya, A History of Peloponnesian War, melukiskan bagaimana Pericles mengingatkan kebesaran Athena untuk membangkitkan patriotisme bangsanya. Athena dalam versi Pericles adalah negara bebas yang demokratis dan menjunjung supremasi hukum, peradaban kosmopolitan yang menjalin perdagangan dengan bangsa lain. Athena adalah peradaban yang menjadi model bagi dunia dan karena itu punya wewenang moral untuk membangun imperium.
Kaum neokons menggemari pidato Pericles karena di mata mereka, imperialisme demokratik Amerika adalah versi modern dari imperialisme demokratik Athena. Hanya saja, kaum neokons lupa bahwa dalam perang Peloponnesian, imperialisme demokratik Athena akhirnya kalah oleh republik isolasionis Sparta. Barangkali Amerika tidak akan bernasib seperti Athena yang kalah. Amerika mungkin tetap digdaya secara militer dalam perang Irak. Tapi, demokrasi yang disebarkan melalui perang dan penaklukan akan sulit menang. Setelah tiga tahun invasi Amerika, Irak bukannya memanen demokrasi, melainkan bom bunuh diri dan ancaman perang saudara. Benjamin Constant, pemikir liberal anti-imperialisme yang hidup satu generasi sebelum Tocqueville suatu kali pernah berkata, ”Ide-ide liberal tidak bisa dipaksakan dari luar melalui penaklukan.” Pernyataan Constant ini masih berlaku sampai sekarang.
Perdebatan Ekonomi neoliberal dan ekonomi kerakyatan.
Ekonomi neoliberal dan ekonomi kerakyatan. Kata-kata neoliberal dan ekonomi kerakyatan makin populer ketika SBY sebagai Capres memilih Boediono sebagai Cawapresnya yang mengundang banyak perdebatan di masyarakat dan juga merupakan janji pasangan Megawati dan Prabowo yang akan menerapkan ekonomi kerakyatan sehingga keduanya saling bertentangan. Ekonomi neoliberal merupakan proses ekonomi yang meminimalisir bahkan menghilangkan peran negara dalam kehidupan ekonomi dan membentuk adanya pasar bebas tanpa intervensi pemerintah serta melakukan privatisasi dan membuka pintu lebar-lebar bagi FDI (Foreign Direct Invesment). Neoliberal merupakan perkawinan aliran ekonomi neoklasikyang menganut paham market primacydisatu sisi, dengan mazhab politik Libertarian-Austria yang mengusung kebebasan dan kemerdekaan individu di sisi lain.Sedangkan ekonomi kerakyatan menurutnya sistem yang berorientasi kepada rakyat jelata, baik disisi konsumsi dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar dan pokok, maupun disisi produksi dengan berpihak pada usaha kecil dan menengah.
Sedangkan beberapa ahli lain mengatakan bahwa ekonomi neoliberal sulit diartikan karena pada saat ini kata-kata neoliberal ini sudah tidak dipakai lagi oleh para ekonom terkemuka dan sudah berganti istilah seperti ortodok atau konservatif serta ia mengatakan bahwa neoliberal merupakan teori klasik. Neoliberal di analogikan sebagai “orang-orang sawah” yang bertugas untuk mengusir burung (saya tak tahu persis maksudnya apa). Sedangkan ekonomi kerakyatan menurutnya juga sulit diartikan karena kata-kata kerakyatan itu sudah dipolitisir oleh elit politik untuk meraih kekuasaan yang diperoleh dari suara rakyat. Ekonomi kerakyatan itu bukannya berpihak pada rakyat tetapi memakai rakyat sebagai alat dalam proses ekonomi, Ekonomi yang berpihak pada rakyat itu bukannya ekonomi kerakyatan tetapi ekonomi rakyat. Pemikiran tentang ekonomi kerakyatan sebenarnya sudah lama dirintis oleh Alm. Prof. Mubyarto dan rekan-rekannya di UGM pada awal tahun 80-an. Pada awalnya ekonomi kerakyatan menggunakan nama ekonomi Pancasila. Ekonomi kerakyatan muncul atas keprihatinan kondisi kemiskinan dan ketimpangan di Indonesia, terutama ditengah arus liberalisasi yang mulai digalakkan pada era itu.
Sebenarnya apapun jenis paham atau teori dalam kehidupan ekonomi yaitu baik neoliberal maupun ekonomi kerakyatan, keduanya mempunyai tujuan yang sama yaitu membangun bangsa terutama dalam hal ekonomi, hanya kendaraan yang dipakai berlainan, Jika Neoliberal menginginkan ekonomi pasar bebas tanpa campur tangan pemerintah dan memilih jalan privatisasi untuk memodernisasi teknologi pada perusahaan serta berusaha meraih benefit dari modal dan keuntungan yang masuk. Sedangkan ekonomi kerakyatan menginginkan sitem ekonomi yang dikontrol oleh pemerintah untuk kemaslahatan semua rakyat dan mempertahankan aset-aset BUMN agar dapat dinikmati oleh rakyat jelata serta memblokir FDI untuk masuk demi memberdayakan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang dimiliki oleh negeri ini. Akan tetapi yang patut dipertanyakan adalah, jika Mega dan Prabowo yang saat ini dalam kempanyenya selalu mempromosikan ekonomi kerakyatan, tapi kenapa Prabowo melakukan investasi dan mempunyai perusahaan di luar negeri dan kenapa juga Mega selaku mantan presiden, pada saat menjadi presiden dulu banyak menjual BUMN kepada asing? dan yang sudah menjadi rahasia umum yaitu mega membantu suaminya Taufik Kiemas dalam pengembangan atas kepemilikan SPBU. Dan juga kenapa bila pasangan SBY-Boediono dituduh sebagai Neoliberal, jika pada masa pemerintahan SBY sekarang mengeluarkan banyak kebijakan ekonomi yang kerakyatan seperti PNMP Mandiri dan BLT (walaupun dinilai membodohi rakyat tetapi ini sama saja menggaji rakyat jelata), walaupun pada saat itu Boediono bukan sebagai Wapresnya tetapi masih menjadi Menko Perekonomian dan Gubernur BI yang secara tidak langsung ikut berkontribusi, walaupun juga ada beberapa kebijakan yang mengacu pada liberalisasi seperti privatisasi yang dilakukan pada pemerintahan SBY. Dahulu kala di Indonesia, protes dan demonstrasi semacam ini juga telah mewarnai banyak kota dan desa, tetapi pejabat sering menuduh mereka “komunis,” sebuah tuduhan yang meleset karena basis sosial dari gerakan protes ini jelas bukan kelas dalam arti Marxis.
Buku The Lexus and the Olive Tree
Buku laris The Lexus and the Olive Tree (2000) karangan Thomas Friedman tampaknya memberikan jawaban final terhadap keruwetan ekonomi di Indonesia saat ini. Wartawan New York Times itu memang pandai menulis. Tidak heran ia mendapatkan hadiah Pullitzer, hadiah tertinggi untuk wartawan. Dalam buku itu dikatakan bahwa seluruh dunia ini akan makmur kalau semua negara di dunia ini mau saling membuka perbatasannya. Barang- barang dapat keluar dan masuk dengan bebas, begitu juga investasi. Bukan hanya itu. Perdagangan dan investasi internasional juga akan membawa perdamaian dunia. Negara-negara memilih untuk tidak berperang karena ekonomi mereka terkait satu sama lain. Dengan amat provokatif, Friedman mengatakan bahwa negara-negara di mana terdapat gerai McDonald’s tidak saling menyerang! Inilah hukum yang dinamakan Golden Arches. Logikanya memang memikat: free trade plus free market menghasilkan kemakmuran plus perdamaian. Apa yang diterangkan Friedman sesungguhnya berdasarkan sebuah teori, yaitu teori liberal. Teori liberal dapat dikatakan teori yang paling optimistis mengenai terciptanya kemakmuran dunia. Mereka berpendapat bahwa struktur pasar internasional saat ini akan dapat membawa kemakmuran yang dicita- citakan. Dunia memang terbagi antara “negara-negara berkembang” dan “negara sedang berkembang”. Meski demikian, di antara keduanya tidak perlu terjadi antagonisme. Keduanya dapat bekerja sama untuk menciptakan kemakmuran dunia.
Masalah yang bisa timbul menurut pendukung teori liberal adalah kelemahan yang terkandung dalam berbagai faktor produksi, terutama modal (capital) dan tenaga kerja (labour). Cara untuk mengatasi masalah ini ada tiga: perdagangan, investasi asing, dan bantuan asing. Perdagangan, menurut pandangan mereka, dapat bertindak sebagai mesin pertumbuhan. Ia mendorong terjadinya spesialisasi sesuai dengan comparative advantage, yang dengan perdagangan internasional akan meningkatkan pendapatan. Spesialisasi dan perdagangan dari produk yang sesuai dengan faktor kekayaan nasional akan dapat menimbulkan alokasi sumber daya secara lebih efisien.
Spesialisasi semacam itu penting bagi negara yang belum berkembang karena negara-negara itu pada umumnya hanya mempunyai pasar domestik yang kecil. Tambahan pendapatan dapat ditabung, dan tabungan ini dapat dipakai untuk memacu pembangunan lewat domestic expenditure untuk menaikkan produksi atau untuk mengimpor capital equipment. Teori ini juga memandang perdagangan luar negeri sebagai suatu hal yang mempunyai efek terhadap pembangunan. Lewat perdagangan dapat diperoleh mata uang asing dan barang-barang material yang diperlukan untuk pembangunan. Perdagangan menyebarluaskan teknologi serta keterampilan manajerial. Selanjutnya, perdagangan juga mendorong masuknya modal lewat investasi internasional serta memacu terjadinya kompetisi. Investasi asing dilihat sebagai hal yang dapat membawa keterampilan manajerial dan teknologi yang diperlukan untuk meningkatkan produktivitas. Bantuan asing dari negara maju diberikan tidak lewat hubungan pasar. Ia diyakini dapat mengisi kekurangan akan sumber daya di negara sedang berkembang. Misalnya, bantuan asing dapat menyediakan modal, teknologi, dan pendidikan. Pendek kata, semakin membuka diri ke dunia luar, semakin makmur dan tidak ada pertikaian. Friedman terang-terangan mengejek orang-orang yang masih terikat pada “pohon zaitun” (olive tree), yaitu desa, tanah kelahiran, negara, suku, dan sebagainya. Mempertahankan pohon zaitun tidak ada gunanya di zaman globalisasi sekarang, lagi pula hanya menghasilkan peperangan dan konflik yang membawa derita.
AKAN tetapi, teori liberal dikritik oleh teori marxis. Teori marxis mengambil posisi yang berseberangan mengenai sistem pasar internasional. Sistem kapitalis internasional dipercayai oleh para marxis tidak akan menghasilkan distribusi yang merata. Negara-negara sedang berkembang itu miskin karena sejarah menempatkan mereka pada posisi subordinate dan kondisi ini bertahan terus sejauh mereka menjadi bagian dari sistem kapitalis internasional itu. Sistem pasar internasional pada dasarnya ada di bawah kendali dari negara-negara berkembang dan karena itu cara kerjanya menimbulkan kerusakan pada negara sedang berkembang. Atau secara kasar dikatakan bahwa operasi pasar internasional memungkinkan negara berkembang untuk mengeksploitasi kekayaan ekonomi dari negara yang sedang berkembang. Perdagangan antara negara berkembang (Utara) dan negara sedang berkembang (Selatan) adalah hubungan tukar- menukar yang tidak setara karena pasar internasional yang ada di bawah kontrol negara-negara maju saat ini menyebabkan merosotnya harga bahan mentah yang dihasilkan oleh negara-negara Selatan dan meningkatnya harga produk industri yang dihasilkan oleh negara-negara Utara. Yang disebut terms of trade ini memang merugikan negara Selatan. Lebih parahnya, perdagangan internasional justru mendorong negara-negara Selatan untuk memusatkan diri pada bentuk produksi yang terbelakang yang sulit akan mendorong terjadinya pembangunan. Investasi asing semakin menimbulkan hambatan dan distorsi bagi negara- negara Selatan. Mereka memegang kontrol atas industri lokal yang paling dinamis dan mengeruk surplus ekonomi dari sektor ini dengan cara repatriasi keuntungan, royalty fees, maupun lisensi-lisensi. Menurut teori marxis, jelas terjadi aliran modal ke luar dari Selatan ke Utara. Tambah lagi, investasi asing dapat menimbulkan pengangguran karena mereka mendirikan pabrik- pabrik yang padat modal. Akibatnya, terjadilah distribusi pendapatan yang semakin tidak merata, menggusur modal lokal dan pengusaha lokal. Akibat yang tidak kalah menakutkan adalah terjadinya produksi yang berorientasi untuk ekspor saja dan karena itu dihasilkan pola konsumsi yang tidak aneh. Teori marxis mengkritik sistem keuangan internasional. Perdagangan dan investasi mencabut modal dari Selatan dan memaksa negara-negara Selatan meminjam dari institusi keuangan Utara, baik swasta maupun publik. Namun, debt service dan pembayaran utang mengakibatkan terkurasnya kekayaan mereka. Bantuan asing ternyata tidak membantu sebagaimana sering diyakini. Bantuan asing malah memperparah distorsi pembangunan negara-negara Dunia Ketiga yang diperintahkan untuk menggalakkan investasi asing dan perdagangan internasional. Akibatnya, tujuan pembangunan sejati terlupakan, yaitu kesejahteraan seluruh bangsa. Teori marxis menunjukkan bahwa dalam kerangka sistem perdagangan internasional ini, di tiap-tiap negara berkembang muncullah kelas yang menjadi “client” dari negara berkembang. Elite lokal yang demi kepentingan diri mereka sendiri ingin melanggengkan kekuasaan mereka dengan senang hati bekerja sama dengan elite kapitalis internasional. Kerja sama seperti ini yang melanggengkan sistem kapitalis internasional.
ADA teori lain yang juga mengkritik teori liberal. Seperti halnya teori marxis, teori strukturalis berpendapat bahwa struktur pasar internasional melanggengkan keterbelakangan dan ketergantungan, dan pada akhirnya mendorong ketergantungan negara sedang berkembang kepada negara berkembang. Sebagai seorang strukturalis, Gunnar Myrdal mengatakan bahwa pasar cenderung untuk menyukai kelompok orang atau negara yang telah memiliki sumber kekayaan. Sebaliknya, ia akan mengempaskan yang belum berkembang. Perdagangan internasional yang tidak beraturan dan juga gerakan modal yang bebas akan memperparah ketimpangan internasional.
Pasar internasional yang berat sebelah seperti ini, menurut kelompok strukturalis, bertumpu pada ketimpangan yang ada dalam perdagangan internasional. Perdagangan tidak bekerja sebagai mesin pertumbuhan, tetapi malah memperlebar jurang antara negara berkembang dan negara sedang berkembang. Pertama, ini terjadi karena terms of trade yang merosot terhadap negara sedang berkembang. Permintaan akan ekspor produk primer yang berasal dari negara berkembang tidaklah elastik, kecuali itu kompetisi pasar internasional menyebabkan harga dari produk-produk itu semakin murah. Kedua, struktur monopoli negara-negara berkembang dan meningkatnya permintaan akan barang-barang jadi menyebabkan naiknya harga produk industri dari negara berkembang. Jadi, dalam kondisi pasar yang normal, perdagangan internasional sebenarnya memindahkan pendapatan dari negara sedang berkembang (Selatan) ke negara berkembang (Utara).
Perdagangan internasional, menurut kelompok strukturalis, membawa efek negatif terhadap pembangunan sebuah negara. Spesialisasi yang dijalankan oleh negara-negara berkembang pada ekspor barang-barang yang sudah ketinggalan tidak dapat mendorong perekonomian negara itu. Ini bertentangan dengan pendapat teoretisi liberal, tentu saja. Sebaliknya, perdagangan menciptakan sektor ekspor yang advanced yang hanya kecil atau malah tidak menimbulkan efek pada ekonomi. Dengan kata lain, perdagangan menimbulkan dual economy dalam sebuah negara, sektor yang diperuntukkan ekspor yang sudah maju dan ekonomi pada umumnya yang belum maju. Penanaman modal asing juga melahirkan situasi berat sebelah. Investor asing pada dasarnya menjauhi negara sedang berkembang. Kalau toh mereka datang ke negara berkembang, mereka hanya mengarahkan diri pada sektor ekspor, dan karena itu makin memperparah dual economy dan efek negatif dari perdagangan. Tambah lagi, investasi asing dapat mendorong mengalirnya keuntungan ke negara maju.
Sekilas tampak tidak ada perbedaan antara teori marxis dan teori strukturalis. Perbedaan di antara keduanya terletak dari pandangan mereka tentang sistem kapitalis internasional. Kelompok strukturalis masih percaya bahwa sistem kapitalis internasional dapat direformasi. Karena itu, industrialisasi dapat diubah setelah pasar internasional diubah dan industrialisasi itu sendiri akan mempersempit jurang antara negara berkembang dan negara sedang berkembang. Kelompok Marxis tidak yakin bahwa sistem kapitalis internasional dapat diubah. Ini disebabkan negara-negara berkembang tidak mau mengubah sistem itu. Perubahan hanya mungkin lewat revolusi. Sistem kapitalis internasional yang ada dihancurkan dan diganti dengan sebuah sistem internasional yang lebih adil. MELIHAT begitu tajamnya perbedaan pandangan antara kubu teori liberal di satu sisi dan kubu teori marxis dan teori strukturalis di sisi lain, pertarungan di antara keduanya tidak terelakkan. Yang menarik, pertarungan ini tidak hanya dibatasi oleh dinding ruang kuliah dari universitas-universitas, tetapi ke luar dari sana dan masuk ke dalam dunia bebas. Pertarungan berubah menjadi pertarungan antara kelompok pendukung institusi internasional yang mendukung teori liberal/neoliberal dan kelompok penentang yang anti.
Kasus yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1993 membuktikan hal ini. Untuk menjamin bahwa Kongres Amerika Serikat akan meratifikasi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), para pengusaha swasta di Amerika membangun yang disebut Alliance for GATT NOW. Aliansi ini bekerja keras mendekati redaksi-redaksi surat kabar di seluruh Amerika dan juga mendekati anggota Kongres agar mendukung Uruguay Round. Aliansi ini berhasil menggalang tidak kurang dari 200.000 pengusaha besar maupun kecil. Tidak berhenti di situ, aliansi ini juga menyebarkan kertas dan pamflet yang memuat angka-angka statistik. Mereka juga memasang iklan di berbagai surat kabar besar dan televisi nasional. Agar argumen mereka tampak canggih dan ilmiah, dalam pamflet itu diberi catatan: “didukung oleh mantan pejabat perdagangan, 40 gubernur, dan mantan presiden, dan 450 ekonomi kondang”. Aliansi itu menamai GATT sebagai A Home Run for America, dan mengatakan bahwa GATT akan memacu ekspor Amerika maupun pertumbuhan ekonomi, menciptakan jutaan lapangan kerja bagi Amerika, melindungi hak kekayaan intelektual Amerika, dan menjamin bahwa pesaing-pesaing Amerika akan “bermain menurut aturan yang juga kita patuhi”. Dalam pamflet itu juga terdapat sebuah foto dari dua senator, Smoot dan Hawley, yang pada tahun 1930 berhasil membuat Amerika menerbitkan undang- undang yang amat proteksionis. Lalu ditulis: History has not been kind to those in Congress who embrace protectionism dan meminta anggota Kongres untuk “remember these fellas when you vote on GATT”.
Dalam koran terbesar Amerika, New York Times, dilaporkan tiga wawancara dengan tiga ekonom terkenal: Paul Krugman dari MIT, Sherman Robinson dari Universitas California di Berkeley, dan Gary Hufbauer dari Institute for International Economics. Dengan uraian yang padat dan memikat diterangkan keunggulan perdagangan bebas dan bahwa ia akan menghasilkan positive- sum world. Artikel ini memang yang terbaik yang menguraikan kehebatan ekonomi liberal/neoliberal, tetapi ia cuma satu dari banyak artikel lain yang tersebar di beberapa koran di Amerka. Konon tidak kurang dari 50 koran mendukung GATT-WTO, termasuk di sini koran dengan oplah nasional, seperti Washington Post, USA Today, Wall Street Journal, dan Journal of Commerce. Di New York Times dimuat lembaran tambahan yang memuat komentar para pejabat pemerintah, pengusaha manufaktur, dan kelompok konsumen. Semuanya menekankan keuntungan perdagangan bebas. Halaman depan New York Times mulai dengan sebuah mantra: “Free trade means growth. Free trade means growth. Free trade means growth. Just say it fifty more times and all doubts will melt away”. Pada 1 Desember 1994, ketika diadakan pemungutan suara di Kongres Amerika, ratifikasi WTO mendapat dukungan suara yang nyaris mutlak. Yang menarik, dukungan suara ini lebih besar dibandingkan dengan dukungan suara yang diberikan untuk ratifikasi pendirian NAFTA, perjanjian perdagangan bebas dengan Meksiko dan Kanada. Ketika para pendukung WTO merasa aman, pecah The Battle of Seattle yang tak dinyana- nyana itu. Ketika itu, Desember 1999, di Seattle (sebuah kota di ujung barat laut Amerika) tengah diadakan konferensi WTO. Panitia penyelenggara tidak menduga bahwa ribuan orang dari berbagai golongan dan kelompok orang berkumpul di kota yang terkenal paling indah di Amerika Serikat dan memblokir jalan-jalan menuju ke tempat penyelenggaraan konferensi. Mereka menuduh WTO sebagai biang dari semua kekacauan dan kejahatan dunia: membuat orang miskin makin miskin, membuat pendidikan mahal, membuat lingkungan rusak, membuat buruh kehilangan pekerjaan, membuat kaum perempuan kian tertindas, membuat anak-anak dipaksa bekerja, dan sebagainya. Kota Seattle berhenti, pusat bisnis berhenti. Konferensi yang dibayangkan akan menjadi pesta yang menyenangkan berubah menjadi ajang pertempuran. Di luar para demonstran menggebu menuju tempat konferensi dan dicegat oleh polisi. Mula-mula tidak ada kekerasan, tetapi lambat laun kekerasan tidak terhindarkan. Tidak ada lagi suasana damai di Seattle, digantikan “suasana perang”. Konferensi WTO di Seattle gagal total, tidak menghasilkan kesimpulan apa-apa. Para menteri perdagangan pulang dengan tangan hampa. Inilah bentuk perlawanan oleh masyarakat sipil paling besar dan paling berhasil. Mereka berhasil menggagalkan konferensi elite tingkat tinggi yang tidak lain adalah koalisi antara pemerintah dan pelaku bisnis.
Pertarungan antara pendukung teori ekonomi liberal dan yang bukan tidak berhenti di sini. Demonstrasi besar senantiasa mengiringi setiap konferensi atau pertemuan puncak yang diadakan oleh tiga lembaga internasional besar, WTO, Bank Dunia, dan IMF. Kecuali itu, demonstrasi besar juga membayangi setiap pertemuan para pemimpin negara-negara kaya seperti G-7. Setelah Seattle, setiap kota yang dipakai untuk konferensi itu pasti dibanjiri oleh demonstran, bukan hanya demonstran lokal, tetapi juga dari seluruh dunia. Maka, sejak tahun 1999 itu kita lihat di layar televisi clash antara demonstran dan polisi di Washington (2000), Hawaii (2001), Genoa (2001), Chiangmai, Thailand (2001), dan sebagainya. Pihak pendukung teori liberal adalah para pelaku bisnis dan pemimpin negara yang punya uang dan kekuasaan sekaligus. Pihak lawan adalah masyarakat yang didukung oleh sejumlah LSM. Para penganut ekonomi liberal/neoliberal saat ini memang “di atas angin” persis karena merekalah yang mendominasi panggung utama dunia. Mereka tampil di acara-acara gemerlap di sidang-sidang yang diadakan di hotel dan disorot oleh kamera televisi. Foto mereka muncul di koran dan majalah. Sementara para penentangnya ada di luar panggung yang tersedia itu. Mereka tampil sebagai demonstran yang tidak terorganisasi, bahkan memberi kesan kacau. Maka tidak mengherankan bahwa dalam pemberitaan di media massa para demonstran selalu diberi nama “kaum anarkis” atau demonstrasi “antiglobalisasi.”
Pertarungan antara pendukung ekonomi liberal/neoliberal dan yang bukan, menghasilkan dua kubu. Di dunia kini telah dikenal “World Social Forum” sebuah konferensi yang diadakan persis bersamaan ketika diselenggarakan “World Economic Forum”. Yang terakhir ini diadakan di gedung mewah di Davos, Swiss, dan dihadiri para pelaku bisnis dan kepala negara yang merancang rencana menguras kekayaan global, sementara yang pertama diadakan di kota kecil, Pôrto Alegre, Brasil, yang dihadiri individu maupun LSM dari seluruh dunia yang prihatin akan kehancuran dan kesengsaraan global akibat ulah kapitalis global. World Social Forum yang pertama kali diadakan pada tahun 2001 adalah forum untuk aktivis dari berbagai bidang. Dua “forum” yang berbeda yang berdiri berhadap-hadapan, masing-masing dengan pengikutnya. Kota Pôrto Alegre dipilih karena Partai Buruh Brasil (Partido dos Trabalhadores) berkuasa di kota ini dan juga di negara bagian Rio Grande do Sul. Asal-muasal forum ini tidak bisa dilepaskan dari peran ATTAC Perancis, sebuah koalisi serikat buruh, petani, dan intelektual yang terkenal di Eropa karena penolakannya terhadap globalisasi. Asosiasi yang didirikan oleh Bernard Cassen dan Susan George pada 1989 ini berkampanye diterapkannya “Tobin Tax”, yaitu pajak yang dikenakan pada semua transaksi keuangan spekulatif (James Tobin adalah pemenang hadiah Nobel). ATTAC memang telah frustrasi dengan gerakan di Amerika Utara yang dikatakan tidak koheren. World Social Forum merupakan jalan ke luar terbaik untuk menggalang orang-orang yang ingin mencari pemikiran alternatif terhadap neoliberalisme saat ini. Titik perdebatan antara dua kubu meruncing dan mengarah kepada tiga pilar dari sistem ekonomi liberal/neoliberal: World Trade Organization (WTO), World Bank, dan International Monetary Fund (IMF). Orang-orang yang tergabung dalam World Economic Forum memandang tiga organisasi multilateral itu sebagai “kunci” sukses dari sistem ekonomi liberal. Dunia akan semakin makmur dan sejahtera karena bantuan dari tiga organisasi itu yang menjalankan supervisi. Sementara mereka yang ada di dalam World Social Forum mengkritik habis kehadiran tiga institusi tersebut. Tokoh-tokoh seperti Walden Bello bahkan mengatakan bahwa tiga institusi internasional itu harus dibubarkan. Kesengsaraan petani dan buruh, kerusakan lingkungan, adalah akibat dari diterapkannya peraturan dan ketentuan yang dibuat oleh WTO, World Bank, dan IMF.
Siapa yang menang dari seluruh pertarungan wacana ini? Pendukung World Economic Forum mencoba untuk mengakomodasi aktivis dari World Social Forum. Pada pertemuan tahun 2000, World Economic Forum mengulurkan undangan kepada para aktivis dari World Social Forum. Koran New York Times melaporkan peristiwa ini dengan judul berita yang amat mengejek: “From the Streets of Seattle to the Table at Davos” (30 Januari 2000). Pendekatan itu ditiru oleh World Bank dan IMF yang mengadakan pertemuan tahunan di Praha pada tahun 2000. Demikian pula pertemuan WTO di Doha, Qatar, sejumlah LSM yang kritis terhadap organisasi dunia itu diundang sebagai peninjau. Meski demikian, model kooptasi seperti ini pasti tidak menyurutkan para aktivis memperjuangkan pembubaran WTO, IMF, maupun World Bank. Pertarungan antara mereka yang bergabung dengan “World Economic Forum” dan mereka yang masuk “World Social Forum” ini mengingkari tesis Francis Fukuyama (1989) yang mengatakan bahwa berakhirnya Perang Dingin akan disusul dengan berakhirnya konflik politik di tingkat global dan lahirnya sebuah dunia yang cukup harmonis. Katanya, “Kita akan menyaksikan berakhirnya sejarah: berakhirnya evolusi ideologi umat manusia dan universalisasi demokrasi liberal Barat sebagai bentuk final pemerintahan yang dihasilkan manusia.” Memang masih akan ada konflik di beberapa negara Dunia Ketiga, tetapi konflik global telah berakhir. “Sejarah telah berakhir,” masa depan tidak lagi dicurahkan untuk berkelahi mengenai ide-ide, tetapi untuk menyelesaikan masalah-masalah ekonomi dan teknik.
Walaupun tesis “the end of history” ini sempat mencengangkan banyak orang di seluruh dunia, tesis ini segera mendapat penolakan. Yang paling pertama menolak adalah Samuel Huntington (1996). Dunia tidak akan damai, katanya, karena dunia akan ditandai oleh “pertarungan peradaban” (clash of civilization). Meskipun Perang Dingin telah usai, dunia akan diancam oleh pertarungan tiga peradaban besar: Barat, Islam, dan Konfusian. Banyak orang di Amerika setuju dengan ramalan Huntington ini ketika terjadi peledakan Gedung World Trade Center di New York pada 11 September 2001. Baik ramalan Fukuyama maupun Huntington belumlah lengkap, bahkan keliru. Memang analis-analis telah menulis di koran-koran mengatakan bahwa “Peristiwa 9-11? telah membuat masalah ekonomi mundur ke latar belakang, digantikan dengan masalah teorisme atau paling jauh masalah keamanan (security). Orang di seluruh dunia disibukkan dengan satu persoalan itu saja. Tetapi ini terbukti tidak benar. Pada September 2002, misalnya, orang mulai disibukkan lagi oleh masalah ketimpangan global ketika diadakan “Earth Summit” di Johanesburg, Afrika Selatan. Ini disusul pada tahun yang sama oleh “World Social Forum” di Brasil yang konon dihadiri oleh sedikitnya 40.000 orang, empat kali lebih banyak daripada tahun sebelumnya. Belum lagi sekian ribu protes dan demonstrasi yang terjadi setiap hari di seluruh pelosok dunia yang (sengaja) tidak diberitakan oleh media massa.
Pertarungan dua wacana besar saat ini-kubu World Economic Forum (WEF) dan kubu World Social Forum (WSF)-akan terus mewarnai dunia abad ke-21. Menariknya, pertentangan ini tidak lagi dapat dimasukkan dalam kerangka “pertentangan kelas” ala Marx. Perlawanan para buruh dan petani, kata Anthony Giddens dalam Nation-State and Violence (1985), baru menampilkan satu dari empat medan perlawanan. Sedemikian besar dan kompleks kerusakan yang ditimbulkan oleh kubu WEF sehingga perlawanan oleh WSF juga mencakup masalah ekologi, masalah antimiliter, dan masalah mempertahankan kebebasan sipil.
Resep Washington Consensus
Para ekonom itu kahawatir dan gundah, karena krisis ekonomi yang melanda Negara Amerika Latin pasti akan berimbas pada Amerika Serikat, sebab negara Amerika Latin adalah salah satu kreditur (penghutang) terbesar di dunia ini melalui IMF, World Bank dsb, yang jika perekonomian mereka macet, maka macet pula hutang yang mereka akan lunasi. Disamping itu, negara-negara di Amerika Latin adalah negara yang sumber daya alamnya banyak dieksploitasi oleh Transnational Corporate dari Amerika Serikat dan Sekutunya.
Krisis yang menimpa Amerika Latin itu terus berlanjut sampai tahun 1994, yang kemudian merembet sampai ke negara-negara dunia ketiga lainnya. Termasuk Indonesia. Dari serangkaian pemikiran, penelitian, kajian dan diskusi yang mendalam, maka berhasil dirumuskanlah apa yang kemudain disebut dengan Washington Consensus, yang dilontarkan pertama kali oleh John Williamson.
Krisis yang menimpa Amerika Latin itu terus berlanjut sampai tahun 1994, yang kemudian merembet sampai ke negara-negara dunia ketiga lainnya. Termasuk Indonesia. Dari serangkaian pemikiran, penelitian, kajian dan diskusi yang mendalam, maka berhasil dirumuskanlah apa yang kemudain disebut dengan Washington Consensus, yang dilontarkan pertama kali oleh John Williamson.
Resep Washington Consensus inilah yang kemudian direkomendasikan kepada negara-negara dunia ketiga yang terkena krisis ekonomi dengan asumsi bahwa resep Washington Consensus ini adalah bersifat universal dan bisa menangani krisis ekonomi yang melanda negara dunia ketiga yang karakteristik krisis maupun karakteristik negaranya sangat mirip.
Adapun Resep Washington Consensus adalah
- Negara yang terkena krisis harus menerapkan disiplin fiskal (fiscal austerity). Pemerintah negara berkembang diminta untuk menjaga anggarannya agar tetap surplus. Namun jika sisi fiskalnya tertekan hebat, masih ditoleransi mengalami defisit, agar tidak lebih dari 2 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
- Belanja pemerintah (APBN) diprioitaskan untuk memperbaiki distribusi pendapatan. Pemerintah disarankan agar banyak membiayai proyek-proyek dan program-program untuk menaikkan pendapatan kelompok miskin agar indeks gini menurun.
- Sektor fiskal (pajak) perlu direformasi, terutama dengan melakukan perluasan obyek dan wajib pajak (broaden the base).
- Sektor finansial perlu diliberalisasikan. Para penabung harus tetap mendapat suku bunga riil positif (positif real interest rate) dan hindari perlakuan suku bunga khusus kepada debitor tertentu.
- Dalam hal penentuan kurs mata uang seyogyanya dilakukan dengan mempertimbangkan daya saing (competitivenes) dan kredibilitas. Kurs yang terlalu kuat seolah-olah kredibel, tetapi tidak membantu daya saing produk ekspor. Sebaliknya jika kurs terlalu lemah, kredibilitas perekonomian akan runtuh.
- Perdagangan sebaiknya diliberalisasikan. Pemerintah harus menghapuskan berbagai hambatan yang bersifat kuantitatif agar arus perdagangan bisa lancar dan efisien.
- Hendaknya investasi asing tidak didiskriminasikan. Perlakukanlah investor asing sama dengan investor domestik karena keduanya sama-sama diperlukan untuk mendorong perekonomian dan menciptakan tenaga kerja.
- Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seyogyanya diprivatisasikan. Tujuannya untuk menaikkan efisiensi dan membantu pembiayaan defisit APBN.
- Lakukanlah deregulasi atau hilangkan semua bentuk restriksi atau pembatasan dan hambatan bagi perusahaan baru yang hendak masuk kepasar. Buatlah iklim sangat kompetitif di pasar dengan membuka kran persaingan selebar-lebarnya.
- Pemerintah perlu menghormati dan melindungi hak cipta (property right) agar menumbuhkan iklim inovatif.Dari kesepuluh elemen dari Washington Consensus itu, kemudian seringkali diperas menjadi tiga pilar penting dari konsep ekonomi Neo Liberal yaitu: pertama, kebijakan fiskal yang disiplin dan konservatif, kedua, privatisasi BUMN, ketiga, liberalisasi pasar atau market fundamentalism.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar