anthony-gidden
Penulis : Anthony Giddens, Jonathan H. Turner dkk.
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Juni 2008
Tebal xxvi + 720 halaman (termasuk indeks)
Buku ini akan menyuguhi pembaca pandangan-pandangan yang mewakili setiap aliran teori sosial saat ini. Sebagaimana diketahui, bahwa teori sosial merupakan sebuah ilmu yang paling beragam. Bahkan di dalamnya seringkali terjadi ketidak-sepakatan sejumlah persoalan paling mendasarnya: genre keilmuan ilmu sosial yang paling tepat, pokok persoalan yang digeluti ilmu sosial, dan prosedur analitis apa yang seharusnya digunakan.
Ketidak-sepakatan terhadap jenis apakah teori-teori sosial itu, dan semestinya ia menjadi apa, tercermin dari argumen-argumen mengenai pokok masalah paling mendasar yang dipahami teori-teori tersebut. Perdebatan di sini mencakup sejumlah pertanyaan seperti: apakah ’batasan’ dunia sosial? Apakah sifat paling fundamental dari dunia sosial? Jenis analisis sifat apa yang paling memungkinkan dan/atau tepat? Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan inilah, maka kemudian konsep-konsep filosofis lama-seperti reduksionisme, realisme dan nominalisme muncul kembali.
Kehadiran buku ini, Social Theory Today yang ditulis oleh beberapa tokoh terkemuka dibidang ilmu sosial; Seperti Anthony Giddens, Jonathan H. Turner, Hans Joas, John C. Heritage, Ralph Miliband dan Immanuel Wallerstein akan menemukan jangkauan opini yang sangat berbeda mengenai apakah yang semestinya menjadi perhatian utama teori sosial. Sebagian teoritisi mengusulkan analisis-analisis mikro terhadap perilaku dan interaksi dalam kontek-kontek yang disituasikan, sementara teoritisi lain menyarankan pendekatan yang lebih makro terhadap struktur-struktur yang ada. Beberapa lagi mengusulkan perekonsiliasian pendekatan analisis mikro dan makro, sementara yang lain menganggap sintesis kontra-produktif dan prematur.
Diantara pernyataan-pernyataan paling ekstrim dalam beberapa opini buku ini adalah tulisan dari Anthony Giddens yang menghadirkan satu kasus mengenai reduksionisme. Dengan mendukung reduksionisme sepenuhnya, dia menyatakan bahwa institusi-institusi masyarakat ”bisa direduksi, tanpa sisa, menjadi perilaku individu.” (hal.336), pada momen tertentu, kita memang bisa menginterpretasikan pernyataan Giddens hanya sebagai argumen strategis: kaidah-kaidah struktur dan institusi-institusi sosial bisa dideduksi, dalam sebuah sistem yang aksiomatik, dari psikologi. Akan tetapi masalahnya, ranah pernyataan Giddens ini lebih metafisik sifatnya: semua realitas sosial hanyalah sebuah perilaku; institusi tidak lebih dari sekedar penjumlahan perilaku aktor-aktornya.
Sementara itu, dalam tulisan Hans Joas ’Interaksionisme Simbolik’, kita akan menemukan opini berbeda menurut tradisi intelektual yang dianutnya mengenai apa yang fundamental bagi dunia sosial.Akar-akar pragmatis interaksionisme simbolik mengiyakan pentingnya agensi manusia di mana aktor-aktornya mengkonstruksi arah-arah hubungan di dalam situasi konkrit, namun apakah persisnya pokok-masalah yang boleh dikonstruksikan masih tetap problematis. G.H. Mead contohnya, dia tetap menekankan pentingnya mereproduksi struktur-struktur sosial melalui kapasitas tingkah laku dari jiwa, diri dan pengambilan-peran. Namun demikian, dia juga melihat kalau para interaksionis modern sudah terpolarisasi di sekitar pertanyaan tentang apakah proses-proses pemroduksian dan pereproduksian struktur yang benar, dan sayangnya, hal ini malah menjadi prioritas teoritis mereka lebih dari pokok-persoalan lainnya. Jika Mead melihat hal-hal ini sebagai dua sisi mata uang konseptual yang sama, maka para teoritis kontemporer tempaknya terbagi menjadi dua kubu: struktur membatasi agensi, atau agensi membatasi struktur.
Ketika membaca analisis ’Etnometodologi’ John C. Heritage, kita bisa melihat ambivalensi interaksionisme ini muncul lagi. Memang Heritage dan para pendukung etnometodologi tidak melihat pokok-persoalan teori sosial dengan cara interaksionisme simbolis, namun pesan mereka cukup jelas: dengan mempelajari proses-proses interaksi, khususnya di sekitar perkataan dan percakapan, kita akan menemukan kalau para aktornya menciptakan pemahaman dan pencerapan individual yang berbeda-beda mengenai dunia eksternal yang faktual. Puncak tertinggi realitas sosial bagi Heritage-beberapa orang juga meyakini-terletak pada penginterpretasian kontekstual dan indeksikal terhadap tanda-tanda dan simbol-simbol di antara aktor-aktor yang tersituasikan tersebut.
Di sisi lain, pandangan Jonathan Turner di dalam ’Analytical Theorizing’, tidak begitu optimis perihal kemungkinan pengintegrasian konseptual antara institusional dan analisis interpersonal. Sebaliknya, dia lebih mendukung analisis eklektis mikrodinamis yaitu di satu sisi berusaha melebur interaksionisme simbolik, etnometodologi, behaviorisme dan konsep-konsep lain menjadi satu, namun di sisi lain, mendukung pemilahan konseptual proses-proses makro dengan mensintesiskan gagasan-gagasan yang bukan hanya berasal dari dalam teori fungsional namun juga dari pendekatan struktural lainnya. Oleh karena itu, upaya untuk menjembatani jurang antara interaksi individual dan interaksi struktural bagi Turner adalah terlalu prematur.
Akhirnya, para teoritis yang lebih berorientasi-kritis melihat sebagian besar perdebatan mengenai pokok masalah sosiologi dengan curiga. Menurut mereka, realitas yang paling penting adalah apapun yang membatasi pilihan dan potensi manusia melalui dominasi dan operasi. Dari dalam arus utama tradisi kritis ini, Ralph Miliband, menyerukan bahwa dominasi dan perlawanan kelas sejak dulu sudah menyediakan dinamika sentral bagi pengorganisasian manusia. Dengan begitu, masalah fundamental teori sosial seharusnya beriringan dengan analisis tentang kemampuan mengontrol alat-alat produksi, administrasi, komunikasi dan koersi di dalam masyarakat.
Pendekatan sistem pandangan-dunia Immanuel Wallerstein, juga menyuarakan hal yang sama, namun tidak seperti pendekatan analisis-kelas Miliband, formasi-formasi sosial dan negara bukan unit analisis yang paling penting. Sebaliknya, sistem-sistem kecil sampai penguasaan dunia dan ekonomi dunia. Bagi Wallerstein, kekuatan dari penguasaan dunia dan ekonomi untuk membatasi dan mendominasi tindakan-tindakan individu, unit-unit korporasi dan sistem-sistem kecil, adalah puncak realitas dunia sosial.
Sungguh kehadiran buku ini sangat bermanfaat sebagai penuntun sekaligus acuan kerja untuk memahami perkembangan terbaru di dalam teori sosial.
*) Tulisan ini dimuat di Seputar Indonesia, 27 Juli 2008