Senin, 25 April 2011

"The End of History and The Last Man"


The End of History and the Last Man adalah sebuah buku yang ditulis oleh Francis Fukuyama (1992). Buku ini merupakan perluasan esai yang ditulisnya pada tahun 1989. “The End of History”, diterbitkan oleh The National Interest. Dalam buku ini Fukuyama berpendapat bahwa munculnya demokrasi liberal Barat dapat merupakan pertanda titik akhir dari evolusi sosial budaya dan bentuk akhir pemerintahan.
Ringkasan tesisnya adalah: “Apa yang kita dapat saksikan tidak hanya akhir Perang Dingin, atau lulus dari suatu periode tertentu dari sejarah pasca-perang, tetapi akhir sejarah itu sendiri, yaitu titik akhir dari evolusi ideologis manusia dan universalisasi demokrasi liberal Barat sebagai bentuk final pemerintahan manusia”.Banyak orang melihat tesis Fukuyama bertentangan dengan versi Karl Marx tentang “akhir prasejarah”. Beberapa ahli juga mengidentifikasi filsuf Jerman G.W. Friedrich Hegel sebagai sumber bahasa Fukuyama, namun disajikannya dengan gaya Alexandre Kojève, yang berpendapat bahwa kemajuan sejarah harus menuju ke arah pembentukan negara yang universal dan homogen.
Menurut Kojeve sendiri, kemungkinan terbesar akhir sejarah adalah menggabungkan elemen demokrasi liberal atau sosial, tetapi Kojeve memberi penekanan pada karakter pasca-politik sebagai penyebab keadaan tersebut. Tetapi tentu saja ada resiko, kalau dibuat perbandingan seperti itu tidak akan memadai, dan hanya akan mereduksi setiap kemenangan dari pihak kapitalisme saja.
Tesis Fukuyama berisi beberapa elemen: Pertama, Argumen politik: yakni bahwa semua perang melalui sejarah adalah bentrokan antara dua sistem politik yang bersaing. Maka sebagai bangsa yang lebih mengadopsi bentuk pemerintahan demokrasi liberal, perang antara mereka seharusnya tidak akan terjadi lagi. Kedua, Argumen empiris: Sejak awal abad 19, telah ada langkah dari Amerika untuk mengadopsi beberapa bentuk demokrasi liberal sebagai pemerintahannya, yang didefinisikan sebagai sebuah pemerintahan di mana hak-hak individu, seperti hak untuk kebebasan berbicara, lebih unggul daripada hak-hak negara. Ketiga, Argumen filosofis: Fukuyama meneliti pengaruh thymos (atau semangat manusia). Argumennya adalah: Bahwa demokrasi menghalangi perilaku berisiko. Pencerahan berpikir rasional menunjukkan bahwa peran tuan dan budak ternyata tidak memuaskan dan merusak diri. Oleh karenanya karenanya tidak diadopsi oleh roh-roh leluhur. Jenis argumen yang terakhir ini
awalnya diambil oleh Hegel dan John Locke.
Salah interpretasi
Menurut Fukuyama, sejak Revolusi Perancis, demokrasi telah berulang kali terbukti menjadi sistem fundamental yang lebih baik secara etis, politik, maupun ekonomi, daripada menjadi sistem alternatif. Maka yang paling umum dan mendasar, kesalahan dalam mendiskusikan tesis Fukuyama adalah kerancuan pembedaan antara ‘sejarah’ (history) dengan ‘kejadian’ (event). Fukuyama tidak mengajukan klaim pada titik apapun bahwa peristiwa yang terjadi akan berhenti di masa depan. Apa yang diklaimnya adalah bahwa semua hal yang akan terjadi di masa depan berupa demokrasi yang akan menjadi lebih umum dalam jangka panjang, meskipun bisa saja terjadi kembalinya totalitarianisme atau kemungkinan lain yakni kemunduran yang bersifat ‘sementara’.
Beberapa pendapat menyatakan bahwa Fukuyama menyajikan demokrasi yang Americanized, sebagai suatu sistem politik yang benar, dan bahwa semua negara mau tidak mau harus mengikuti sistem pemerintahan tertentu, namun banyak pihak mengklaim hanya bahwa ini adalah salah interpretasi. Kritik bagi Fukuyama di titik ini adalah bahwa di masa depan akan ada semakin banyak pemerintah yang menggunakan kerangka demokrasi parlementer dan yang berisi berbagai bentuk pasar.
The End of History tidak pernah dikaitkan dengan model khusus Amerika baik dalam hubungan organisasi sosial maupun politik, betatapun Fukuyama mengutip Alexandre Kojève, filsuf Rusia-Prancis yang mengilhami argumentasinya. Ia percaya bahwa Uni Eropa lebih akurat mencerminkan seperti apa dunia akan terlihat pada akhir sejarah dibanding Amerika Serikat kontemporer. Maka upaya Uni Eropa untuk mengatasi kedaulatan dan politik kekuasaan tradisional dengan menetapkan aturan hukum transnasional adalah jauh lebih sejalan dengan dunia “pasca-sejarah” daripada keyakinan Amerika yang tetap memakaiBelief in God, national sovereignty, and their military
Argumen yang mendukung
Asumsi dari teori Fukuyama adalah bahwa perang antara dua negara dengan kematangan demokrasi, dan karena sifat demokrasi liberal (yaitu, bahwa hak-hak individu dinilai lebih tinggi daripada hak-hak negara), tidak akan pernah ada. Hal ini terbukti kasus sampai sekarang.
Bukti empiris telah digunakan untuk mendukung teori ini. Freedom House berpendapat bahwa tidak ada demokrasi liberal tunggal dengan hak pilih universal di dunia pada 1900, tapi bahwa hari ini 120 (62 persen) dari 192 negara di dunia adalah negara demokrasi tersebut. Mereka menghitung 25 (19 persen) negara dengan ‘praktek demokrasi terbatas’ pada 1900 dan 16 (8%) hari ini. Mereka sebanyak 19 (14 persen) monarki konstitusional pada 1900, di mana konstitusi membatasi kekuasaan raja, dan dengan beberapa kekuasaan diserahkan ke legislatif terpilih.
Bukti empiris Lain terutama meliputi penghapusan perang antar-negara di Amerika Selatan, Asia Tenggara, dan Eropa Timur di antara negara-negara yang pindah dari kediktatoran militer ke demokrasi liberal.
Teori perdamaian demokrasi berpendapat bahwa terdapat demokrasi yang mengurangi kekerasan sistematis baik eksternal maupun internal. Hal ini tampaknya kompatibel dengan teori Fukuyama, tapi samasekali tidak kompatibel dengan konflik kelas ala Marx, yakni berakhirnya Perang Dingin dan meningkatan berikutnya dalam jumlah negara-negara demokrasi liberal yang disertai dengan penurunan perang total secara dramatis dan tiba-tiba, perang antar negara, perang etnis, perang revolusioner, dan jumlah pengungsi maupun orang-orang yang terlantar.
Demokrasi liberal berhasil memenuhi keinginan cemerlang kebutuhan dasar manusia (pangan, pakaian, tempat berteduh) tetapi menimbulkan beberapa pertanyaan. Adalah Will Man, yakni ertanyaan: Setelah kenyang, masihkah orang memiliki jenis thymos yang telah mendorong spesies untuk mencapai teknologi dan budaya? Apakah yang paling mampu dalam masyarakat puas untuk diperlakukan sama dengan orang-orang yang mereka anggap bawahan mereka, atau akankah mereka menuntut tingkat penghargaan politik sepadan dengan kontribusi mereka terhadap masyarakat? Apakah mereka yang berada di bawah skala sosial dan demokrasi liberal tidak, tak dapat disangkal, menghasilkan hierarki dari miskin ke kaya harus puas dengan Kekurangan di atas skala?, atau akankah mereka menuntut lebih tinggi dibawah yang lebih rendah? Fukuyama berusaha untuk memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, yang digambarkan oleh pemikir seperti Plato, Tocqueville, Kant, Hegel, Marx, Nietzsche, dan Alexandre Kojeve berdasarkan pengalaman abad modern.
Menarik
Buku ini memang menarik, tetapi ada resiko yang terkadang salah arah. Pada akhirnya, pertanyaan yang menjiwai diskusi adalah sama bahwa manusia selalu punya wajah, yang pada akhirnya akan berada pada keinginan untuk keamanan atau dorongan untuk kebebasan. Tidak ada masalah yang lebih penting dalam sejarah manusia dan cara-cara di mana kita akan menjawabnya secara biasa untuk menentukan masa depan kita. Bahkan jika itupun tidak tiba pada suatu jawaban final. Fukuyama sedikit banyak telah menambahkan kepada pemahaman ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar